PT SOLID GOLD BERJANGKA - Sering buat lawak politik, penipu rakyat, antikritik, melanggar
konstitusi, tanpa otak, kurang waras, memaksakan kehendak. Serentetan
keburukan itu diasosiasikan politisi Partai Gerindra Arief Poyuono
dengan sifat-sifat Partai Komunis Indonesia (PKI).
PKI adalah
partai terlarang dan bereputasi buruk di negara ini. Yang paling
terkenal terkait partai ini tentu adalah peristiwa berdarah yang
terpatri lewat singkatan horor G30S/PKI (Gerakan 30 September). Sejak
geger 1965 itu, PKI tak lebih sebagai kombinasi tiga huruf yang
merepresentasikan kebejatan paripurna.
Kini sifat-sifat buruk
PKI diungkapkan kembali, secara tidak langsung, oleh politisi Gerindra
Arief Poyuono saat dia membahas soal PDI Perjuangan. Sejarawan mencoba
memeriksa kembali pernyataan itu. Dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), ada Asvi Warman Adam yang menilai Arief melakukan dua
kesalahan.
"Politisi tersebut melakukan kesalahan ganda. Pertama, kritik terhadap
PKI itu tidak benar. Kedua, menyamakan PKI dengan PDIP juga keliru,"
kata Asvi kepada detikcom, Kamis (3/8/2017).
Dia mencoba menelaah, sifat bikin lawak politik, antikritik, hingga
melanggar konstitusi bukanlah eksklusif milik PKI. Malahan, sifat-sifat
buruk yang demikian lebih lekat dengan Orde Baru, rezim yang menumpas
habis sisa-sisa PKI pasca-peristiwa '65.
"Yang bikin lawak politik, antikritik, dan melanggar konstitusi kan rezim Orde Baru," ujar Asvi.
Lawak
politik dipentaskan dari pemilu ke pemilu era Presiden Soeharto, karena
sebelum Pemilu digelarpun semua orang sudah tahu hasilnya, Golkar yang
menang. Orde Baru juga dikatakannya antikritik, karena segala kritik ke
Soeharto bakal langsung dicekal bahkan kritikusnya bisa mati. Sifat
melanggar konstitusi disebut Asvi tercatat dalam sejarah Komando
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkambtib). Menurutnya Kopkambtib
melanggar konstitusi.
"Petisi 50," ucap Asvi, mencoba
mengingatkan kembali soal dokumen protes penggunaan filsafat negara
Pancasila sebagai alat persekusi Soeharto terhadap lawan-lawan
politiknya. Petisi 50 itu terbit 5 Mei 1980, ditandatangani 50 tokoh
termasuk Jenderal Nasution, Kapolri Hoegeng Imam Santoso, hingga mantan
Gubernur Jakarta Ali Sadikin.
PKI, dijelaskannya, merupakan
partai pemenang ke-4 dalam Pemilu 1955. Ini menunjukkan program-program
yang ditawarkan partai pimpinan Dipa Nusantara Aidit itu pernah disukai
rakyat, imbasnya ke kuantitas jumlah pemilih kala itu. PKI juga
tergolong tahu cara menarik simpati rakyat, yakni dengan menampilkan
kesenian rakyat di panggung. Saat itu, cara penampilan kesenian dalam
aktivitas kepartaian belum dilakukan partai-partai lain. Lalu bagaimana
bisa segala hal yang buruk-buruk itu diatribusikan ke PKI?
"Itu kan gaya atau penyakit baru yang menjadikan PKI sebagai kambing hitam. Orang yang kritis dituduh PKI," kata Asvi.
Di
zaman Orde Baru, pihak yang kritis mudah sekali mendapat cap PKI.
Berdasarkan catatannya, kampanye hitam terhadap PKI dimulai sejak
Oktober 1965. Disusul ada gerakan de-Sukarno-isasi untuk mengkerdilkan
ingatan massal tentang Sukarno berikut jasa-jasanya.
Sejarawan dari Universitas Indonesia (UI), Anhar Gonggong menilai
sisa-sisa desukarnoisasi bisa jadi adalah sebab dari terbentuknya opini
era kini bahwa Sukarno lekat dengan PKI, kemudian PDIP sebagai partai
yang dipimpin putri Sukarno juga dianggap tak jauh beda. Namun
sebenarnya catatan sejarah yang dipegang Anhar tak membuktikan bahwa
Sukarno itu lekat dengan PKI.
"Ketika itu Orde Baru menyebut
Sukarno seakan-akan PKI. Tapi kan tidak benar. Sukarno itu sudah anggota
Muhammadiyah sejak 1938," ujarnya.
Memang Sukarno punya ide
tentang Nasionalisme Agama dan Komunisme (Nasakom). Namun demikian
Sukarno bukanlah seorang komunis. Ide itu digagasnya pada 1926 untuk
menyatukan tiga kekuatan besar: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.
Meski Sukarno tahu ide itu mustahil, tapi demi melawan kolonialisme dan
imperialisme toh ide itu lahir juga.
PKI sendiri jelas terbukti
buruk. Saat Peristiwa 1948, Perdana Menteri Mohammad Hatta secara jelas
mengatakan PKI memang melakukan kudeta. Namun Anhar memberi catatan,
peristiwa Madiun sebenarnya juga tak sesimpel peristiwa 'pemberontakan
PKI'. Di situ ada tiga kekuatan kiri yang bertarung yakni PKI pimpinan
Muso dan Amir Syarifudin yang mengusung Marxisme-Leninisme ala Soviet,
Partai Murba dengan tokoh Tan Malaka yang tak setuju dengan PKI, dan
Partai Sosialis Indonesia dengan tokoh Sutan Syahrir yang berhaluan
sosial-demokrat.
Itu masa lalu. Kembali lagi ke pernyataan
politisi Gerindra Arief Poyuono yang menyebut 'wajar PDIP disamakan
dengan PKI'. Anhar menilai itu tak ada gayutan sejarahnya. PDIP punya
rantai sejarah dengan PDI, dan PDI adalah partai yang didirikan pada
1973 sebagai penggabungan dari sejumlah partai, yakni Partai Nasional
Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), dan Partai Katolik. Tak ada PKI di situ.
Anhar berpesan ke Arief Poyuono, "Kalau mengeluarkan pernyataan, tunjukkan buktinya lah."
Belakangan,
Arief meminta maaf ke Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri atas
ucapannya itu. Namun yang jelas, segala sifat negatif yang disebutkan
Arief memang harus dihindari semua pihak. Sifat itu adalah sering buat
lawak politik, penipu rakyat, antikritik, melanggar konstitusi, tanpa
otak, kurang waras, dan memaksakan kehendak.
BACA JUGA : SOLID GOLD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar