SOLID GOLD BERJANGKA MAKASSAR - Tibet tak selalu seindah foto-foto yang bertebaran di Google, tak
selalu sedamai wajah Dalai Lama. Paling tidak itu yang dialami sendiri
oleh Jhon Erickson Ginting. Dia terbang dari Xianggelila alias kota
Shangri-La dan mendarat di Lhasa, ibukota wilayah otonomi Tibet, pada
pertengahan 2006.
Begitu keluar dari Bandara Lhasa, Jhon langsung
mendapat suguhan pemandangan kurang enak. Ada sekelompok wisatawan
tengah berdebat sengit dengan calo-calo taksi. Rupanya, para calo itu
pasang harga jauh di atas normal. Perdebatan itu berakhir buruk setelah
wisatawan-wisatawan itu memilih naik angkutan umum. “Mereka memaksa dan
memaki-maki para traveler tersebut dengan bahasa yang sangat kasar,”
Jhon menuturkan.
Jhon tiba di Lhasa bersama dua teman
seperjalanan, Ben dan pacarnya, Vivian, yang dikenalnya di Shangri-La.
Tak cuma melihat indahnya Tibet, Jhon juga menyaksikan betapa keras dan
sulitnya hidup di ‘atap dunia’ itu. Setelah sempat menikmati beberapa
hari jalan-jalan hingga pedalaman Tibet, Ben dan Vivian mengajak Jhon
melanjutkan perjalanan ke Kathmandu, Nepal.
Perjalanan Jhon dan
teman-temannya dari Lhasa ke Kathmandu dengan mobil jip sewaan, menempuh
jarak sekitar 1000 kilometer, benar-benar sebuah petualangan. Hingga
kota Zhangmu, kota di perbatasan China dengan Nepal, tak ada persoalan.
Meski sepanjang jalan lelahmendengar perdebatan tanpa akhir dari dua
temannya, Ben dan Vivian, Jhon lumayan menikmati perjalanan.
Tapi
lain cerita setelah mereka menyeberang ke Kodari, kota di Nepal, di
seberang Zhangmu. Ben, master bisnis lulusan universitas kondang di
Amerika Serikat, Universitas Stanford, dengan percaya diri mewakili
teman-temannya menawar mobil sewaan dari para calo. Jhon, Vivian dan
Jerry, pemuda asal Shanghai, yang bergabung bersama mereka di Lhasa,
memilih menonton dari jauh.
Entah bagaimana bermula,
tawar-menawar harga sewa mobil itu berubah jadi pertengkaran. Calo-calo
lain mulai merubung Ben. Suasana jadi tegang. Jhon ingat betul, tatapan
mata puluhan orang itu sama sekali tidak bersahabat. Salah seorang
diantara mereka mulai tidak sabar dan berteriak. “F*ck you tourist!! We will kill you!!” Jhon, kepada DetikX, menirukan umpatan sang calo. Sumpah serapah berhamburan.
Kalau terlambat sedikit saja mungkin kami semua bisa terbunuh'BACA JUGA :Solidberjangka | Memahami Modus Operandi Dan Cara Kerja Penipuan
Di
tengah situasi kritis itu, tiba-tiba ada orang berlari dari jalan raya
dan menawarkan sewa mobil dengan biaya 4000 rupee, 2000 rupee lebih
murah ketimbang harga yang ditawarkan calo sebelumnya. Tanpa pikir
panjang lagi, Jhon segera menyuruh Vivian dan Jerry lompat masuk ke
mobil. Jhon menyeret Ben dari kerumunan dan menyuruhnya segera masuk
mobil dan sopir buru-buru tancap gas. Meski masih kaget dan hampir jadi
sasaran keroyokan para calo, Ben masih ‘berlagak’ menenangkan
teman-temannya.
“Saya juga heran kok bisa mendadak ada yang nawarin
kami naik mobil. Kalau terlambat sedikit saja mungkin kami semua bisa
terbunuh,” kata Jhon soal pengalaman menegangkan di kota perbatasan
Nepal. Situasi saat itu memang sedang tidak kondusif imbas perang
saudara antara pemberontak Maois melawan tentara Nepal.
Pengalaman
menegangkan seperti itu bukan hanya sekali dua kali dihadapi Jhon di
pelbagai negara. Dia memang bukan tipe turis yang datang, tidur di hotel
berbintang, makan serba enak, kemana-mana diantar pemandu, jeprat-jepret berswafoto,
unggah foto-foto di Instagram, terus pulang. Sebagai ‘kuli ngebor’ yang
punya pengalaman panjang di perusahaan-perusahaan minyak asing, lulusan
Teknik Perminyakan, Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sudah biasa
terbang ke banyak negara. Tapi perjalanan seperti itu tak dia hitung
sebagai jalan-jalan.
Jhon, kini 46 tahun, doyan jalan-jalan ke
tempat yang bisa memompa adrenalinnya. Bayangkan saja, dari begitu
banyak tempat di muka bumi yang layak dikunjungi, John justru sengaja
memilih negara-negara yang dilanda konflik atau negara dengan tingkat
kriminalitas tertinggi sebagai negara-negara tujuannya. Dari 25 negara
yang pernah ia kunjungi, beberapa di antaranya tak ‘lazim’ jadi tujuan
wisata seperti Kongo, Rwanda, Uganda, dan Malawi di benua Afrika.
“Perjalanan
yang saya lakukan bukan tipe perjalanan yang disukai kebanyakan orang
Indonesia. Saya jalan bukan cuma sekedar lihat pemandangan. Harus ada
makna dan tantangannya. Kalau nggak, bukan perjalanan namanya tapi cuma
darmawisata,” Jhon menuturkan.
Film televisi The Young Indiana
Jones Chronicles yang dibintangi Sean Patrick Flannery merupakan salah
satu inspirasi dari kenekatannya. Film itu mengisi hari-hari John semasa
kuliah di ITB. Tapi yang mendorong John melakukan perjalanan menantang
maut, salah satunya adalah kematian beruntun adik, bapak dan pamannya
dalam waktu tiga tahun.
Kejadian ini sempat membuat Jhon
terguncang. Ia menyalahkan Tuhan atas kematian ketiga orang yang ia
cintai. Tak hanya meninggalkan kehidupan religiusnya, Jhon jadi suka
menantang kematian, seolah-olah hendak menjemput sang maut. Dia sengaja
melamar pekerjaan sebagai konsultan pengeboran minyak di Irak, negara
yang tercabik-cabik oleh perang dan konflik bersenjata, pada 2007. Bukan
gaji ribuan dolar yang menarik bagi Jhon. “Bukan karena gaji yang
besar, tapi karena aku ingin menikmati sensasi berada di negara yang
sedang berperang,” kata dia.
Sejak masih kecil, bisa dibilang Jhon
memang sudah terbiasa dengan lingkungan keras. Dia lahir dari keluarga
lumayan berada. Bersama saudaranya, ia tinggal di pinggiran kota Medan,
tepatnya di daerah Pancur Batu. Rumahnya persis di samping terminal bus.
Hal itu membuatnya dekat dengan dunia jalanan. Apalagi dulu di awal
tahun 1980-an, daerah tempatnya tinggal, dikenal sebagai tempat lahirnya
para dukun, santet dan pembunuh bayaran. Jika jam sudah lewat pukul 7
malam, tak ada warga yang berani keluar.
Waktu kuliah di Bandung,
Jhon dan teman-temannya juga pernah ambil bagian dalam kegiatan
LATSITARDA atau Latihan Integrasi Taruna Wreda yang melibatkan para
taruna dari Akademi Militer dan Akademi Kepolisian, juga taruna sekolah
di bawah Kementerian. Di kampus, dia ikut organisasi pecinta alam
Wanadri Komisariat ITB. Saat bekerja di Irak, Jhon juga sempat dibekali
berbagai persiapan bertahan hidup di negara konflik.
“Living between life and death is fun, but once you make a mistake, you dead.
Saya bisa dibilang sudah cukup terlatih dan dibekali ilmu bela diri.
Saya juga bisa tinju. Kalau sama sekali tidak punya kemampuan itu, don’t do it, please...seriously,” dia memperingatkan dengan tampang serius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar