PT SOLID GOLD BERJANGKA MAKASSAR - Presiden Joko Widodo agaknya tengah tak enak hati melihat fenomena
politik nasional belakangan ini. Ia, yang selalu tampil datar saat
berbicara, cenderung tidak ekspresif dan jarang sekali meledak-ledak,
akhirnya menumpahkan kekesalannya. Ketika berpidato di acara pembagian
sertifikat hak atas tanah di Jakarta Selatan, dengan nada geram ia
menyebut lawan politiknya sebagai "politikus sontoloyo".
Istilah
"politikus sontoloyo" merujuk pada karakter politikus yang selalu
mempolitisasi kebijakan pemerintah dan menghalalkan segala macam cara
--termasuk mengadu domba, mengeksploitasi kebencian, serta cara-cara
tidak beretika lainnya-- untuk menarik simpati masyarakat.
Tidak
ada kepulan asap tanpa api. Begitu pula pernyataan Jokowi ihwal
politikus sontoloyo tersebut. Ia geram karena setiap kebijakannya selalu
dipolitisasi oleh lawan politiknya. Yang paling baru adalah kebijakan
pemerintah terkait dana kelurahan. Pihak oposisi menganggap program itu
sebagai kebijakan populis yang bertujuan mempermak citra Jokowi
menghadapi Pilpres 2019. Padahal, program dana kelurahan merupakan
usulan dari Asosiasi Pemeritah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi).
Kebuntuan Dialog
Iklim kebebasan yang dibawa
oleh angin gerakan Reformasi tampaknya betul-betul mengubah lanskap
sosial-politik kita. Tidak terkecuali dalam hal komunikasi politik yang
cenderung lebih bebas, terbuka, meski acapkali melampaui batas. Maka,
nyaris saban hari kita disuguhi praktik komunikasi politik yang ramai
oleh lalulalang ujaran atau frasa yang cenderung sarkastis. Kata-kata
seperti dungu, pembohong, mencla-mencle, plonga-plongo, antek asing, bahkan cebong-kampret menjadi kudapan kita sehari-hari.
Sekilas,
fenomena penggunaan kata atau frasa sarkastis dalam komunikasi politik
itu merupakan hal biasa. Namun, jika ditilik lebih dalam, fenomena itu
menandai terjadinya kebuntuan dialog dalam sistem demokrasi kita. Di
satu sisi, kita memang mempraktikkan demokrasi, namun di sisi lain kita
alpa menjadikan dialog sebagai variabel penting di dalamnya.
Fenomena
demokrasi tanpa dialog itu tampak jelas dalam perilaku para politisi
--baik dari kubu oposisi maupun pemerintah-- yang sibuk menyusun narasi
politik yang memiliki kecenderungan satu arah. Para politisi kubu
oposisi sibuk menghujat kerja pemerintah, acapkali dengan data yang
sumir nilai validitasnya.
Tidak jarang pula, peluru-peluru
kritik itu dilontarkan membabi-buta, bukan sebagai upaya mencari solusi
problematika kebangsaan, melainkan lebih untuk mendelegitimasi otoritas
pemerintah yang sah. Lebih parah lagi, ketika upaya mendelegitimasi
kekuasaan pemerintah itu dilakukan dengan mengeksploitasi isu identitas,
terutama agama.
Di sisi yang berseberangan, para politisi yang berada dalam gerbong
pemerintah pun acapkali memperlihatkan karakter arogan, alergi pada
kritik, dan terkesan hidup dalam menara gading kekuasaan. Setiap kritik
yang dilayangkan pada pemerintah, baik yang datang dari kubu oposisi
atau masyarakat sipil non-partisan, nyaris selalu ditanggapi dengan
respons bernada sinis. Seringkali pula, pemerintah berkilah bahwa kritik
harus berdasar pada data atau bahwa kritik harus satu paket dengan
solusi. Kalimat-kalimat itu, dalam banyak hal justru menunjukkan watak
kekuasaan pemerintah yang semi-otoriter.
Matinya tradisi dialog
dalam demokrasi kita berakibat fatal. Publik terpolarisasi dalam dua
kelompok afiliasi politik yang corak relasinya selalu diwarnai dengan
kecurigaan dan ketegangan. Isu-isu besar dan strategis seperti masalah
ekonomi, pemberantasan korupsi, hingga penegakan hak asasi manusia
kemudian hanya berakhir sebagai bahan polemik. Para elite politik
masing-masing kubu pun sibuk menyusun argumen untuk menyerang lawan
politik atau membela sang junjungan. Semua itu dilakukan dalam bingkai
komunikasi satu arah layaknya sebuah pertunjukan drama tunggal.
Ketidakhadiran dialog dalam sistem demorasi kita telah melahirkan banyak
persoalan. Selain menguatnya polarisasi politik, hal itu juga berdampak
pada menabalnya kehendak untuk berkuasa (will to power) yang
berujung pada sikap mau menang sendiri, intoleran, dan tidak peduli pada
eksistensi kelompok lain. Sebuah kondisi yang disebut oleh pemikir
posmodern Felix Guattari sebagai the monologic democracy.
Situasi
demokrasi monologik dicirikan (salah satunya) dengan relasi sosial yang
asimetris. Yakni, terdapat satu kelompok dominan di dalam masyarakat
yang berupaya mengontrol kelompok lain dengan cara-cara represif dan
memaksa untuk menjadikan kelompok lain tidak lebih dari subjek pasif
politik.
Dalam konteks Indonesia, demokrasi monologik itu tampak
jelas dalam praktik komunikasi politik antara pemerintah dan oposisi.
Pemerintah cenderung menempatkan diri sebagai kekuatan politik absolut
yang mengklaim setiap kebijakannya sebagai upaya menyejahterakan
masyarakat. Sementara, kritik-kritik yang dilancarkan pihak oposisi
acapkali justru tidak merepresentasikan kepentingan masyarakat di level
akar rumput.
Demokrasi Dialogis
Demokrasi dan dialog(isme)
idealnya menjadi satu paket mekanisme sosial yang dipraktikkan dalam
satu tarikan napas. Tanpa dialog, demokrasi tidak akan menjadi sistem
sosial-politik yang mumpuni untuk menyelesaikan persoalan bersama (common problem). Sebaliknya, ketidakhadiran dialog dalam demokrasi justru akan mengantarkan demokrasi menuju senjakalanya.
Demokrasi
yang sehat membutuhkan sebuah relasi sosial-politik yang simetris, di
mana masing-masing entitas memiliki kedudukan yang sejajar dan
mempraktikkan pola relasi dialogis. Artinya, tidak ada yang lebih
dominan ketimbang yang lain. Hanya dalam kondisi yang seperti itulah
dimungkinkan terjadinya semacam proses pertukaran sosial (social exchange) yang menjunjung tinggi sikap saling menghargai. Dari situlah benih-benih demokrasi berbasis dialog(isme) dapat disemai.
Membangun
demokrasi dialogis dapat dimulai dengan membenahi pola komunikasi
politik, terutama di level elite. Elite politik, sebagai kelompok yang
paling sering mengamplifikasi isu-isu strategis patut memperhatikan
pilihan kata, frase, intonasi sekaligus gaya bicara di depan publik.
Pemilihan kata atau frasa yang berkonotasi peyoratif hanya akan membuat
publik tergiring dalam tarikan arus turbulensi sosial.
Di level puncak, para elite politik gemar memaki, di bawah masyarakat
sibuk memproduksi ulang makian itu untuk bertikai satu sama lain. Jika
praktik yang demikian ini terus terjadi, patut dikhawatirkan akan
terjadi turbulensi sosial yang lebih besar yang berpotensi menyulut
kekacauan (chaos). Alih-alih disuguhi pertunjukan monolog
dengan taburan diksi meresahkan, publik tentu lebih membutuhkan
dialog-dialog politik yang mencerahkan di satu sisi dan efektif dalam
menyelesaikan problem sosial di sisi lain.
Esensi demokrasi --seperti dikonsepsikan oleh Jurgen Habermas-- ialah terciptanya sebuah ruang publik (public sphere).
Di dalamnya, setiap entitas bebas menyampaikan pendapatnya, berdebat
dan saling mengadu gagasan, tentunya dengan bahasa dan komunikasi
politik yang tidak hanya kreatif, namun juga memberikan teladan bagi
masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar