SOLID BERJANGKA MAKASAR – Di
tengah menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia, yang tentunya juga
berimbas pada Indonesia, akan mempengaruhi kocek pemerintah karena
menurunnya sisi penerimaan di neraca APBN. Neraca perdagangan Indonesia
juga semakin njomplang meskipun pemerintah mengatakan bahwa ekonomi kita
stabil tumbuh sekitar 5%, kenyataannya kita butuh lebih banyak barang
impor. Untuk itu pemerintah melalui program-programnya berusaha
mendorong sektor-sektor yang selama ini belum menjadi primadona sumber
devisa untuk berkembang dengan segala keterbatasannya, salah satunya
adalah sektor pariwisata.
Sektor pariwisata punya target 20 juta
wisatawan mancanegara (wisman) pada 2019. Saat target ini dicanangkan
(2014), jumlah wisman masih di bawah 10 juta. Tahun 2017 jumlah wisman
yang masuk ke Indonesia menurut Kementerian Pariwisata (Kemenpar)
mencapai 14,2 juta orang, termasuk pelintas batas (PLB) dan wisman
khusus, atau meleset dari target awal sebesar 15 juta. Di waktu yang
tersisa tinggal 2 tahun, Kemenpar harus mencapai target 20 juta wisman
di luar PLB dan wisman khusus. Ini bukan sesuatu yang mudah, mengingat
di regional kita harus bersaing dengan Thailand, Singapura, Vietnam dan
sebagainya yang relatif secara SDM dan infrastruktur lebih siap dari
Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS), dalam 5 tahun terakhir mayoritas wisman yang masuk ke Indonesia
berasal dari Tiongkok dan masuk melalui 19 pintu, terutama Bali dan
Jakarta. Dengan dominasi wisman dari Tiongkok, secara sosial ekonomi
Indonesia dirugikan karena wisman dari Tiongkok umumnya jorok dan
berisik. Kedua sifat tersebut mengganggu kenyamanan wisman lain dan juga
wisatawan domestik. Artinya wisman lain enggan ke tempat-tempat wisata
atau hotel yang banyak dikunjungi wisman Tiongkok, sehingga muncul biaya
sosial ekonomi ekstra yang harus dibayar.
Selain masalah di atas, ada persoalan
lain yang kemungkinan dapat menghambat tercapainya janji Presiden pada
publik dari sektor pariwisata. Misalnya, apakah penerapan Perpres No. 21
Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan efektif? Apakah angka-angka
yang selama ini di sampaikan oleh Kemenpar akurat, termasuk target 20
juta wisman pada 2019 bisa tercapai? Apakah benar sektor pariwisata
menjadi penyumbang terbesar devisa dari sektor non migas, seperti yang
diklaim oleh Kemenpar? Apakah yang harus dilakukan Kemenpar menghadapi
persoalan-persoalan di atas? Dan sebagainya.
Antara Target, Persoalan dan Keberhasilan
Bicara data, wisman yang masuk Indonesia
akurasinya masih perlu dipertanyakan. Menurut Kemenpar jumlah wisman
yang masuk ke Indonesia selama 2017 sekitar 14,2 juta atau meleset dari
yang diharapkan 15 juta karena adanya erupsi Gunung Agung di Bali.
Jumlah itu pun (sekitar 14,2 juta), termasuk para pelintas batas (PLB)
dan wisman khusus. Menurut Direktur Data Statistik Bank Indonesia (BI),
jumlah kunjungan wisman selama 2017 adalah 12,2 juta (belum termasuk PLB
dan wisman khusus) -atau PBL dan wisman khusus berjumlah sekitar 2
juta. Jadi Kemenpar kalau menyampaikan data harus lengkap supaya tidak
menyesatkan.
Ada klaim dari Kemenpar bahwa per 2016
sektor pariwisata sudah menjadi penghasil devisa nomor dua terbesar,
atau menghasilkan USD 14 miliar -sekitar Rp 200 triliun. Angka ini perlu
dipertanyakan kebenarannya. Demikian pula jika Kemenpar mengklaim bahwa
sektor pariwisata sudah menjadi penarik investasi nomor dua, apa benar?
Kalau benar, tentunya suatu lompatan besar dan patut diapresiasi. Untuk
mencari tahu kebenaran data tersebut, penulis mencoba mengkonfirmasi ke
beberapa institusi, seperti BI, BPS, BKPM, dan lain-lain.
Menurut Direktur Statistik BI, dalam
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), jasa travel memang merupakan komponen
neraca jasa yang sejak beberapa tahun lalu selalu surplus. Pada 2016
surplus jasa travel sekitar USD 3,6 miliar, sementara secara keseluruhan
neraca jasa defisit sekitar USD 7,1 miliar. Jasa travel merupakan
penerimaan dari wisman yang berkunjung ke Indonesia untuk akomodasi,
konsumsi, dan transportasi lokal.
Perlu dipertanyakan jika sektor
pariwisata menjadi penyumbang devisa terbesar, karena menurut BI
penyumbang surplus terbesar pada transaksi berjalan NPI adalah neraca
perdagangan barang non migas. Sedangkan sektor pariwisata atau travel
tidak masuk katagori barang melainkan jasa. Lalu coba kita lihat dalam
PDB, sektor pariwisata dapat terdiri dari beberapa lapangan usaha,
antara lain penyediaan akomodasi dan makan-minum, transportasi dan
pergudangan, namun di PDB yang dihitung adalah nilai tambah ekonomi
tidak memilah-milah, apakah penghasil devisa atau bukan.
Kalau dari sisi gross export,
menurut BI, pada 2016 komoditas ekspor non migas terbesar adalah minyak
nabati (USD 17,4 miliar), diikuti batubara (USD 14,6 miliar), TPT (USD
11,9 miliar). Sedangkan ekspor komoditi migas (USD 12,9 miliar) dan
ekspor jasa travel USD 11,2 miliar, bukan USD 14 miliar seperti yang
diklaim oleh Kemenpar. Kembali di sini akurasi data harus dikalibrasi
dengan benar.
Untuk mengkonter klaim Kemenpar bahwa
sektor pariwisata telah menjadi penarik investasi nomor dua, saya sempat
menanyakan ke salah satu Deputi BKPM. Berdasarkan data realisasi
investasi Januari-Desember 2017 yang dikeluarkan oleh BKPM, sektor
pariwisata ada di nomor 12 (hotel dan restoran) dan di nomor 7
(transportasi). Artinya, klaim Kemenpar kembali patut kita pertanyakan.
Selain persoalan di atas, lama tinggal
(rata-rata dua hari/kunjungan) dan uang yang dibelanjakan selama di
Indonesia juga menjadi persoalan serius dalam meningkatkan jumlah wisman
masuk ke Indonesia, meskipun sudah dibantu dengan kebijakan bebas visa
untuk 169 negara melalui Perpres No. 21 Tahun 2016, program promosi 10
destinasi baru dan triple coral diamond dll tetap belum banyak
membantu, dan menjadi kompetitif dengan Malaysia atau Thailand dan
negara ASEAN lainnya. Masih perlu perencanaan yang lebih matang.
Langkah Pemerintah
Pertama, Kemenpar harus mengkaji ulang
Perpres No. 21 Tahun 2016 karena terbukti tidak dapat mendorong jumlah
wisman secara pesat, dan patut diduga hanya memudahkan wisman pembawa
narkoba dan komoditi ilegal lainnya masuk ke Indonesia. Pastikan hanya
negara yang punya resiprokalitas dengan Indonesia yang memperoleh
fasilitas bebas visa kunjungan 30 hari. Lebih baik perbaiki sistem
pembuatan visa (misalnya melalui online) supaya proses cepat tetapi pengawasan negara optimal dan tetap mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Kedua, pastikan proses pendataan wisman akurat dan real time.
Supaya tidak ada penyesatan publik, data wisman harus dipisah dengan
PLB dan wisman khusus. Ketiga, Kemenpar harus mempunyai strategi khusus
atau pilah-pilah dalam mengundang wisman untuk mengurangi biaya sosial
yang disebabkan oleh perbuatan wisman yang merugikan di Indonesia. Di
sini target pasar menjadi penting, bukan hanya jumlah.
Keempat, upayakan supaya wisman yang
masuk ke Indonesia dari kelas menengah atas yang selama ini mampir ke
Singapura, Malaysia, Thailand dan sebagainya; bukan kelas menengah
bawah. Wisman dari Tiongkok yang masuk ke Indonesia umumnya dari kelas
menengah bawah, kelas menengah atas pergi ke Thailand.
Demikian koreksi ini saya tuliskan tanpa
maksud apa-apa hanya untuk koreksi dan klarifikasi data supaya ke depan
Kemenpar lebih strategis lagi dalam berkomunikasi dengan publik. Ingat,
target masih jauh dan waktu semakin singkat. Kalau tidak tercapai
sampaikan saja, dan itu lebih baik daripada seolah-olah target terpenuhi
tetapi harus menggunakan data yang tidak akurat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar