SOLID GOLD MAKASSAR - Saat Salat Jumat minggu lalu saya menemukan sebuah buletin kecil yang
dibagikan kepada jamaah sebelum salat dimulai. Saya perhatikan
penerbitnya, berciri kelompok penganjur khilafah. Isinya berupa tulisan
tentang kemerdekaan, ditulis dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan
RI.
Penulis artikel di buletin itu mengomel soal Indonesia yang
katanya belum merdeka. Buktinya, kekayaan alamnya semua diserahkan
kepada asing, dan diambil sesukanya oleh pihak asing tersebut.
Seharusnya kekayaan alam itu dikelola sendiri, dan kita pakai sendiri,
untuk kesejahteraan rakyat. Menurut dia, itu terjadi karena negara ini
tidak dipimpin berdasarkan prinsip-prinsip kepemimpinan Islam.
Apa
yang sebenarnya terjadi? Pemerintah memberikan hak pengelolaan sumber
daya alam, khususnya di bidang pertambangan kepada berbagai perusahaan
asing, juga perusahaan negara. Dengan hak itu perusahaan-perusahaan tadi
mendatangkan modal, teknologi, dan tenaga ahli untuk menggarap berbagai
jenis kekayaan alam kita. Perusahaan berhak menjual hasil garapan itu,
dan menyetor sebagian hasilnya kepada pemerintah dalam bentuk royalti
dan berbagai jenis pajak. Berapa porsi yang disetor? Nilainya sangat
bervariasi, tergantung sektor yang digarap. Sebagian malah tergantung
pada kontrak khusus yang dibuat antara investor dan pemerintah.
Mari tinggalkan dulu detail yang rumit soal berapa bagian
pemerintah. Yang harus dipahami dulu, istilah "mengambil kekayaan alam"
tadi. Perhatikan bahwa kekayaan alam itu tidak menjadi kekayaan apapun
selama ia masih di alam. Emas, minyak, tembaga, batu bara, kayu, atau
apapun yang ada di alam hanyalah benda-benda yang tidak ada nilainya.
Semuanya baru bernilai dan menjadi kekayaan kalau sudah diambil dan
diolah.
Lalu, kenapa ada perusahaan asing yang mengolah sumber
daya alam kita? Karena kita tidak mampu. Ini mirip dengan situasi saya.
Saya punya sebidang sawah. Tapi, saya tidak sanggup menanaminya. Saya
tidak sanggup bekerja di bawah terik matahari, mengeluarkan tenaga untuk
mencangkul dan membajak sawah. Kalau tidak saya kerjakan, sawah saya
tidak akan menghasilkan apapun. Agar ada hasilnya, saya serahkan pada
orang lain untuk menggarapnya. Hasilnya kami bagi, dengan komposisi 70
untuk saya, 30 untuk penggarap.
Urusan pengelolaan sumber daya
alam yang dibahas di atas tentu jauh lebih rumit dari urusan mengolah
sawah. Di atas sudah saya singgung soal tiga hal, yaitu modal,
teknologi, dan manusia. Untuk menambang, misalnya, diperlukan modal yang
sangat besar. Pekerjaan dimulai dari eksplorasi untuk mencari sumber
daya yang ingin diolah. Ini pekerjaan yang membutuhkan waktu lama dan
biaya besar. Sudah begitu, risiko bisnisnya tinggi. Untuk eksplorasi
perusahaan harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Setelah itu tak
jarang sumber daya alam yang mereka cari ternyata tidak ada. Puluhan
miliar bisa menguap begitu saja.
Selain itu dibutuhkan pula
teknologi. Saat eksplorasi, berbagai jenis teknologi diperlukan.
Demikian pula saat produksi. Untuk pemetaan, pemboran, pengukuran,
pemompaan, dan sebagainya. Semua memerlukan teknologi. Apakah kita punya
teknologinya? Tidak. Perusahaan yang berinvestasi tadi tidak hanya
punya modal uang, tapi juga teknologi. Mereka menggunakan segenap energi
intelektualnya untuk menciptakan berbagai teknologi itu. Jadi ingat,
punya uang saja tidak cukup, tapi diperlukan kecerdasan untuk mengelola
sumber daya alam.
Kalau kita punya uang, kita bisa saja membeli
teknologi. Tapi, teknologi tanpa sumber daya manusia hanya akan jadi
onggokan besi-besi yang tidak ada manfaatnya. Teknologi memerlukan
manusia untuk menggerakkannya. Manusianya istimewa, yaitu yang punya
pengetahuan dan keterampilan. Kalau tidak, bukan hanya kita akan rugi
karena operasi bisnis jadi tidak efisien, tapi juga sangat berbahaya.
Kesalahan pengeboran, misalnya, bisa berujung pada bencana besar seperti
semburan lumpur di Sidoarjo itu.
Pekerjaan di pertambangan tidak
hanya memerlukan pengetahuan dan keahlian, tapi juga keberanian.
Pekerjaan ini sangat berbahaya. Bekerja di situ artinya seseorang rela
mengambil risiko. Hanya orang-orang dengan dedikasi tinggi yang sanggup
bekerja di situ.
Perhatikan bahwa mengolah kekayaan alam kita
tidak semudah menulis kalimat-kalimat di artikel buletin. Perlu kerja
ribuan kali lipat. Kenyataannya, tak banyak yang mau mengambil kerja
itu. Tak banyak pengusaha yang punya cukup modal. Yang punya modal belum
tentu mau ambil risiko. Yang mau ambil risiko belum tentu bisa
membangun teknologi. Yang bisa membeli teknologi belum tentu punya
sumber daya manusia yang bisa mengoperasikan. Yang bisa semua siapa? Ya
perusahaan asing tadi.
Urusan perusahaan asing yang mengolah
sumber daya alam sering dikaitkan dengan pihak asing yang ingin
menguasai sumber daya alam kita. Mereka kafir, yang memang ingin selalu
mengambil semua kekayaan kita. Padahal sebenarnya dari sisi lain kita
juga bisa melihat mereka sebagai pihak yang menolong kita untuk membuat
potensi kekayaan kita menjadi kekayaan nyata. Tanpa mereka, emas,
minyak, atau apapun yang ada di perut bumi kita tidak punya manfaat
apapun.
Apakah semua itu akan berubah kalau sistem pemerintahan
diganti? Tidak. Itu hanya bisa diubah kalau setiap warga negara mau
terus belajar sehingga menjadi sosok cerdas yang menguasai teknologi,
juga berdedikasi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat dan
berbahaya. Hanya dengan cara itulah kekayaan alam kita akan benar-benar
kita kuasai dan kita manfaatkan.
Kalau kita kecewa pada
kenyataan bahwa kekayaan alam kita belum sepenuhnya bisa kita
manfaatkan, maka solusinya adalah kita bekerja lebih keras, lebih
cerdas, dan lebih berani lagi. Bukan membangun mimpi kosong soal sistem
pemerintahan antah berantah. Juga bukan dengan membangun kebencian
kepada pihak lain. Apalagi mencari-cari kesalahan pemerintah. Semua itu
tidak akan menyelesaikan masalah. Yang menyelesaikannya adalah kerja
keras kita.
Merdeka memang tidak mudah. Ia memerlukan kerja yang berkesinambungan, cerdas, penuh dedikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar