PT SOLID GOLD BERJANGKA MAKASSAR - Malam itu sudah larut saat Soejono Hadipranoto, Asisten Wedana
Rengasdengklok, bergegas ke rumah Djiau Kie Siong. Hari itu, 16 Agustus
1945, ada tamu-tamu penting “menginap” di rumah Kie Siong. Mereka,
Sukarno, Mohammad Hatta, istri Sukarno, Fatmawati, dan putranya, Guntur
Soekarnoputra, “diculik” oleh sekelompok aktivis pemuda yang dipimpin
Soekarni dan disembunyikan di rumah Kie Siong.
Saat tiba di rumah
Kie Siong, Soejono melihat Bung Karno dan rombongan sudah bersiap masuk
mobil. Sekitar pukul 21.00 WIB, setelah setengah harian di
Rengasdengklok, Sukarno-Hatta bersiap pulang kembali ke Jakarta. Di
bangku belakang, Fatmawati, yang memangku Guntur, duduk diapit Bung
Karno dan Bung Hatta. Di bangku depan, Soekarni berdempetan dengan
Achmad Soebardjo di samping sopir, Danuasmoro.
Sebelum masuk mobil, Soejono, dikutip Her Suganda dalam bukunya, Rengasdengklok,
sempat mendengar Bung Karno berkata kepada Soebardjo, ”Jadi besok pagi
jam 10.00 saya umumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia?” Soebardjo
menjawab singkat, ”Ya”. Soebardjo inilah, bersama Sudiro dan Jusuf
Kunto, setelah mendapat jaminan keamanan bagi Bung Karno dan Hatta dari
Laksamana Muda Tadashi Maeda, Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut
Jepang, yang mendapat tugas menjemput mereka dari Rengasdengklok.
Bagaimana
muncul tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 sebagai saat Proklamasi
Kemerdekaan, tak banyak sumber menjelaskan. Deliar Noer, yang menulis
buku Mohammad Hatta, Biografi Politik, tak memaparkan kapan persisnya waktu Proklamasi itu diputuskan. Dalam biografinya, Menuju Gerbang Kemerdekaan, Bung Hatta juga tak bercerita soal penentuan tanggal itu.
Sagimun M.D. menulis dalam bukunya, Peranan Pemuda dari Sumpah Pemuda sampai Proklamasi,
keputusan itu diambil di Rengasdengklok saat Bung Karno berdiskusi
dengan Soebardjo, Soekarni, Hatta, dan Soebeno. Dalam biografinya yang
ditulis Cindy Adams pada 1965, An Autobiography: As Told to Cindy Adams, Bung Karno mengatakan sudah memilih tanggal itu jauh-jauh hari.
Saat
masih di Saigon, Vietnam, ketika dia dan Hatta diundang oleh Marshal
Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara,
pada 12 Agustus 1945, dia sudah memilih 17 Agustus sebagai waktu
pembacaan Proklamasi.
“Saya seorang yang percaya pada mistik.
Saya tidak dapat menerangkan secara pertimbangan akal mengapa tanggal
17 lebih memberi harapan kepadaku…. Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat
yang berbahagia. Jumat suci. Dan hari Jumat adalah tanggal 17. Al-Quran
diturunkan tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 rakaat dalam sehari.
Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan salat 17 rakaat, mengapa tidak 10
atau 20 saja? Ini karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,”
kata Bung Karno.
Tapi benarkah tanggal 17 Agustus itu dipilih
saat Sukarno menemui Marshal Terauchi? Dalam pertemuan di Kota Da Lat,
Vietnam, pada 12 Agustus, Marshal Terauchi menyampaikan pemerintah
Jepang di Tokyo sudah setuju untuk memberikan kemerdekaan kepada
Indonesia. Sukarno sempat bertanya kapan berita itu bisa disampaikan
kepada rakyat Indonesia.
“Terserah kepada Tuan-tuan di
Panitia Persiapan. Kapan saja boleh. Itu sudah menjadi urusan
Tuan-tuan,” kata Terauchi, dikutip Hatta dalam biografinya, Menuju Gerbang Kemerdekaan: Untuk Negeriku. Dan disepakati pula di Da Lat bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan dibacakan pada 24 Agustus 1945.
Menjelang tengah malam, rombongan Sukarno-Hatta tiba di Jakarta.
Setelah menurunkan Fatmawati dan Guntur di kediamannya, Sukarno dan
Hatta langsung menuju rumah Laksamana Maeda, yang hanya berjarak sekitar
1 kilometer.
Hatta meminta Soebardjo menelepon anggota
Panitia Persiapan Kemerdekaan untuk berkumpul di Hotel Des Indes malam
itu juga. Tapi pihak hotel tak bersedia menyediakan tempat lantaran
sudah kelewat malam. Untunglah Laksamana Maeda bersedia meminjamkan
rumahnya yang lapang. Situasi saat itu sangat genting. Tentara Sekutu
yang diboncengi tentara Belanda sudah bersiap masuk Indonesia dan
mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang.
Laksamana Maeda, dikutip Ben Anderson dalam bukunya, Java in a Time of Revolution,
menawarkan diri untuk menjadi perantara negosiasi dengan penguasa
Jepang. Meski sudah menyerah kepada Sekutu, tentara Jepang di Jawa masih
sangat kuat dan punya senjata lengkap. Tapi Gunseikan Jenderal Yamamoto
Moichiromenolak menemui Bung Karno dan Bung Hatta. Dia meminta Sukarno
dan Hatta bicara dengan anak buahnya, Jenderal Nishimura Otoshi,
Direktur Administrasi Umum.
Tapi Jenderal Nishimura menolak
menyokong kemerdekaan Indonesia. “Apabila rapat itu berlangsung tadi
pagi, akan kami bantu. Akan tetapi, setelah tengah hari, kami harus
tunduk kepada perintah Sekutu dan perubahan status quo tidak
diperkenankan,” kata Jenderal Nishimura. Pada siang itu, 16 Agustus
1945, Jenderal Yamamoto telah mendapat perintah dari Tokyo untuk menjaga
status quo di Indonesia.
Sukarno dan Hatta bertanya
apakah tentara Jepang akan menembaki pemuda Indonesia jika mereka
melanjutkan rencana Proklamasi Kemerdekaan. “Apa boleh buat, dengan hati
yang luka, kami terpaksa melakukannya,” kata Nishimura dikutip Hatta
dalam biografinya. “Betapa sakitnya kami bangsa Jepang terpaksa tunduk
dan menjilat Sekutu.” Melihat tak mungkin mengubah sikap Jenderal
Nishimura, Sukarno-Hatta balik kanan dan kembali ke rumah Laksamana
Maeda.
Di rumah Maeda, sudah berkumpul sebagian besar anggota
Panitia Persiapan Kemerdekaan, tokoh pergerakan, dan sejumlah aktivis
pemuda. Meski tak mendapat “restu” dari penguasa Jepang, Sukarno-Hatta
memutuskan tetap terus dengan rencana pembacaan Proklamasi keesokan
hari. Di ruang tamu kecil di rumah Maeda, Sukarno, Hatta, Soekarni,
Soebardjo, dan Sayuti Melik duduk merumuskan naskah Proklamasi.
“Aku
persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya
kuanggap yang terbaik…. Baru setelah itu kita persoalkan bersama-sama,”
kata Bung Karno. Dengan didikte Bung Hatta, Bung Karno menulis naskah
pertama Proklamasi pada secarik kertas. “Aku tak ingat lagi dari mana
pena yang kupakai.” Ada dua coretan dalam naskah Proklamasi yang ditulis
Bung Karno. Menurut Soebardjo, dialah yang mengusulkan kalimat pertama
Proklamasi, “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan
Indonesia." Sedangkan Hatta mengusulkan kalimat kedua, ”Hal2 jang
mengenai pemindahan kekoeasaan, dll, diselenggarakan dengan tjara
saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.”
Soekarni
sempat mengkritik rancangan naskah Proklamasi itu. Menurut Soekarni,
rancangan naskah itu ”terlepas dari semangat revolusioner, lemah, dan
tidak memiliki kepercayaan pada diri sendiri”. Sedangkan Hatta
mengusulkan agar semua yang hadir turut membubuhkan tanda tangan. Usul
Hatta kontan ditolak Soekarni. Dia tak mau orang-orang yang dianggapnya
“budak-budak Jepang” dan tidak punya “saham” atas kemerdekaan memberikan
tanda tangan.
Setelah lewat debat yang sengit, sekitar pukul 3 pagi, naskah
Proklamasi disepakati dan diketik oleh Sayuti Melik. Sesuai usul
Soekarni, hanya Sukarno dan Hatta yang membubuhkan tanda tangan di
naskah Proklamasi. Sayuti Melik sedikit mengubah naskah Proklamasi yang
ditulis Bung Karno. Kata “tempoh” dia ganti menjadi “tempo”,
“wakil-wakil bangsa Indonesia”, dia ubah menjadi “atas nama bangsa
Indonesia”.
Dalam otobiografinya, Kesadaran Nasional,
Achmad Soebardjo menulis Soekarni sempat mengusulkan agar tempat
pembacaan Proklamasi dilakukan di Lapangan Ikada—kini masuk kawasan
Monumen Nasional. Tapi Bung Karno memutuskan Proklamasi akan dilakukan
di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56. Menjelang subuh, semua orang
bubar dari rumah Maeda. “Fat, besok kita umumkan kemerdekaan bangsa
kita,” kata Bung Karno kepada istrinya, Fatmawati, begitu tiba di
rumahnya.
Sejak pagi pada hari itu, 17 Agustus 1945, orang-orang
berduyun-duyun datang ke rumah Bung Karno. Tapi tak sedikit pula yang
mendengar kabar yang keliru, pergi ke Lapangan Ikada. Sudiro, anak buah
Achmad Soebardjo, salah satunya. Melihat tentara Jepang bersiaga dengan
senjata lengkap di Lapangan Ikada, Sudiro segera mengajak teman-temannya
putar balik. Dari dr Muwardi dari Barisan Pelopor, dia mendengar bahwa
Proklamasi dilakukan di rumah Bung Karno.
Di sekitar rumah Bung
Karno, prajurit-prajurit Pembela Tanah Air (Peta) di bawah komando
Cudancho Latief Hendraningrat sudah bersiaga dengan senjata lengkap siap
melepas tembakan jika ada serangan tentara Jepang. Di dalam rumah, Bung
Karno malah meriang. Setelah minum obat dari dr Soeharto, Bung Karno
tidur sejenak. Sekitar pukul 09.30 WIB, Bung Karno terbangun. Di teras
depan sudah terpasang mikrofon. Sebagian besar tokoh pergerakan sudah
hadir di rumahnya. Tapi Hatta, yang akan mendampinginya membacakan
naskah Proklamasi, malah belum tampak.
Muwardi mengetuk pintu
kamar Bung Karno. Dia mengatakan para pemuda sudah gelisah. Mereka
khawatir tentara Jepang bisa datang setiap saat dan menggagalkan
Proklamasi. Dia mendesak Bung Karno segera membacakan naskah Proklamasi
tanpa perlu menunggu Hatta. Bung Karno menyergah marah. “Saya tidak mau
mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan jika Hatta tidak ada. Kalau Mas
Muwardi tak sabar menunggu, silakan baca sendiri Proklamasi.”
Untunglah, lima menit sebelum pukul 10.00, Bung Hatta tiba. Dia
memang orang yang selalu tepat waktu. Diiringi Bung Hatta di sebelah
kiri dan Latief Hendraningrat di sebelah kanan, Bung Karno berjalan
keluar menuju teras rumahnya. Menurut Latief, sebenarnya dia sudah
berusaha menghindar, tapi tetap saja sosoknya ada dalam dua lembar foto
Proklamasi karya Frans Mendur yang bersejarah itu.
“Berpuluh-puluh
tahun kita bangsa Indonesia telah berjoeang untuk kemerdekaan tanah air
kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun…. Sekarang tibalah saatnya kita
benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam
tangan kita sendiri,” Sukarno berpidato sebelum membacakan naskah
Proklamasi.
Dibantu Suhud Sastro Kusumo, Latief mengibarkan bendera
Merah-Putih pada tiang jemuran. Dia tak mau memakai tiang bendera yang
biasa dipakai mengibarkan Hinomaru, bendera Jepang. Saat-saat yang
menentukan masa depan negara ini itu berakhir pukul 10.30. Indonesia
telah merdeka.
Selama bertahun-tahun, di tengah masa-masa kalut,
dua naskah Proklamasi yang bersejarah itu hilang tak tentu rimba.
Ternyata naskah tulisan tangan Proklamasi disimpan oleh B.M. Diah.
Sedangkan naskah Proklamasi versi ketikan Sayuti Melik baru “muncul”
kembali setelah D.N. Aidit menyerahkannya kepada Presiden Sukarno pada
1965-an.
baca juga : solid gold
Tidak ada komentar:
Posting Komentar