SOLID GOLD MAKASSAR – Tiga perempuan paruh baya dengan cekatan mengiris medium tanam atau baglog
jamur yang dibuat dari serbuk kayu berbentuk silinder. Mereka lalu
menghancurkan irisan-irisan itu dalam sebuah baskom. Kemudian,
menggunakan tangan yang terbungkus sarung karet, repihan serbuk kayu di
baskom dipindahkan pada cetakan berukuran 30×30 cm.
Tiga hari setelah proses inkubasi,
serbuk tadi mulai memutih persis tempe. Karena sudah mulai mengeras,
panel kemudian dibalik agar prosesnya merata. Selanjutnya, kata Adi,
dilakukan proses penyelesaian membentuk sebuah lempengan papan yang
tekniknya masih sangat dirahasiakan. Total waktu diperlukan untuk
membuat sebuah panel tak lebih dari lima hari. “Ada alur yang belum bisa
kami ceritakan karena masih dalam proses mendapat hak paten,” ujar pria
lulusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung itu.
Pembuatan Mycotech, ujar Direktur
Teknologi PT Miko Bahtera Nusantara, Arekha Bentangan Lazuar, memang
terinspirasi dari teknik pembuatan tempe. Jamur Rhizopus pada tempe bekerja mengikat biji-biji kedelai dengan kuat lewat akar jamur, yang disebut mycelium. Konsep yang serupa diterapkan pada Mycotech.
Bedanya, yang diikat bukan lagi kedelai,
melainkan limbah-limbah pertanian, bisa limbah kelapa sawit, tebu, atau
serbuk kayu dari limbah industri kayu. “Pakai jamur Pleurotus ostreatus dari grup Basidiomycota.
Jamur tiram masuk jenis jamur ini,” ujar lulusan Pascasarjana
Bioteknologi ITB itu. “Kami sengaja pakai jamur yang tak biasa
dikonsumsi. Takutnya nanti berkompetisi dengan sumber makanan.”Kami
percaya jamur ini bisa menyelamatkan dunia.”
Dari limbah pertanian yang ‘hanya’
direkatkan dengan jamur dan melalui proses pembuatan yang sederhana,
Mycotech menjelma menjadi panel-panel papan yang kokoh dan kuat. Adi
mengatakan kekuatannya setelah diuji lebih baik 1,5 kali dibandingkan medium-density fibreboard
(MDF), papan yang sering dipakai sebagai material dasar mebel industri.
Keunggulan lainnya, ujar pemuda berusia 27 tahun itu, Mycotech
merupakan material bangunan bebas bahan berbahaya, seperti resin
sintetis. “Kalau pakai plywood, perekatnya resin. Resin itu
beracun karena mengandung formaldehida dan mudah terbakar,” ujarnya.
“Mycotech pun bisa dibentuk bervariasi sesuai pesanan.”
Kisah penemuan Mycotech dimulai pada
2012. Saat itu lima anak muda lulusan ITB dan Universitas Padjadjaran,
yakni Adi, Arekha, Robbi Zidna Ilman, Ronaldiaz Hartantyo, dan Annisa
Wibi, mengembangkan bisnis penanaman bibit jamur organik bernama
Growbox. “Waktu itu jamur yang dimakan seperti jamur tiram di lokasi ini
juga. Kebetulan di sini banyak petani jamur,” ujar Adi.
Suatu hari pada awal 2013, salah satu dari mereka mengambil baglog yang
sudah dibuang dan mengering. Medium tanam jamur itu berubah menjadi
material yang sangat keras. “Kami pikir ini kan dari serbuk yang rapuh,
kok bisa jadi sangat keras,” ujar Adi. Rasa penasaran itu membuat mereka
menguji beberapa baglog. “Coba eksperimen di dapur rumah dengan alat seadanya. Minjem alat dapur punya Ibu, kayak panci presto, sampai rusak dan alhamdulillah gagal total.”
Sambil tetap menjalankan bisnis Growbox,
mereka tak menyerah begitu saja untuk meneliti material itu. Mereka
minta bantuan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Adi dan
kawan-kawannya diperkenankan memakai laboratorium mikologi di Pusat
Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Serpong mulai 2014.
“Kalau ditotal, bisa sampai 200 ribu
meter persegi pesanan yang kami terima. Sementara ini kami pilah-pilah
dulu mana yang kasih dampak besar serta proyeknya bisa kami tangani,
itulah yang kami ambil,” ujarnya. “Untuk saat ini, kami hanya menyasar
pasar yang low production tapi high added value.“
Pada 2017, Adi menuturkan perusahaannya
mengolah 12 ton limbah pertanian dengan hasil produksi sekitar 6.000
meter persegi papan panel, kurang-lebih seukuran lapangan sepakbola.
“Kami targetkan tahun ini bisa naik tiga kali lipat,” ujarnya. Hasil
produksinya sebagian besar diserap oleh sebuah perusahaan di Singapura
yang bekerja sama dengan Urban-Rural System Future Cities Lab untuk
mendirikan perumahan Rumah Tambah di Batam, Kepulauan Riau.
Soal bahan baku, menurut Adi, tak ada
masalah untuk mencapai target produksi tahun ini atau bahkan permintaan
pasar dari seluruh dunia. Menurutnya, limbah pertanian di Indonesia
sangat berlimpah karena diperkirakan setiap tahun dihasilkan 120 juta
ton. Tapi tentunya mereka tak bisa sendiri memenuhi kebutuhan baglog
sebagai bahan utama.
“Selain mempekerjakan beberapa tetangga di sekitar workshop, kami berkolaborasi dengan hampir 400 petani jamur untuk memasok baglog, ini sekaligus mendatangkan nilai tambah bagi petani,” ujarnya. “Kami percaya jamur ini bisa menyelamatkan dunia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar