Rabu, 15 Agustus 2018

SOLID GOLD BERJANGKA | Generasi yang Menelan Sejarah Sintetis

Generasi yang Menelan Sejarah Sintetis
SOLID GOLD BERJANGKA MAKASSAR - Tulisan bertajuk Anak Muda Mental Penjilat ?dipublikasikan Tsamara Amany, Ketua DPP PSI, beberapa waktu lalu. Saya, yang boleh dibilang satu generasi dengan Mbak Tsamara, secara lapang dada akan menerima kritik para sejarawan tentang kebutaan generasi kami atas cerita bangsa sendiri. Sebab dalam tulisan tersebut, Tsamara yang membandingkan kondisi saat ini dengan era jebrol dan koitnya Orde Baru (Orba), 1966, dan 1998 gagal melukiskan sejarah secara faktual dan diakronis.

Selain berkali-kali menggunakan frasa 'Orde Lama', Tsamara menyebutkan bahwa kebebasan anak muda dalam memberi masukan dibatasi pada masa Demokrasi Terpimpin. Tsamara menambahkan bahwa Sukarno mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup. Cerita-cerita yang kami yakini merupakan bagian mutlak dari sejarah, yang ternyata, tanpa kami tahu, hanyalah hafalan propaganda bikinan Orba. Andaikata Tsamara menyematkan kata 'PKI' di belakang singkatan G30S, maka komplit sudah refleksi produk indoktrinasi Soeharto and the gang.


Selama ini, dalam periodisasi sejarah yang kami pahami, ada satu kurun waktu sebelum tahun 1966 bernama Orde Lama. Kami tak pernah tahu bahwa istilah itu justru disematkan setelah Sukarno turun--atau diturunkan--dari jabatannya. Bahwa Sukarno, dalam pidatonya pada 6 September 1966, justru menganggap zaman pra kemerdekaan itulah yang disebut dengan orde kolonial. Orde kapitalis. 'Orde lama'. Masa setelah kemerdekaan, itulah orde baru. Kami tak pernah tahu bahwa Orde Lama adalah nama yang dipilihkan Soeharto. Frasa itu digunakannya di setiap kesempatan, lengkap dengan doktrin bahwa Orde Lama menyelewengkan segala hal: Pancasila, cita-cita perjuangan, cita-cita kemerdekaan, cita-cita rakyat, dll, dsb. Pokoknya Orde Lama itu, sesuai namanya, kuno; tua; usang!


Selalu, kami dijejali narasi bahwa era Demokrasi Terpimpin sama kelamnya dengan Orde Baru. Kami menganggap, diangkatnya Sukarno sebagai presiden seumur hidup mengukuhkan bukti bahwa Sukarno dan Soeharto sama-sama diktator. Saking melekatnya stigma itu, kami--bahkan seorang ketua DPP sebuah partai sekalipun--seringkali lupa bahwa Sukarno tidak pernah mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup. Chaerul Saleh, AM Hanafi, dan Kolonel Suhardiman melalui Ketetapan MPRS-lah yang mengangkatnya. Bahwa pengangkatan ini adalah upaya membendung kemenangan PKI oleh beberapa tokoh Angkatan 45 dan sayap kanan melalui jalur parlementer, tidak banyak disinggung di ruang kelas.

Kalau saja tidak membaca Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie, mungkin sampai sekarang saya masih menganggap anak muda di era Demokrasi Terpimpin, seperti halnya di era Orde Baru, tak diberi tempat dalam politik. Kami membayangkan sistem Demokrasi Terpimpin Sukarno, meminjam istilah Tsamara, "membuat anak muda tak bisa dengan leluasa memberikan masukan". Pada masa Demokrasi Terpimpin, kebebasan pers mengalami dekadensi. Media yang dianggap Nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) dibreidel. Partai-partai politik dikubur. Sukarno adalah pemimpin narsis dan anti-kritik. Titik.


Yang kami tidak tahu, gerakan politik pemuda justru sangat dinamis pada era Demokrasi Terpimpin. Rupa-rupa gerakan politik mahasiswa dari berbagai spektrum ideologi lahir di era ini. Ternyata, sejak awal, anak muda selalu punya tempat dalam politik dan satu-satunya rezim yang menutup rapat gerakan politik pemuda adalah Orde Baru. Menengok catatannya Gie, setidaknya saat Angkatan 66 mulai menggempur Sukarno dan menteri-menterinya melalui demonstrasi, mereka tidak dibunuh, dihilangkan, atau dibui tanpa diadili. Kami tidak tahu bahwa Sukarno turut memantik suluh pergerakan pemuda melalui jargon-jargon semacam 'revolusi belum selesai'. 

Yang kami tahu hanyalah suluh itu membakar Sukarno sendiri melalui Tritura. Bagian ini sepertinya tidak perlu saya uraikan, Tsamara dan buku-buku sejarah cetakan Orba sudah memuatnya.


Contoh-contoh dalam tulisan Tsamara itu jika ditarik hingga masa pra kemerdekaan dan masih ditulis oleh kami, generasi yang menelan sejarah sintetis, tentu akan menjadi bukti keberhasilan propaganda Orba yang sempurna. Kami akan menulis peranan golongan muda dalam kemerdekaan Indonesia, yakni Chairul Saleh, Soekarni, Wikana, Adam Malik, dan pemuda lainnya. 'Pemuda lainnya'. Sebab dalam ingatan kami, tak ada tempat untuk nama DN Aidit yang justru menggagas sebuah pertemuan setelah ia mendengar kabar menyerahnya Jepun pada Sekutu dan mengusulkan Sukarno sebagai Presiden Indonesia. Oleh sebab itu, yang paling kami ingat dari Aidit hanyalah statusnya sebagai Ketua CC PKI terakhir. Juga kalimat "Djawa adalah koentji!" dalam propaganda lain yang efeknya tak kalah dahsyat: Pengkhianatan G30S/PKI.


Akhir kata, seperti Tsamara, saya pun ingin meminjam sajak legendaris Wiji Thukul, tapi dengan sedikit permak di sana-sini. Kira-kira begini:

Apabila propaganda direproduksi tanpa dibenahi / Sudut pandang berbeda dilarang tanpa alasan / Dibodoh-bodohi sejarah sintetis dan doktrin baheula / Maka hanya ada satu kata: Lawan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar