SOLID GOLD BERJANGKA MAKASSAR - Tulisan bertajuk Anak Muda Mental Penjilat ?dipublikasikan Tsamara Amany, Ketua DPP PSI, beberapa waktu lalu. Saya,
yang boleh dibilang satu generasi dengan Mbak Tsamara, secara lapang
dada akan menerima kritik para sejarawan tentang kebutaan generasi kami
atas cerita bangsa sendiri. Sebab dalam tulisan tersebut, Tsamara yang
membandingkan kondisi saat ini dengan era jebrol dan koitnya Orde Baru
(Orba), 1966, dan 1998 gagal melukiskan sejarah secara faktual dan
diakronis.
Selain berkali-kali menggunakan frasa 'Orde Lama', Tsamara
menyebutkan bahwa kebebasan anak muda dalam memberi masukan dibatasi
pada masa Demokrasi Terpimpin. Tsamara menambahkan bahwa Sukarno
mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup. Cerita-cerita
yang kami yakini merupakan bagian mutlak dari sejarah, yang ternyata,
tanpa kami tahu, hanyalah hafalan propaganda bikinan Orba. Andaikata
Tsamara menyematkan kata 'PKI' di belakang singkatan G30S, maka komplit
sudah refleksi produk indoktrinasi Soeharto and the gang.
Selama
ini, dalam periodisasi sejarah yang kami pahami, ada satu kurun waktu
sebelum tahun 1966 bernama Orde Lama. Kami tak pernah tahu bahwa istilah
itu justru disematkan setelah Sukarno turun--atau diturunkan--dari
jabatannya. Bahwa Sukarno, dalam pidatonya pada 6 September 1966, justru
menganggap zaman pra kemerdekaan itulah yang disebut dengan orde
kolonial. Orde kapitalis. 'Orde lama'. Masa setelah kemerdekaan, itulah
orde baru. Kami tak pernah tahu bahwa Orde Lama adalah nama yang
dipilihkan Soeharto. Frasa itu digunakannya di setiap kesempatan,
lengkap dengan doktrin bahwa Orde Lama menyelewengkan segala hal:
Pancasila, cita-cita perjuangan, cita-cita kemerdekaan, cita-cita
rakyat, dll, dsb. Pokoknya Orde Lama itu, sesuai namanya, kuno; tua;
usang!
Selalu, kami dijejali narasi bahwa era Demokrasi Terpimpin sama
kelamnya dengan Orde Baru. Kami menganggap, diangkatnya Sukarno sebagai
presiden seumur hidup mengukuhkan bukti bahwa Sukarno dan Soeharto
sama-sama diktator. Saking melekatnya stigma itu, kami--bahkan seorang
ketua DPP sebuah partai sekalipun--seringkali lupa bahwa Sukarno tidak
pernah mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup. Chaerul
Saleh, AM Hanafi, dan Kolonel Suhardiman melalui Ketetapan MPRS-lah
yang mengangkatnya. Bahwa pengangkatan ini adalah upaya membendung
kemenangan PKI oleh beberapa tokoh Angkatan 45 dan sayap kanan melalui
jalur parlementer, tidak banyak disinggung di ruang kelas.
Kalau saja tidak membaca Catatan Seorang Demonstran-nya
Soe Hok Gie, mungkin sampai sekarang saya masih menganggap anak muda di
era Demokrasi Terpimpin, seperti halnya di era Orde Baru, tak diberi
tempat dalam politik. Kami membayangkan sistem Demokrasi Terpimpin
Sukarno, meminjam istilah Tsamara, "membuat anak muda tak bisa dengan
leluasa memberikan masukan". Pada masa Demokrasi Terpimpin, kebebasan
pers mengalami dekadensi. Media yang dianggap Nekolim (neokolonialisme
dan imperialisme) dibreidel. Partai-partai politik dikubur. Sukarno
adalah pemimpin narsis dan anti-kritik. Titik.
Yang kami tidak
tahu, gerakan politik pemuda justru sangat dinamis pada era Demokrasi
Terpimpin. Rupa-rupa gerakan politik mahasiswa dari berbagai spektrum
ideologi lahir di era ini. Ternyata, sejak awal, anak muda selalu punya
tempat dalam politik dan satu-satunya rezim yang menutup rapat gerakan
politik pemuda adalah Orde Baru. Menengok catatannya Gie, setidaknya
saat Angkatan 66 mulai menggempur Sukarno dan menteri-menterinya melalui
demonstrasi, mereka tidak dibunuh, dihilangkan, atau dibui tanpa
diadili. Kami tidak tahu bahwa Sukarno turut memantik suluh pergerakan
pemuda melalui jargon-jargon semacam 'revolusi belum selesai'.
Yang kami
tahu hanyalah suluh itu membakar Sukarno sendiri melalui Tritura.
Bagian ini sepertinya tidak perlu saya uraikan, Tsamara dan buku-buku
sejarah cetakan Orba sudah memuatnya.
Contoh-contoh dalam tulisan
Tsamara itu jika ditarik hingga masa pra kemerdekaan dan masih ditulis
oleh kami, generasi yang menelan sejarah sintetis, tentu akan menjadi
bukti keberhasilan propaganda Orba yang sempurna. Kami akan menulis
peranan golongan muda dalam kemerdekaan Indonesia, yakni Chairul Saleh,
Soekarni, Wikana, Adam Malik, dan pemuda lainnya. 'Pemuda lainnya'.
Sebab dalam ingatan kami, tak ada tempat untuk nama DN Aidit yang justru
menggagas sebuah pertemuan setelah ia mendengar kabar menyerahnya Jepun
pada Sekutu dan mengusulkan Sukarno sebagai Presiden Indonesia. Oleh
sebab itu, yang paling kami ingat dari Aidit hanyalah statusnya sebagai
Ketua CC PKI terakhir. Juga kalimat "Djawa adalah koentji!" dalam
propaganda lain yang efeknya tak kalah dahsyat: Pengkhianatan G30S/PKI.
Akhir
kata, seperti Tsamara, saya pun ingin meminjam sajak legendaris Wiji
Thukul, tapi dengan sedikit permak di sana-sini. Kira-kira begini:
Apabila
propaganda direproduksi tanpa dibenahi / Sudut pandang berbeda dilarang
tanpa alasan / Dibodoh-bodohi sejarah sintetis dan doktrin baheula /
Maka hanya ada satu kata: Lawan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar