SOLID GOLD BERJANGKA MAKASSAR - Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya Titiek Soeharto mengungkit zaman
Orde Baru dalam kampanyenya. Dia mengatakan, jika Prabowo menang Pilpres
akan dilanjukan program-program Orde Baru.
Lalu sebenarnya seperti apa kondisi perekonomian RI saat periode Orde Baru?
Perekonomian
dalam masa Orde Baru ada beberapa kejadian penting. Dimulai ketika
Soeharto dilantik menjadi Presiden menggantikan Soekarno pada 1967.
Pada saat itu disebut-sebut sebagai masa pemulihan ekonomi. Sebelum
peralihan tongkat kepemimpinan memang tengah terjadi gejolak
perekonomian.
Pemerintah Orde Lama tak bisa mengatasi krisis
ekonomi yang terjadi di penghujung 1950-an. Imbasnya sempat terjadi
meroketnya inflasi (hiperinflasi) yang mencapai 635% pada 1966.
Dengan
berbegai kebijakan ekonomi, pemerintah Orde Baru mampu meredam hiper
inflasi itu. Franciscus Xaverius Seda (Menteri Keuangan 1966-1968)
menjadi aktor utama dari upaya menekan inflasi menjadi 112%.
Frans
mengatasi permasalahan ekonomi saat itu dengan cara menerapkan model
anggaran penerimaan dan belanja yang berimbang. Hal itu untuk meredam
imbas dari kebijakan pemerintahan sebelumnya yang rajin mencetak uang.
Upaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru terbilang berhasil saat itu. Ekonomi RI mulai stabil.
Salah
satu vitamin dari sembuhnya perekonomian ketika RI dibawah pimpinan
Soeharto kembali bergabung dengan lembaga pemberi utang dunia alias
International Monetary Fund (IMF) pada 1967. Sebelumnya Presiden
Soekarno sudah mencabut keanggotaan Indonesia di IMF pada 1965 karena
permasalahan politik.
Era pemerintahan Orde Baru menindonesia
jadi angota IMF sejakgalami titik penting lainnya saat terjadi booming
minyak pada periode 1974-1982. Tingginya harga minyak di pasar
internasional membuat pemerintah orde baru mendapatkan pemasukan yang
cukup besar.
Pada 1977 Indonesia memproduksi begitu banyak minyak hingga mencapai
1,68 juta barel perhari, sementara konsumsi BBM rakyat Indonesia hanya
sekitar 300.000 barel per hari. Ini yang menyebabkan Indonesia masuk
dalam organiasasi OPEC (Organization of the Petroleum Exporting
Countries).
Besarnya pemasukan negara dari sektor minyak, membuat
pemerintah orde baru memiliki amunisi untuk melakukan pembangunan.
Pembangunan yang dilakukan saat mengarah pada tujuan sosial.
Menurut
data sejarah yang dicatat Bank Indonesia (BI), kondisi itu memungkinkan
pemerintah memacu kegiatan pembangunan ekonomi dan melaksanakan program
pemerataan pembangunan lewat penyediaan kredit likuiditas, termasuk
pemberian kredit untuk mendorong kegiatan ekonomi lemah.
Namun,
pengucuran deras kredit perbankan tersebut mengakibatkan uang beredar
meningkat dalam jumlah yang cukup besar. Akibatnya, tingkat inflasi
1973/1974 melonjak tajam menembus angka 47%.
Pemerintah Orde Baru kembali berbenah diri dengan melakukan program stabilisasi. Pada 1974/1975 inflasi pun turun menjadi 21%.
Hal
ini memberi peluang Pemerintah untuk menurunkan suku bunga deposito dan
kredit jangka pendek terutama ekspor dan perdagangan dalam negeri pada
Desember 1974 guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi
pelonggaran itu justru menimbulkan tekanan inflatoir sehingga
mengakibatkan lemahnya daya saing produk Indonesia di luar negeri karena
nilai rupiah menjadi over valued.
Pada 15 Nopember 1978
pemerintah mengambil kebijakan yang dikenal dengan KNOP 15 yang
mendevaluasi Nilai Rupiah sebesar 33,6% dari Rp 415 per US$ menjadi Rp
625 per US$. Sejak saat itu pula sistem nilai tukar diubah menjadi
sistem nilai tukar mengambang terkendali dengan mengaitkan mata uang
Rupiah dengan sekeranjang mata uang mitra dagang utama.
Ekonomi
Indonesia juga terguncang ketika anjloknya harga minyak dunia yang
terjadi pada 1980-an karena banjirnya pasokan minyak dunia. Harga minyak
mentah dari US$ 35 per barel turun menjadi kurang dari US$ 10 pada
1986.
"Krisis ekonomi tahun 1980-an awal negara bangkrut karena
harga minyak turun di bawah US$ 10 per barrel. Pertamina bangkrut dan
negara bangkrut karena 80% pendapatan negara berasal dari minyak," kata
Ekonom Indef Didik J Rachbini kepada detikFinance.
Saat itu
Pertamina mengalami kerugian hingga US$ 10,5 miliar. Ibnu Sutowo yang
saat itu menjadi Dirut Pertamina dituding korupsi dan menjadi penyebab
kebangkrutan Pertamina.
Saat itu, kata Didik, pemerintah menyelesaikan sengkarut perekonomian
dengan strategi dan kebijakan ekonomi outward looking, yaitu menggalang
ekspor dan daya saing nasional.
"Dari kebijakan ini maka ekspor kita berkembang dari hanya US$ 20-30 miliar menjadi lebih dari US$ 100 miliar," tambahnya.
Saat
itu juga kerap disebut sebagai periode liberalisasi. Pemerintah Orde
Baru melakukan liberalisasi pada sektor industri, pertanian dan pangan.
Dengan
memanfaatkan upah buruh yang murah, pemerintah Orde Baru mencoba untuk
menarik investor asing. Investor asing juga masuk ke sektor pertanian
dengan memproduksi pupuk kimia dan pestisida.
Loncat hingga ke
penghujung pemerintahan Orde Baru mulai terjadi tanda-tanda krisis
ekonomi sejak 1997. Gelombang dimulai dari Thailand, meskipun Indonesia
saat itu belum terlihat gejala krisisnya.
Namun saat itu banyak dari perusahaan nasional yang memiliki utang di luar negeri. Rupiah mulai melemah pada Agustus 1997.
Memasuki
pertengahan 1997 Indonesia pun meninggalkan sistem kurs terkendali.
Penyebabnya, cadangan devisa Indonesia rontok karena terus-terusan
menjaga dolar AS bisa bertahan di Rp 2.000-2.500.
Setelah memakai kurs mengambang, dolar AS secara perlahan mulai
merangkak ke Rp 4.000 di akhir 1997, lanjut ke Rp 6.000 di awal 1998.
Setelah
sempat mencapai Rp 13.000, dolar AS sedikit menjinak dan kembali
menyentuh Rp 8.000 pada April 1998. Namun pada Mei 1998, Indonesia
memasuki periode kelam. Penembakan mahasiswa, kerusuhan massa, dan
kejatuhan Orde Baru membuat rupiah 'terkapar' lagi.
Sampai
akhirnya dolar AS menyentuh titik tertinggi sepanjang masa di Rp 16.650
pada Juni 1998. Kondisi itu menimbulkan kekacauan di Indonesia. Hingga
akhirnya Orde Baru tumbang digantikan Reformasi pada Mei 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar