Di suatu zaman yang labil, dengan pijakan kebenaran yang rapuh,
sementara setiap detik kita terus dihajar oleh air bah informasi
gado-gado tanpa jeda, pada titik manakah kita sekarang memaknai kata
"pantas"?
"Mas, mbok jangan ngomong gitu. Rasanya tidak pantas."
"Lho! Faktanya kan memang seperti yang kusampaikan ini, to? Coba deh sampeyan melihat masalah ini secara objektif!"
"Bukan begitu, Mas. Ini soal kepantasan. Ada situasi-situasi
yang membuat kita tidak melulu harus berkutat pada benar dan salah, Mas.
Meskipun yang kita lakukan benar, atau minimal tidak salah, tapi
kadangkala tidak pas. Kurang pantas, gitulah."
"Sebentar, to.
Ayo kita sama-sama lihat data dulu. Mana datamu? Kita adu saja data dan
argumen, catatan dan kesaksian riil, jangan pakai hal-hal normatif yang
abstrak! Publik berhak mengakses informasi yang benar!"
***
Auw
auw auw. Begitulah, hehehe. Sekarang ini rasanya kita sangat
tergila-gila dengan data. Kita dimabuk oleh fakta-fakta keras,
catatan-catatan sejarah, deretan angka statistik, bukti-bukti tak
terbantahkan, kebenaran positivistik, dan apa pun yang bau-baunya lebih
dekat ke soal ilmiah ketimbang dimensi rasa-pangrasa, kalau istilah kejawennya.
Makanya,
kesaksian dalam sebuah intrik politik, sebagai contoh, harus disebarkan
sedetail-detailnya ke haribaan publik. Bahwa kesaksian itu akan membuat
kita menjauh dari kemaslahatan bersama, rentan memicu fitnah lapis
pertama hingga lapis ketujuh, tidak jadi masalah besar. Toh yang penting
kita mengabdi kepada kebenaran objektif. Begitu, bukan?
Semua
itu kian mengeras karena kita semakin terbiasa berinteraksi di internet,
lalu tanpa sadar membentuk-ulang pola-pola interaksi kita menjadi mirip
pola interaksi di internet, dunia yang konon maya padahal sangat nyata
itu.
Dengan ilusi seolah-olah dunia cyber semu belaka,
kita pun kehilangan kekang psikologis. Kita tertipu bayangan yang tak
henti meyakinkan imajinasi kita bahwa kita sedang berbicara di dimensi
sebelah sana. Padahal, sesungguhnya kita ini ya di sini-sini saja, yang
kita ajak berbincang juga manusia-manusia biasa, dan dalam relasi
antarmanusia ukuran pantas-tak-pantas itu sesungguhnya senantiasa ada.
Nah,
ini ada cerita. Kemarin muncul satu peristiwa, yang sepertinya membuat
kita lagi-lagi bergulat bersama isu kepantasan melawan isu kebenaran
objektif. Kejadiannya di Probolinggo, Kota Bestari itu.
Alkisah,
ada sebuah video yang viral di media sosial, menampilkan sepasukan anak
yang tengah mengikuti pawai HUT ke-73 RI. Yang memicu kekagetan publik
adalah kostum mereka. Mereka, anak-anak (yang semestinya) perempuan itu,
tampak mengenakan baju panjang hitam, bercadar, dan masing-masing
menenteng senapan mainan.
Sontak, kehebohan meletup.
Dugaan-dugaan keras tentang ideologi ekstrem bermunculan. Saya pribadi
pun larut pada awalnya, hingga kemudian datang informasi bahwa anak-anak
itu berada di bawah asuhan sebuah taman kanak-kanak yang berlokasi di
kompleks Kodim setempat.
Ya ya ya, bukan berarti saya pemuja
tentara, tapi toh yang namanya Angkatan Darat saya kira masih tetap
bonafid dalam perkara penjagaan ideologi bangsa (sungguh, saya sangat
ingin membubuhkan tanda kurung lapis enam untuk kata "ideologi bangsa",
namun rasanya kok kurang pantas juga hehehe.)
Pertanyaannya
kemudian, lalu apa arti ini semua? Kenapa anak-anak itu didandani begitu
rupa? Seberapa relevan kostum semacam itu dengan gelaran acara HUT
Republik Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus
bergulir, jawabannya berbenturan satu sama lain, dan akhirnya mencapai
titik panasnya. Ada yang berdiri di sudut ekstrem dengan prasangka
persebaran ide-ide islamis radikal. Ada yang mempertanyakan keadilan
sikap dan pikiran dengan mengatakan bahwa bentuk senjata apa pun tidak
layak dijadikan mainan anak-anak. Tak ketinggalan, banyak juga yang
membalas dengan tudingan stigma negatif atas perempuan bercadar,
islamofobia, dan seterusnya.
Saya tetap merasa ada yang tidak pas di sini. Tidak pantas, begitu.
Tentu
saja, ketidakpantasan itu bukan pada perkara cadar. Stigma negatif atas
perempuan bercadar memang mewabah. Islamofobia itu ada, dan harus
diakui itu ada. Namun, jelas itu bukan sikap saya. Saya punya beberapa
kawan bercadar, dan mereka baik-baik saja. Salah seorang bibi saya
sendiri bercadar, dan dia bukan tukang meledakkan bom. Saya punya
sahabat-sahabat yang istri mereka bercadar, dan mereka sama sekali bukan
propagandis kekerasan. Dan, jelas ada ribuan perempuan bercadar lainnya
yang bukan teroris.
Pendek kata, membenci cadar dan mengatakan
cadar simbol teroris adalah sikap tidak adil bagi para perempuan
bercadar yang cinta perdamaian.
Nah, lalu apa?
"Apaaa?"
Sayup-sayup terdengar suara Jokowi yang sambil membuka helmnya
mengucapkan kata tersebut, seperti pada video pembukaan Asian Games yang
bikin ribut.
***
Kemudian muncullah seorang profesor sains yang cerdas dan hebat. Dia menulis seperti ini:
"Karnaval Agustusan bawa replika senjata, itu heroisme. Tapi bila anaknya pakai cadar, jadi radikalisme. Situ sehat?"
Saya merenung dalam-dalam. Logis sekali unggahan Facebook dari Pak Profesor itu. Sangat masuk akal. Dari situ terbongkar bahwa ada sikap timpang dan tidak fair dalam cara berpikir banyak orang, termasuk saya.
Sialnya, yang tampak logis pada awalnya itu pelan-pelan luntur, karena tiba-tiba tebersit satu gambaran usil di otak saya.
"Begini, Mas Prof. Ada gambar palu dipasang-silang dengan gambar tang, itu logo toko besi Baja Cemerlang. Tapi, bila tangnya diganti gambar arit, jadi komunisme. Situ sehat?"
Lha lha lha. Benar, kan? Apakah artinya orang Indonesia yang kaget dan baper saat melihat simbol palu-arit itu tidak sehat?
Saya
rasa, problem pada logika Pak Profesor itu ada pada pemaknaan atas
simbol. Yang namanya simbol toh tidak bisa dicuil-cuil. Palu dan arit
pada simbol komunisme itu sebuah rangkaian. Kita tidak perlu
mempersoalkan gambar palu-saja, atau arit-saja, kecuali Anda mau
menggelar sweeping di toko-toko besi dan di sawah-sawah.
Berbeda
halnya jika palu dipadu dengan arit dalam satu tampilan, lalu muncul di
kaos anak-anak muda caper di negeri ini, maka visualisasi itu akan
memunculkan satu kesan: tidak pantas. Tidak elok. Mungkin maksudnya
merombak stigma dan melancarkan kritik historis, tapi yang terjadi malah
memperkeruh situasi di tengah masyarakat yang memang masih minim
literasi.
Demikian juga pada cadar dan senapan. Cadar-saja tentu
tidak masalah. Saya tidak akan ikut rewel jika ada pawai anak-anak
memakai cadar. Meski demikian, kombinasi antara cadar dan senapan itu
mau tak mau, suka tidak suka, menyeret kita kepada bayangan-bayangan tak
bagus di negeri-negeri jauh sana.
"Ya beda dong. Kalau soal
komunis, negeri kita memang menjalani pengalaman sejarah yang traumatis.
Kalau cadar dan senapan kan tidak?"
Itulah. Kadang kita lengah,
mempersempit makna "pengalaman" sebatas pengalaman-pengalaman fisik
semata. Padahal, di masa kejayaan digital seperti sekarang ini, yang
disebut pengalaman itu sudah bercampur baur antara fisik dan nonfisik.
Kita melihat, kita mendengar, kita mengakses, kita terpapar dengan
berita-berita, itu pun bentuk-bentuk nyata pengalaman.
Para
perempuan bercadar-saja memang banyak yang baik-baik saja, dan saya
yakin sebagian besar mereka baik-baik saja. Artinya, stigma teroris
kepada perempuan bercadar-saja itu label jahat, rasis, dan tidak
manusiawi. Tapi, perasaan takut kepada perempuan
bercadar-dan-bersenapan, apakah itu bentuk ketidakwajaran di saat
"pengalaman-pengalaman" kita atas visualisasi seperti itu nyaris
semuanya terkait hal buruk?
Beberapa kali saya bilang kepada
teman-teman bercadar, agar stigma negatif atas cadar itu terkikis,
semestinya mereka menampakkan sikap-sikap baik di tengah masyarakat
sambil membawa identitas mereka itu. Sama dengan ketika dulu kami masih
tinggal di Australia dan menjadi minoritas muslim yang kadang menjadi
korban prasangka, saya selalu meminta istri saya yang berjilbab untuk
berbuat baik di area publik. Menolong ibu-ibu manula yang kerepotan
dengan barang belanjaannya, misalnya.
Malangnya, saya tak
menemukan ide bagaimana agar stigma atas perempuan
bercadar-dan-bersenapan terkikis. "Ikutlah gotong royong di kampung
sambil tetap memakai cadar dan memanggul senapan AK-47, Mbak." Kan tidak
mungkin saya bilang begitu, karena perempuan bercadar-dan-bersenapan
yang oke-oke saja memang tidak pernah hadir dalam pengalaman-pengalaman
kita.
Walhasil, saya tetap merasa bahwa mendandani anak-anak
dengan cadar dan senapan (bukan cadar saja atau senapan saja, melainkan
cadar dan senapan) bukanlah tindakan yang pantas secara "kesepakatan
awam". Kurang elok, kurang sadar situasi, kurang peka sosial, dan, ya,
intinya kurang pantas.
Benar, belakangan terungkap situasi riil
di Probolinggo waktu itu yang tidak membuktikan sama sekali bahwa ada
ideologi-ideologi ekstrem dalam karnaval tersebut. Rilisnya sudah
tersebar di mana-mana. Saya pun tidak menyalahkan guru-guru TK itu
secara hukum, apalagi menyalahkan anak-anak yang tidak tahu apa-apa.
Namun, untuk menyatakan bahwa dandanan itu tidak pantas, masihkah sulit
diterima?
Mungkin di zaman ini ungkapan "tidak pantas" kurang
gampang diterima. Itu ukuran yang terlampau abstrak, tidak akuntabel,
dan kurang bergengsi. Nasibnya jadi agak sama dengan kata "kejujuran"
yang kurang keren, karena lebih keren jika kita melengkapinya menjadi
"kejujuran ilmiah". Tak bedanya dengan kata "dosa" yang juga tak lagi
mentereng, sebab yang mentereng adalah jika kita mengucapkannya sebagai
"dosa politik".
Situ sehat? Saya akui, saya mungkin memang kurang sehat. Tapi, rasanya saya masih ingin bersikap yang pantas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar