PT SOLID GOLD BERJANGKA - Ternyata, pemikiran 'the world is flat' ikut jadi latar
belakang diadakannya penguatan pendidikan karakter negara ini. Apanya
yang datar? Jadi ini yang melandasi ide sekolah delapan jam per hari?
Penguatan pendidikan karakter (PPK) adalah ide yang mendasari kebijakan
Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy mengadakan sekolah lima hari
masing-masing selama delapan jam, tertuang dalam Permendikbud Nomor 23
Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Kebijakan itu malah bikin ribut banyak
pihak, suara-suara tidak setuju bermunculan. Belakangan, Presiden Joko
Widodo (Jokowi) menanggapi kontroversi itu lewat pembuatan Peraturan
Presiden (Perpres) yang bakal membebaskan murid-murid dari kebijakan
delapan jam belajar di sekolah.
Pendidikan karakter dikuatkan pemerintah karena berbagai pertimbangan.
Dalam 'Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter Tingkat Sekolah
Dasar dan Sekolah Menengah Pertama' yang diterbitkan Kemendikbud,
diunduh detikcom dari situs resmi pada Senin(14/8/2017), terurai
berbagai pertimbangan itu. Corak globalisas terasa menonjol dalam uraian
'enam kecenderungan dunia' di awal penjelasan.
Pertama, berlangsungnya revolusi digital yang mengubah segala sendi
kehidupan termasuk pendidikan. Kedua, terjadinya integrasi belahan dunia
satu dengan yang lainnya lewat teknologi. Kecenderungan ketiga yakni
terjadi pendataran dunia.
"Berlangsungnya pendataran dunia (the world is flat) sebagai
akibat berbagai perubahan mendasar dimensi-dimensi kehidupan manusia
terutama akibat mengglobalnya negara, korporasi , dan individu,"
demikian tertulis dalam modul yang didahului Sambutan oleh Muhadjir
Effendy ini.
Pada poin ketiga setelah pendataran dunia, Kemendikbud melanjutkan
pemaparan kecenderungan dunia nomor empat yakni perubahan dunia yang
sangat cepat sehingga dunia nampak berlari tunggang langgang.
Kecenderungan dunia yang kelima yakni semakin tumbuhnya masyarakat padat
pengetahuan, masyarakat informasi, dan masyarakat jaringan.
Kecenderungan keenam, fenomena abad kreatif makin nampak nyata,
menantang dunia pendidikan Indonesia untuk mencetak anak-anak yang
kreatif pula.
Kembali ke soal 'the world is flat'. Istilah itu menjadi
populer lewat karya Thomas Loren Friedman (Tom) tahun 2005, berjudul
'The World Is Flat: A Brief History of The Twenty-first Century'.
Istilah 'pendataran dunia' ingin menjelaskan bahwa teknologi informasi
dan komunikasi, atau simpelnya adalah internet, telah membuat bumi
nampak seperti tanpa halangan.
Yang dimaksud 'datar' oleh Tom adalah 'lapangan permainan' dalam
persaingan global. Berkat internet, semua orang di semua negara bisa
bersaing sangat terbuka tanpa halangan. Konsep ini ditemukan Tom lewat
penjelajahannya ke Bangalore, kota yang punya semacam Silicon Valley-nya
India dan China.
Tom menyebut dirinya sebagai orang yang berlawanan dengan Christoper
Colombus. Si penemu Benua Amerika itu bermaksud berangkat ke India lewat
barat tapi ketemuanya malah Benua Amerika, kemudian cepat mengabarkan
ke Raja Spanyol bahwa 'bumi ini bulat!' Sedangkan Friedman, dia
berangkat ke timur menuju India dan akhirnya mengabarkan hal sebaliknya.
CEO Infosys Technologies Limited bernama Nandan Nilekani memberitahu
Tom bahwa lapangan persaingan global semakin datar gara-gara revolusi
teknologi ini.
Tom merenung, "Ya Tuhan, dia katakan kepadaku bahwa dunia ini datar!"
Infosys adalah perusahaan India yang meng-outsource besar-besaran layanan call center yang semula dipegang orang-orang Amerika Serikat (AS). Jadi bila orang AS mengeluh soal komputer, misalnya, dia menelpon call center.
Yang menjelaskan ke warga Paman Sam itu bukan lagi orang Amerika, tapi
orang India dari Infosys. Berkat teknologi, India dan AS terasa semakin
dekat.
Anak-anak muda India dan AS juga jadi punya kesempatan yang sama dalam
bersaing di dunia kerja. Ini adalah era Globalisasi 3.0, era revolusi
teknologi informasi. Perusahaan-perusahaann Barat seperti Dell, AOL,
Microsoft, dan lain-lainnya mempekerjakan orang-orang yang letaknya
sangat jauh, di India atau di China.
Ada 10 faktor yang menjadi kekuatan pendatar dunia. Runtuhnya Tembok
Berlin jadi faktor pertama, menandai kejatuhan komunisme. Munculnya
Netscape pada pertengahan '90-an, jadi pendatar kedua. Netscape adalah
perusahaan yang terkenal dengan browsernya, yang kemudian memunculkan
Mozilla. Netscape juga jadi pioner transfer data, gambar, musik, hingga
film ke semua orang di dunia.
Berturut-turut yang menjadi pendatar selanjutnya adalah perangkat lunak
alir kerja (workflow software), fenomena pengunggahan di internet
(upload), alih daya (outsourcing) yang dipengaruhi teknologi informasi, offshoring
yakni proses produksi yang direlokasi ke luar negeri, rantai pasokan,
pemaksimalan sumber daya internal (insourcing), informasi via Google dan
Wikipedia, dan terakhir adalah macam-macam koneksi nirkabel lewat
gawai-gawai segenggaman tangan, yang disebutnya sebagai 'steroids'.
Dia juga memunculkan teori perdamaian kapitalis, disebutnya sebagai
'Dell Theory of Conflict Prevention'. Tak ada dua negara yang bakal
berperang bila dua negara tersebut terlibat dalam rantai pasok (supply
chain) yang sama, yakni rantai pasok global. Supply chain yang jadi
contoh sederhana adalah produk notebook Dell, yang pabriknya ada di
Irlandia, China Brasil, AS, dan Malaysia. Semua saling ketergantungan
demi memproduksi notebook Dell, misalnya. Meski begitu, teori ini
bukanlah jaminan perdamaian melainkan faktor ketergantungan antarnegara
itu pasti jadi pertimbangan sebelum memutuskan perang.
"Teori Dell menyatakan: Tak ada dua negara yang keduanya ambil bagian
dalam rantai pemasok utama global, seperti milik Dell, yang akan saling
berperang selam amereka tetap menjadi bagian rantai pemasok global.
Orang-orang yang tertahan dalam rantai pemasok utama global tidak
menginginkan perang seperti zaman dulu lagi," kata Tom sebagaimana dalam
buku edisi terjemahan Bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Dian Rakyat,
tahun 2006.
Apakah Tom membahas soal Indonesia? Ya. Tapi jangan bangga dulu. Dia
membahas Indonesia dalam ulasan yang cukup menyedihkan. Indonesia
tergambar sebagai negara dengan tingkat kemudahan berbisnis yang cukup
buruk. Gambaran ini adalah hasil dari telaah tahun 2004.
Ulasan
soal Indonesia ada pada Bab X. Tom menjelaskan bahwa International
Finance Corporation (IFC), anak perusahaan Bank Dunia yang salah satu
kerjaannya membikin peringkat indeks kemudahan berbisnis (ease of doing
business), menerbitkaan dokumen 'Doing Business in 2004'. Riset itu
merangkum studi terhadap 130 negara termasuk Indonesia.
Menurut Tom, negara berkembang yang mau selamat di 'dunia datar' harus
mendukung iklim pasar, salah satunya adalah memperhatikan aspek
kemudahan berbisnis. Regulasi pasar harus disederhanakan supaya
kompetisi bisa lebih terdorong. Regulasi berlebihan hanya akan
memunculkan birokrat korup. Hak milik pribadi harus diperhatikan,
penghuni-penghuni liar perlu diberi kepemilikan atas tanahnya sehingga
mereka bisa hidup tenang dan bekerja lebih produktif. Internet harus
digunakan demi transparansi birokrasi dan mengurangi sogok-menyogok.
Keterlibatan pengadilan dalam masalah bisnis harus dikurangi. Terakhir,
pembaharuan in harus dilakukan terus-menerus.
Tak semuanya setuju dengan uraian Tom. Buku ini dikritik terlalu
berperspektif Amerika Serikat. Maklum saja, Friedman berasal dari The
New York Times, media berspektrum politik liberal. Ulasan Richard Adams
di The Guardian, media yang punya spektrum politik 'kiri-tengah',
terhadap buku 'The World Is Flat' punya nada yang berbeda. Buku ini
disebut punya 'kedalaman konten setara dengan genangan', alias cetek.
Jadi, begitulah gambaran 'dunia datar' yang melatarbelakangi penguatan
pendidikan karakter pemerintah. Dalam dunia datar, yang tergambar
hilangnya penghalang dan persaingan terbuka dalam taraf lintas negara.
Kondisi ini menuntut anak-anak Indonesia untuk lebih siap menghadapinya.
'Dunia datar' di sini tak ada hubungannya dengan 'teori bumi datar' yang luar biasa viral akhir-akhir ini di dunia maya.
Penguatan
pendidikan karakter, sebagai lanjutan dari kebijakan 2010, adalah
bagian dari Revolusi Mental dan pelaksanaan Nawacita ke-8. Karakter yang
ingin dicapai adalah karakter reiligius, nasionalis, mandiri, gotong
royong, dan berintegritas. Salah satu yang menjadi tujuan pendidikan
karakter adalah membangun dan membekali Generasi Emas Indonesia 2045
menghadapi dinamika perubahan di masa depan dengan keterampilan Abad 21.
baca juga : pt solid gold berjangka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar