Selasa, 27 Februari 2018

SOLID BERJANGKA | Data, Target, dan Implementasi Sektor Pariwisata

SOLID BERJANGKA

SOLID BERJANGKA MAKASAR – Di tengah menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia, yang tentunya juga berimbas pada Indonesia, akan mempengaruhi kocek pemerintah karena menurunnya sisi penerimaan di neraca APBN. Neraca perdagangan Indonesia juga semakin njomplang meskipun pemerintah mengatakan bahwa ekonomi kita stabil tumbuh sekitar 5%, kenyataannya kita butuh lebih banyak barang impor. Untuk itu pemerintah melalui program-programnya berusaha mendorong sektor-sektor yang selama ini belum menjadi primadona sumber devisa untuk berkembang dengan segala keterbatasannya, salah satunya adalah sektor pariwisata.

Sektor pariwisata punya target 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) pada 2019. Saat target ini dicanangkan (2014), jumlah wisman masih di bawah 10 juta. Tahun 2017 jumlah wisman yang masuk ke Indonesia menurut Kementerian Pariwisata (Kemenpar) mencapai 14,2 juta orang, termasuk pelintas batas (PLB) dan wisman khusus, atau meleset dari target awal sebesar 15 juta. Di waktu yang tersisa tinggal 2 tahun, Kemenpar harus mencapai target 20 juta wisman di luar PLB dan wisman khusus. Ini bukan sesuatu yang mudah, mengingat di regional kita harus bersaing dengan Thailand, Singapura, Vietnam dan sebagainya yang relatif secara SDM dan infrastruktur lebih siap dari Indonesia.


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam 5 tahun terakhir mayoritas wisman yang masuk ke Indonesia berasal dari Tiongkok dan masuk melalui 19 pintu, terutama Bali dan Jakarta. Dengan dominasi wisman dari Tiongkok, secara sosial ekonomi Indonesia dirugikan karena wisman dari Tiongkok umumnya jorok dan berisik. Kedua sifat tersebut mengganggu kenyamanan wisman lain dan juga wisatawan domestik. Artinya wisman lain enggan ke tempat-tempat wisata atau hotel yang banyak dikunjungi wisman Tiongkok, sehingga muncul biaya sosial ekonomi ekstra yang harus dibayar.

Selain masalah di atas, ada persoalan lain yang kemungkinan dapat menghambat tercapainya janji Presiden pada publik dari sektor pariwisata. Misalnya, apakah penerapan Perpres No. 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan efektif? Apakah angka-angka yang selama ini di sampaikan oleh Kemenpar akurat, termasuk target 20 juta wisman pada 2019 bisa tercapai? Apakah benar sektor pariwisata menjadi penyumbang terbesar devisa dari sektor non migas, seperti yang diklaim oleh Kemenpar? Apakah yang harus dilakukan Kemenpar menghadapi persoalan-persoalan di atas? Dan sebagainya.

Antara Target, Persoalan dan Keberhasilan

Bicara data, wisman yang masuk Indonesia akurasinya masih perlu dipertanyakan. Menurut Kemenpar jumlah wisman yang masuk ke Indonesia selama 2017 sekitar 14,2 juta atau meleset dari yang diharapkan 15 juta karena adanya erupsi Gunung Agung di Bali. Jumlah itu pun (sekitar 14,2 juta), termasuk para pelintas batas (PLB) dan wisman khusus. Menurut Direktur Data Statistik Bank Indonesia (BI), jumlah kunjungan wisman selama 2017 adalah 12,2 juta (belum termasuk PLB dan wisman khusus) -atau PBL dan wisman khusus berjumlah sekitar 2 juta. Jadi Kemenpar kalau menyampaikan data harus lengkap supaya tidak menyesatkan.

 
Ada klaim dari Kemenpar bahwa per 2016 sektor pariwisata sudah menjadi penghasil devisa nomor dua terbesar, atau menghasilkan USD 14 miliar -sekitar Rp 200 triliun. Angka ini perlu dipertanyakan kebenarannya. Demikian pula jika Kemenpar mengklaim bahwa sektor pariwisata sudah menjadi penarik investasi nomor dua, apa benar? Kalau benar, tentunya suatu lompatan besar dan patut diapresiasi. Untuk mencari tahu kebenaran data tersebut, penulis mencoba mengkonfirmasi ke beberapa institusi, seperti BI, BPS, BKPM, dan lain-lain.

Menurut Direktur Statistik BI, dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), jasa travel memang merupakan komponen neraca jasa yang sejak beberapa tahun lalu selalu surplus. Pada 2016 surplus jasa travel sekitar USD 3,6 miliar, sementara secara keseluruhan neraca jasa defisit sekitar USD 7,1 miliar. Jasa travel merupakan penerimaan dari wisman yang berkunjung ke Indonesia untuk akomodasi, konsumsi, dan transportasi lokal.

 
Perlu dipertanyakan jika sektor pariwisata menjadi penyumbang devisa terbesar, karena menurut BI penyumbang surplus terbesar pada transaksi berjalan NPI adalah neraca perdagangan barang non migas. Sedangkan sektor pariwisata atau travel tidak masuk katagori barang melainkan jasa. Lalu coba kita lihat dalam PDB, sektor pariwisata dapat terdiri dari beberapa lapangan usaha, antara lain penyediaan akomodasi dan makan-minum, transportasi dan pergudangan, namun di PDB yang dihitung adalah nilai tambah ekonomi tidak memilah-milah, apakah penghasil devisa atau bukan.

Kalau dari sisi gross export, menurut BI, pada 2016 komoditas ekspor non migas terbesar adalah minyak nabati (USD 17,4 miliar), diikuti batubara (USD 14,6 miliar), TPT (USD 11,9 miliar). Sedangkan ekspor komoditi migas (USD 12,9 miliar) dan ekspor jasa travel USD 11,2 miliar, bukan USD 14 miliar seperti yang diklaim oleh Kemenpar. Kembali di sini akurasi data harus dikalibrasi dengan benar.

Untuk mengkonter klaim Kemenpar bahwa sektor pariwisata telah menjadi penarik investasi nomor dua, saya sempat menanyakan ke salah satu Deputi BKPM. Berdasarkan data realisasi investasi Januari-Desember 2017 yang dikeluarkan oleh BKPM, sektor pariwisata ada di nomor 12 (hotel dan restoran) dan di nomor 7 (transportasi). Artinya, klaim Kemenpar kembali patut kita pertanyakan.


Selain persoalan di atas, lama tinggal (rata-rata dua hari/kunjungan) dan uang yang dibelanjakan selama di Indonesia juga menjadi persoalan serius dalam meningkatkan jumlah wisman masuk ke Indonesia, meskipun sudah dibantu dengan kebijakan bebas visa untuk 169 negara melalui Perpres No. 21 Tahun 2016, program promosi 10 destinasi baru dan triple coral diamond dll tetap belum banyak membantu, dan menjadi kompetitif dengan Malaysia atau Thailand dan negara ASEAN lainnya. Masih perlu perencanaan yang lebih matang.

Langkah Pemerintah

Pertama, Kemenpar harus mengkaji ulang Perpres No. 21 Tahun 2016 karena terbukti tidak dapat mendorong jumlah wisman secara pesat, dan patut diduga hanya memudahkan wisman pembawa narkoba dan komoditi ilegal lainnya masuk ke Indonesia. Pastikan hanya negara yang punya resiprokalitas dengan Indonesia yang memperoleh fasilitas bebas visa kunjungan 30 hari. Lebih baik perbaiki sistem pembuatan visa (misalnya melalui online) supaya proses cepat tetapi pengawasan negara optimal dan tetap mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Kedua, pastikan proses pendataan wisman akurat dan real time. Supaya tidak ada penyesatan publik, data wisman harus dipisah dengan PLB dan wisman khusus. Ketiga, Kemenpar harus mempunyai strategi khusus atau pilah-pilah dalam mengundang wisman untuk mengurangi biaya sosial yang disebabkan oleh perbuatan wisman yang merugikan di Indonesia. Di sini target pasar menjadi penting, bukan hanya jumlah.

 
Keempat, upayakan supaya wisman yang masuk ke Indonesia dari kelas menengah atas yang selama ini mampir ke Singapura, Malaysia, Thailand dan sebagainya; bukan kelas menengah bawah. Wisman dari Tiongkok yang masuk ke Indonesia umumnya dari kelas menengah bawah, kelas menengah atas pergi ke Thailand.

Demikian koreksi ini saya tuliskan tanpa maksud apa-apa hanya untuk koreksi dan klarifikasi data supaya ke depan Kemenpar lebih strategis lagi dalam berkomunikasi dengan publik. Ingat, target masih jauh dan waktu semakin singkat. Kalau tidak tercapai sampaikan saja, dan itu lebih baik daripada seolah-olah target terpenuhi tetapi harus menggunakan data yang tidak akurat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar