Kamis, 26 Juli 2018

PT SOLID BERJANGKA | Kenaikan Cukai Rokok Berkontribusi 'Rumahkan' Ribuan Pekerja

Kenaikan Cukai Rokok Berkontribusi 'Rumahkan' Ribuan Pekerja




PT SOLID BERJANGKA MAKASSAR - Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Sudarto menyebut kenaikan tarif Cukai rokok berkontribusi terhadap banyaknya pekerja Sigar Kretek Tangan (SKT) yang dirumahkan.



Berdasarkan data yang dihimpun organisasinya, dalam kurun delapan tahun terakhir, setidaknya ada 56.616 pekerja pembuat kretek tangan yang tergabung dalam organisasinya harus kehilangan pekerjaan. Angka itu belum ditambah pekerja rokok SKT yang berada di luar organisasinya.


"Dalam waktu 8-9 tahun produksi turun, ya penghasilannya turun. Jumlah yang kehilangan pekerjaan cukup besar, mencapai 56 ribu tenaga kerja," kata Sudarto.



Ia mengatakan pekerja pembuat rokok SKT kebanyakan adalah pekerja yang diupah berdasarkan jumlah rokok yang dapat diproduksinya. Dengan demikian, jika produksi turun, pendapatan mereka pun ikut terseret.


Ditambah lagi, kata Sudarto, pekerja pembuat SKT adalah orang dengan taraf pendidikan yang cukup rendah. Alhasil ketika pekerjaannya terenggut, otomatis mereka akan kesulitan untuk mencari lapangan pekerjaan yang baru. 



Sementara, pekerja SKT di industri kecil, yang masih bertahan pun mengalami masalah penurunan jam kerja yang tadinya delapan jam kini hanya empat jam. Alhasil mereka mencari sampingan lain seperti menjadi buruh cuci dan pekerjaan lainnya.



"Mereka mengalami penurunan penghasilan luar biasa. Pilihannya sulit darpada enggak kerja. Sebagian banyak yang mencari tambahan dengan dagang sampai buruh cuci," ujarnya.

Ia berharap kedepannya pemerintah tidak menaikan cukai karena melihat risiko yang diterima oleh pekerja di sektor ini terutama di industri-industri kecil.

Sudarto pun meminta pemerintah untuk membedakan kenaikan tarif cukai berdasarkan jenis rokoknya sesuai serapan tenaga kerja. Pasalnya, SKT menyerap tenaga kerja sangat banyak dibandingkan dua jenis rokok lainnya, yang diproduksi menggunakan mesin.





Butuh Kepastian


Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan industri rokok di Indonesia perlu kepastian terkait tarif cukai. 


"Industri ini butuh satu regulasi yang tidak berubah-ubah pasti lah karena industri ini adalah industri yang high regulated," terang dia. 

Enny menerangkan penetapan besaran cukai yang berubah-ubah ini dapat membuat pelaku industri baik skala besar dan kecil kesulitan dalam menentukan langkah bisnisnya kedepan.



Misalnya saja, dalam PMK Nomor 146 tahun 2017 pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 10,04 persen yang berlaku mulai 1 Januari 2018. Adapun pada 2016, tarif cukai rokok naik sebesar 10,54 persen.

"Pemerintah banyak maunya terhadap industri ini. Kalau kenaikan itu pasti naik, cuma industrinya tidak pasti berapa persentasenya. Jadi, ini menyulitkan mereka untuk membuat rencana bisnis," ujar dia.


Selain menaikan cukai rokok, pemerintah melalui PMK 146 tahun 2017 juga berencana menyederhanakan golongan tarif cukai.



Beleid itu mengatur mengenai pengurangan golongan tarif cukai, penerapan kenaikan tarif bagi industri yang memproduksi rokok putih dan rokok kretek dengan cara menghitung total kumulasi produksi keduanya mulai tahun 2019, penyamaan tarif cukai antara jenis rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) pada 2020, dan menghilangkan golongan I-B Sigaret Kretek Tangan (SKT).



Menurut Enny, pemerintah tidak bisa secara serta merta menyederhanakan golongan rokok. Pasalnya, Indonesia memiliki banyak jenis rokok tidak seperti di negara lain yang hanya mengenal golongan SPM.

"Kalau mau penyederhanaan ya sesuaikan dengan industri yang ada, kita tidak bisa simplikasi itu," jelas dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar