Senin, 20 Agustus 2018

SOLID GOLD | Merdeka, Berdikari, dan Berdedikasi

Merdeka, Berdikari, dan Berdedikasi
SOLID GOLD MAKASSAR - Saat Salat Jumat minggu lalu saya menemukan sebuah buletin kecil yang dibagikan kepada jamaah sebelum salat dimulai. Saya perhatikan penerbitnya, berciri kelompok penganjur khilafah. Isinya berupa tulisan tentang kemerdekaan, ditulis dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI.

Penulis artikel di buletin itu mengomel soal Indonesia yang katanya belum merdeka. Buktinya, kekayaan alamnya semua diserahkan kepada asing, dan diambil sesukanya oleh pihak asing tersebut. Seharusnya kekayaan alam itu dikelola sendiri, dan kita pakai sendiri, untuk kesejahteraan rakyat. Menurut dia, itu terjadi karena negara ini tidak dipimpin berdasarkan prinsip-prinsip kepemimpinan Islam.

Apa yang sebenarnya terjadi? Pemerintah memberikan hak pengelolaan sumber daya alam, khususnya di bidang pertambangan kepada berbagai perusahaan asing, juga perusahaan negara. Dengan hak itu perusahaan-perusahaan tadi mendatangkan modal, teknologi, dan tenaga ahli untuk menggarap berbagai jenis kekayaan alam kita. Perusahaan berhak menjual hasil garapan itu, dan menyetor sebagian hasilnya kepada pemerintah dalam bentuk royalti dan berbagai jenis pajak. Berapa porsi yang disetor? Nilainya sangat bervariasi, tergantung sektor yang digarap. Sebagian malah tergantung pada kontrak khusus yang dibuat antara investor dan pemerintah.

Mari tinggalkan dulu detail yang rumit soal berapa bagian pemerintah. Yang harus dipahami dulu, istilah "mengambil kekayaan alam" tadi. Perhatikan bahwa kekayaan alam itu tidak menjadi kekayaan apapun selama ia masih di alam. Emas, minyak, tembaga, batu bara, kayu, atau apapun yang ada di alam hanyalah benda-benda yang tidak ada nilainya. Semuanya baru bernilai dan menjadi kekayaan kalau sudah diambil dan diolah.


Lalu, kenapa ada perusahaan asing yang mengolah sumber daya alam kita? Karena kita tidak mampu. Ini mirip dengan situasi saya. Saya punya sebidang sawah. Tapi, saya tidak sanggup menanaminya. Saya tidak sanggup bekerja di bawah terik matahari, mengeluarkan tenaga untuk mencangkul dan membajak sawah. Kalau tidak saya kerjakan, sawah saya tidak akan menghasilkan apapun. Agar ada hasilnya, saya serahkan pada orang lain untuk menggarapnya. Hasilnya kami bagi, dengan komposisi 70 untuk saya, 30 untuk penggarap.

Urusan pengelolaan sumber daya alam yang dibahas di atas tentu jauh lebih rumit dari urusan mengolah sawah. Di atas sudah saya singgung soal tiga hal, yaitu modal, teknologi, dan manusia. Untuk menambang, misalnya, diperlukan modal yang sangat besar. Pekerjaan dimulai dari eksplorasi untuk mencari sumber daya yang ingin diolah. Ini pekerjaan yang membutuhkan waktu lama dan biaya besar. Sudah begitu, risiko bisnisnya tinggi. Untuk eksplorasi perusahaan harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Setelah itu tak jarang sumber daya alam yang mereka cari ternyata tidak ada. Puluhan miliar bisa menguap begitu saja.

Selain itu dibutuhkan pula teknologi. Saat eksplorasi, berbagai jenis teknologi diperlukan. Demikian pula saat produksi. Untuk pemetaan, pemboran, pengukuran, pemompaan, dan sebagainya. Semua memerlukan teknologi. Apakah kita punya teknologinya? Tidak. Perusahaan yang berinvestasi tadi tidak hanya punya modal uang, tapi juga teknologi. Mereka menggunakan segenap energi intelektualnya untuk menciptakan berbagai teknologi itu. Jadi ingat, punya uang saja tidak cukup, tapi diperlukan kecerdasan untuk mengelola sumber daya alam.


Kalau kita punya uang, kita bisa saja membeli teknologi. Tapi, teknologi tanpa sumber daya manusia hanya akan jadi onggokan besi-besi yang tidak ada manfaatnya. Teknologi memerlukan manusia untuk menggerakkannya. Manusianya istimewa, yaitu yang punya pengetahuan dan keterampilan. Kalau tidak, bukan hanya kita akan rugi karena operasi bisnis jadi tidak efisien, tapi juga sangat berbahaya. Kesalahan pengeboran, misalnya, bisa berujung pada bencana besar seperti semburan lumpur di Sidoarjo itu.

Pekerjaan di pertambangan tidak hanya memerlukan pengetahuan dan keahlian, tapi juga keberanian. Pekerjaan ini sangat berbahaya. Bekerja di situ artinya seseorang rela mengambil risiko. Hanya orang-orang dengan dedikasi tinggi yang sanggup bekerja di situ. 

Perhatikan bahwa mengolah kekayaan alam kita tidak semudah menulis kalimat-kalimat di artikel buletin. Perlu kerja ribuan kali lipat. Kenyataannya, tak banyak yang mau mengambil kerja itu. Tak banyak pengusaha yang punya cukup modal. Yang punya modal belum tentu mau ambil risiko. Yang mau ambil risiko belum tentu bisa membangun teknologi. Yang bisa membeli teknologi belum tentu punya sumber daya manusia yang bisa mengoperasikan. Yang bisa semua siapa? Ya perusahaan asing tadi.


Urusan perusahaan asing yang mengolah sumber daya alam sering dikaitkan dengan pihak asing yang ingin menguasai sumber daya alam kita. Mereka kafir, yang memang ingin selalu mengambil semua kekayaan kita. Padahal sebenarnya dari sisi lain kita juga bisa melihat mereka sebagai pihak yang menolong kita untuk membuat potensi kekayaan kita menjadi kekayaan nyata. Tanpa mereka, emas, minyak, atau apapun yang ada di perut bumi kita tidak punya manfaat apapun.

Apakah semua itu akan berubah kalau sistem pemerintahan diganti? Tidak. Itu hanya bisa diubah kalau setiap warga negara mau terus belajar sehingga menjadi sosok cerdas yang menguasai teknologi, juga berdedikasi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat dan berbahaya. Hanya dengan cara itulah kekayaan alam kita akan benar-benar kita kuasai dan kita manfaatkan.


Kalau kita kecewa pada kenyataan bahwa kekayaan alam kita belum sepenuhnya bisa kita manfaatkan, maka solusinya adalah kita bekerja lebih keras, lebih cerdas, dan lebih berani lagi. Bukan membangun mimpi kosong soal sistem pemerintahan antah berantah. Juga bukan dengan membangun kebencian kepada pihak lain. Apalagi mencari-cari kesalahan pemerintah. Semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Yang menyelesaikannya adalah kerja keras kita.

Merdeka memang tidak mudah. Ia memerlukan kerja yang berkesinambungan, cerdas, penuh dedikasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar