Jumat, 07 September 2018

PT SOLID GOLD BERJANGKA | Mewujudkan Daya Progresif Hijrah

Mewujudkan Daya Progresif Hijrah
PT SOLID GOLD BERJANGKA MAKASSAR - Sebentar lagi (11/9), kita akan memasuki Tahun Baru 1440 H. Setiap memperingati pergantian kalender Hijriyah, kita selalu diingatkan akan momen perjuangan Nabi Muhammad yang ditemani Abu Bakar berpindah ke Yatsrib setelah 13 tahun (610-622 M) berdakwah di Mekkah.

Dalam periode Mekah, dakwah Nabi selalu dihalang-halangi oleh kafir Quraisy. Mengingat pertambahan kaum Muslimin yang kurang signifikan dan bertubinya cobaan yang dialami, Rasulullah menyepakati Baiat Aqabah dengan delegasi penduduk Yatsrib, yang isinya antara lain janji untuk membela dan melindunginya.

Atas perintah Tuhan (Q.S. 3: 195), Nabi lalu meninggalkan Mekkah menuju Yatsrib yang diikuti oleh para sahabatnya. Sesudah bermigrasi, Nabi mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah, yang berarti kota, tempat lahirnya peradaban kemanusiaan. Momen ini merupakan momen ikonik sebagai penanda kebangkitan peradaban Islam setelah berlalunya era jahiliyah.


Momentum hijrah mengingatkan tentang ikhtiar perjuangan hidup dalam menggapai harapan dengan sepenuhnya berserah diri pada Tuhan. Ia menawarkan narasi yang tak hanya dipahami sebagai jejak sejarah. Namun, lebih dipahami sebagai hal yang menawarkan kerangka pemahaman untuk dikonstruksi. Narasi yang menawarkan jawaban tentang bagaimana sebaiknya memulai perubahan dalam hidup. 

Hijrah berarti pula memendarkan diri serta berefleksi seberapa jauh kaki ini melangkah. Berefleksi berarti mensenyawakan visi hidup yang positif. Melucuti jauh-jauh emosi negatif, kemudian mengaktifkan kembali karsa dan misi hidup, berhijrah untuk lebih mengabdi kepada Tuhan, sembari secara konsisten berkhidmat kepada sesama.

Momentum hijrah diperingati tiap tahun agar denyut nadi hidup tidak terhenti sebatas gempita dunia. Lebih dari itu, menghujam pada tujuannya yang lebih substansial, yaitu mereformasi diri. Spiritnya mengajarkan tentang perlunya menata ulang resonansi hidup untuk membuka lembaran-lembaran baru. Reorientasi dan renegosiasi diri ini penting untuk meredam mentalitas yang berorientasi pada ego dan menyembuhkan bilur-bilur dosa. 



Prosesi hijrah bisa berlangsung pada siapa saja dan kapan saja karena hijrah merupakan metafora perubahan pada diri manusia sebagai mandataris Tuhan (khalifah) agar lebih humanis. Sebab, di mana-mana agama mengajarkan pada manusia untuk jeli membedakan mana yang barbar, mana yang berpihak pada kemanusiaan, mana yang sekedar artifisia,l dan mana yang esensial dalam hidup. Untuk itu, agama memuliakan akal budi yang waras dengan segala imperatif moralnya demi kemaslahatan umat manusia.

Hijrah tidak melulu berarti mutasi secara horizontal, berpindah dalam sekat dimensi ruang, namun bisa juga diartikan sebagai mengubah diri secara vertikal, bergeser menjadi pribadi yang lebih saleh. Tanpa terlalu terbebani masa lalu, untuk meringankan langkah menuju aras kehidupan yang baru. Meratapi yang telah lampau sungguh bukan sikap yang bijak. Kesalahan yang lalu dijadikan pelajaran berharga sebagai bekal sekaligus jembatan emas untuk meraih cita. 

Steven Pinker dalam karyanya Enlightement Now (2018) menyatakan bahwa aras kehidupan selalu menyisakan narasi masa lampau dan menawarkan agenda masa depan. Anyaman serat masa silam memang harus bersangkut paut dengan rajutan harapan masa depan agar fajar hari esok tak terbenam dalam lumpur sejarah yang tiap episodenya nyaris selalu tak terduga.



Melalui analisis proses, setiap peristiwa yang terjadi bukan karena faktor kebetulan, namun sarat makna dan hikmah yang siap diunduh. Mengarsir setiap momen secara tepat, berarti menghadirkan kesadaran Ilahiah bahwa dalam tiap coretan takdir tak akan lepas dari rengkuhan kasih sayang Ilahi.

Puzzle-puzzle hidup bukanlah lahan tandus yang kering akan humus-humus kebaikan. Hidup harus selalu diisi dengan tebaran benih-benih kebaikan. Tanamlah tunas kebajikan sekarang, jadilah inspirator kebaikan, pupuk dengan penuh ketulusan hati agar menjadi warisan nilai yang bermanfaat bagi generasi yang akan datang.

Yang perlu diingat, berhijrah merupakan karpet merah menuju kesuksesan. Mengubah nasib diperlukan mengubah cara pikir dan pola hidup. Memang, tak jarang dalam perjalanannya, hidup dipenuhi pilihan-pilihan kesempatan. Namun, lagi-lagi yang paling menentukan corak dan warnanya adalah pemaknaan dari setiap pilihan tersebut.

Sayangnya, nilai-nilai hijrah jarang dikonversikan secara tepat dalam realitas sosial. Yang sering terjadi, pemaknaan terhadap hijrah hanya berhenti pada "hasil penerjemahan" masing-masing individu. Namun, jangan salah kaprah, berhijrah bukanlah diukur dari fenomena yang tampak secara dzahir



Menjadi latah bila berhijrah sifatnya musiman, berkecambah dalam kelabilan rongga hidup. Diktum hijrah tidaklah menjerembabkan diri pada tataran simbolik, diukur serupa aksesoris, apalagi hanya soal ketebalan jenggot ataupun seberapa hitam dahinya, melainkan lebih dari itu, yaitu membenahi akhlak.

Tak ayal, hijrah menuntut seseorang dengan kesadaran eksistensialnya untuk mentransformasi dirinya menuju tahapan yang lebih baik. Tak bisa dikatakan hijrah bila tak berdaya progresif, transformatif dan visioner. Tinggal bagaimana mengimplementasikannya sehingga pesan moral berhijrah tidak hanya berhenti pada moralitas individu, tetapi benar-benar terpendarkan dan terealisasikan secara riil dalam kehidupan sosial. 

Momentum hijrah ini pada irisan tertentu sangat relevan dengan kondisi bangsa akhir-akhir ini. Di tengah hilir mudiknya dengusan hoaks, fitnah, virus kebencian, dan bahaya laten radikalisme, menunjukkan bahwa kita sepertinya bergerak menjauh (sentrifugal) dari inti ajaran agama, yaitu welas asih (compassion). Betapa elok bila masing-masing kita saling bersatu padu, mengumpulkan puing-puing retakan kebencian yang berserakan agar menjadi satu kesatuan cinta yang utuh kembali.

Tanpa kesadaran dan keinginan bersama (collective conciousness), nasib bangsa ini tak akan berubah, hanya terjebak pada pragmatisme hidup, terhinggapi wabah hedonisme yang bermuara pada korupsi, kolusi dan nepotisme. Cita-cita luhur bangsa ini harus dibentangkan jauh ke depan. 



Yang utama adalah menatap ke depan selaras dan senapas dengan arah dan haluan bangsa. Kesatuan cara pandang terhadap tujuan bernegara merupakan suatu keniscayaan. Sungguh memilukan bila anak-cucu kita nantinya akan mengenang betapa rakusnya generasi sebelumnya.

Bukalah hati dan pikiran, mari temukan jati diri bangsa yang penuh kesederhanaan, kesantunan, toleran, welas asih, dan gotong royong. Itulah jihad akbar yang sesungguhnya untuk berhijrah menuju bangsa yang beradab dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar