SOLID GOLD BERJANGKA MAKASSAR – Entah
Indonesia menempati ranking dunia nomor berapa dalam soal ini. Namun
saya yakin, kita adalah masyarakat yang memiliki kemampuan tinggi dalam
berimajinasi. Banyak cerita yang tersebar sehari-hari membuktikan betapa
dahsyatnya kemampuan imajinasi kita.
Coba ingat, beberapa waktu lalu digelar tindakan tegas meruntuhkan 90
susunan batu-batu di Sungai Cibojong, Sukabumi. Para pejabat lokal yang
menjalankan aksi nahi munkar itu berimajinasi bahwa tumpukan
bebatuan tersebut terkait dengan aktivitas-aktivitas mistis. Jadilah
sikap tegas yang mereka ambil merupakan aksi nyata dalam memberantas
kemusyrikan.
Lihat, imajinasi yang keren, bukan? Padahal jika mereka gaul sedikit saja, atau minimal mengikuti akun-akun Instagram yang bertema jalan-jalan, dengan gampang mereka akan melihat foto susunan bebatuan seperti itu dibuat di mana-mana. Rock stacking, istilahnya. Pembuatnya bukan bangsa jin anak buah Bandung Bondowoso, tapi manusia biasa, para anak muda pencinta alam, atau dedek-dedek
kekinian. Tujuannya bukan untuk disembah, atau untuk mendapatkan ajian
Semar Mesem dan Jaran Goyang. Melainkan sebagai karya seni yang
menantang konsentrasi tinggi.
Tengok juga kejadian di Aceh belum lama
berselang. Pohon-pohon cemara ditebangi. Alasannya karena cemara-cemara
itu identik dengan pohon Natal. Jadi karena pohon Natal dibuat dari
pohon cemara, otomatis buat mereka semua cemara dianggap sebagai pohon
Natal. Akibatnya, tak peduli apakah sedang difungsikan sebagai pohon
Natal ataukah tidak, semua pohon cemara diimajinasikan sebagai pohon
Kristen.
Untunglah di Indonesia tak ada orang memelihara rusa kutub.
Saya
tidak tahu apakah ada kebun binatang kita yang punya hewan salju yang
satu itu. Mudah-mudahan tidak ada. Sebab kalau ada dan sampai ketahuan
oleh para aktivis imajinasi, bisa-bisa rusa kutub ditangkapi, lalu
dideportasi. Landasannya jelas, karena rusa kutub adalah hewan yang
menarik kereta Sinterklas. Jadi sudah pasti dia hewan Kristen!
Lah, yang masih membuat saya bertanya-tanya, kenapa mereka tidak merazia burung-burung gereja? Kenapa, Milea?
***
Kemampuan berimajinasi seperti itu sebenarnya bukan barang baru. Di
Jogja, pada dekade 90-an pelatihan massal kemampuan imajinasi malah
digelar oleh aparat negara.
Ceritanya, pada waktu itu sedang nge-hits sebuah alat pijat.
Bentuknya seperti tanda tanya. Tangkai pegangannya panjang, ujungnya
ada bola kayunya, sehingga bisa digunakan untuk self–massage punggung oleh penggunanya.
Karena banyak orang merasa terbantu, apalagi buat mereka yang
kesepian sehingga tak punya siapa pun sebagai tempat mengadu di kala
punggungnya pegal-pegal, alat itu pun laris manis. Banyak warung
memajang dan menjajakannya, banyak orang membelinya.
Namun tiba-tiba bapak-bapak dari Kodim melakukan razia. Alat pijat
enak itu disita dari warung-warung. Ia tak boleh diperjualbelikan lagi,
dan untuk membawanya ke luar rumah pun orang-orang yang kadung
membelinya tak mungkin bakal berani. Dasar pemikiran pelarangan itu
ternyata sangat ilmiah: yaitu karena bentuk alat pijat tersebut
diianggap mirip dengan lambang partai terlarang!
Imajinasi yang maut, bukan? Karena alat pijat itu bentuknya
melengkung, pak tentara jadi ingat bentuk arit. Karena teringat bentuk
arit, terbayanglah di kepala mereka simbol komunis. Canggihnya, aritnya
sendiri malah tidak dilarang. Tidak terdengar satu kali pun razia
digelar di sawah-sawah, untuk menyita arit-arit dan membebaskan para
petani dari paparan bahaya laten komunis. Tidak terdengar juga aparat
negara mengambil paksa palu-palu dari tangan para tukang batu, juga dari
lapak-lapak toko besi.
Kebiasaan berimajinasi seperti itu terus mentradisi, menjadi skill
kebanggaan manusia Indonesia. Kalau mau dikorek, masih banyak sekali
contoh kasus lainnya. Namun yang paling cespleng memang semua yang
terkait dengan bahaya laten komunis. Kenapa? Sebab negeri ini memang
punya trauma komunal mendalam terkait potongan sejarah kelam 50 tahun
lalu. Trauma itu terus menjadi kebun subur bagi tersemainya ketakutan,
dan ketakutan adalah alat pemasaran yang sangat menjanjikan
peluang-peluang.
Jadi jangan heran-heran amat, kalau tiap kali musim politik tiba, isu
kebangkitan komunis selalu dijadikan bahan dagangan. Dengan berjualan
isu kebangkitan komunis, imajinasi publik bisa merebak dengan liarnya.
Celakanya, sangat sedikit tokoh politik yang berani membantahnya, atau
menetralisasinya. Sebab para praktisi imajinasi tetap mengikuti alur
logika yang konsisten imajinatif: siapa pun yang membantah isu
kebangkitan komunis, otomatis dia pro-komunis.
Nah, politisi mana yang mau dituduh pro-komunis, coba? Bisa-bisa
habis karier politiknya, padahal belum lunas utang-utang biaya
kampanyenya.
Lebih sial lagi, para aktivis muda yang sepertinya kepingin
menjalankan edukasi publik agar kita tidak terus-menerus terpasung dalam
trauma massal 50 tahun silam, justru kadangkala melakukan
tindakan-tindakan yang norak, caper, dan kekanak-kanakan. Misalnya
dengan memakai kaos palu-arit di ruang publik, dalam ajang demonstrasi
buruh pula.
Hasilnya, alih-alih menetralisasi imajinasi umat agar tak lagi mudah
diaduk-aduk emosinya dengan isu kebangkitan komunis, yang terjadi malah
sebaliknya: bumerang tajam! Orang kebanyakan justru semakin percaya
bahwa kebangkitan komunis itu nyata. “Tuh lihat, nyata sekali mereka
semakin terang-terangan menampakkan diri! Rapatkan barisan! Siagakan
kekuatan umat!”
Padahal yang sebenarnya terjadi tak lebih dari kebangkitan seorang
anak muda labil dan krisis eksistensi, yang mau pamer kaos oleh-oleh
dari temannya, sepulangnya si teman dari Vietnam untuk misi darmawisata.
Healah….
***
Hari-hari ini, imajinasi atas bangkitnya komunis sudah mulai
dikitik-kitik lagi. Maklum, tahun politik. Sisa panas 2014 terus
membara, dinyalakan lagi oleh Pilkada DKI dan Dua-Satu-Dua. Sekarang
musim Pilkada di mana-mana, dan tahun depan Pemilu dan Pilpres akan
kembali memanaskan ruang-ruang kasak-kusuk kita. Sempurna sudah, Sodara.
Menu pertama untuk merebus isu kebangkitan komunis, kita tahu, adalah
serangan orang-orang gila. Karena yang diserang adalah para ulama, dan
karena di masa lalu kaum ulama pernah berkonflik dengan orang komunis,
maka imajinasi yang paling gampang diracik adalah: PKI bangkit lagi dan
menyerang para ulama. Apa bukti dugaan itu? Tidak ada. Ya, tidak ada.
Lihat, lagi-lagi imajinasi menjalankan perannya.
Lalu apakah semua ini kebetulan semata? Bisa ya, bisa tidak. Meski
sampai detik ini saya belum percaya, tapi kemungkinan bahwa aksi-aksi
orang gila itu by design bukan lantas tertutup. Kemungkinan itu
selalu ada, negeri ini pernah mengalami pola-pola serupa, dan saya
sangat mendukung aparat yang punya wewenang untuk secara serius
mengusutnya. Namun, kalau boleh saya berpesan, ada satu hal yang ingin
saya sampaikan.
Begini. Jika memang kemunculan orang-orang gila itu ada sutradaranya,
secara logis tujuannya jelas, yakni untuk menciptakan keresahan dan
instabilitas. Maka semakin kita reaktif, semakin kita emosi dan gagal
mengendalikan diri, semakin kita berteriak memanaskan situasi dan bukan
malah meredamnya, maka sesungguhnya dengan konyol kita sudah jatuh ke
dalam perangkap yang dipasang Si Sutradara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar