solid gold makassar - Sebuah video beredar di media sosial berisi "omelan" seorang ustaz saat
menjawab pertanyaan dari jamaah tentang keislaman presiden. Presiden
yang dimaksud adalah yang sekarang menjabat, yaitu Presiden Joko Widodo.
Joko Widodo jelas seorang muslim, kata ustaz tadi. Jadi tidak ada satu
pun alasan yang bisa dibenarkan untuk mengatakan beliau bukan muslim
alias kafir.
Selanjutnya, ustaz juga mengingatkan bahwa Indonesia
adalah negara Islam, pemerintahannya adalah pemerintahan Islam. Argumen
dia adalah bahwa umat Islam dilindungi di negeri ini, kebutuhan mereka
dalam menjalankan syariat dilayani oleh pemerintah. Mulai dari
administrasi kependudukan yang menegaskan pencatatan status agama
seorang muslim, masjid-masjid untuk keperluan salat, pengelolaan zakat
oleh pemerintah, hingga yang paling besar, yaitu pelayanan haji. Bagi
dia, ini adalah bukti bahwa pemerintahan ini adalah pemerintahan Islam.
Sebenarnya
yang tersedia bagi umat Islam di negeri ini jauh lebih besar dari itu.
Dalam konteks tata negara, Indonesia bisa dikatakan negara semi-Islam.
Maksudnya adalah, meski tidak resmi menyatakan diri sebagai negara Islam
dalam arti sepenuhnya berdasar pada Quran, ada banyak aspek di negara
ini yang bisa diklaim sebagai bukti bahwa negara ini adalah negara
Islam. Sistem hukum kita mengadopsi hukum-hukum Islam, sejauh hukum itu
tidak menyangkut tata negara dan pidana.
Hukum perdata kita terbagi dua, yaitu hukum umum dan hukum Islam.
Persoalan yang terkait dengan pernikahan, warisan, makanan, perbankan,
pendidikan, diatur berdasar syariat Islam, dan menjadi UU. Artinya,
syariah sebenarnya sudah sejak lama menjadi bagian dari hukum Indonesia.
Kita juga punya sistem pengadilan agama Islam sebagai sub-bagian dari
pengadilan negara.
Kalau kita bandingkan dengan Malaysia yang
secara resmi menyatakan diri sebagai negara Islam misalnya, tidak banyak
perbedaan. Bahkan dalam beberapa hal kita mungkin lebih maju.
Prinsip
ini, bahwa negara ini sudah cukup untuk disebut negara Islam, menjadi
dasar bagi NU dan Muhammadiyah serta sejumlah organisasi Islam untuk
menganggap bahwa Republik Indonesia ini adalah bentuk final negara yang
mereka dukung. Artinya, tidak diperlukan formalisasi pernyataan status
sebagai negara Islam, atau memakai Quran sebagai dasar negara.
Tapi,
itu pendapat sebagian saja dari umat Islam Indonesia, meski boleh
dikata sebagian besar. Ada sebagian lain yang menganggap Indonesia ini
tidak memenuhi syarat sebagai negara Islam. Ustaz yang tadi saya sebut
pun sebenarnya masih mengatakan bahwa Indonesia ini tak sempurna sebagai
sebuah negara Islam. Kenapa? Karena masih memakai sumber hukum lain
selain hukum Islam.
Bagi orang-orang dari kelompok kedua, ini
adalah soal serius. Mereka mengacu pada ayat Quran yang mengatakan bahwa
orang-orang yang berhukum pada hukum Allah adalah orang kafir. Atau,
kalaupun sedikit diturunkan tingkat keseriusannya, derajatnya adalah fasiq. Baik kafir maupun fasiq adalah derajat buruk yang sangat serius dalam ajaran Islam.
Pandangan
seperti inilah yang dianut oleh orang-orang seperti Abu Bakar Baasyir,
serta orang-orang yang bergiat untuk mendirikan khilafah
seperti kelompok Hizbut Tahrir. Kelompok ini pun sebenarnya tidak
tunggal pandangannya. Ada yang merasa cukup bila negara secara resmi
menyatakan bahwa Quran adalah dasar negara dan hukum Islam adalah hukum
tertinggi, seperti yang terjadi di Arab Saudi dan Malaysia. Tidak
sedikit pula yang menolak formalitas seperti itu, dan menuntut adanya
negara Islam secara utuh.
Persoalannya, bagaimana konsep utuh
negara Islam itu? Ini adalah soal yang sangat rumit. Tidak ada konsep
tunggal tentang negara Islam. Orang pada umumnya sepakat bahwa periode
kekhalifahan hingga zaman Ali bin Abi Thalib adalah kekhalifahan Islam.
Lalu soal periode setelah itu ada yang hanya kerajaan saja, ada pula
yang menganggapnya sebagai hal yang sama dengan periode khulafaurrasyidin.
Intinya,
pandangan umat Islam soal negara sangat beragam. Keberagaman itu
menjadi lebih rumit klasifikasinya ketika kita membahas soal-soal
spesifik, misalnya, bolehkah seorang yang bukan muslim menjadi pemimpin.
Orang-orang yang menyatakan bahwa negara dalam format sekarang dapat
diterima sebagai negara Islam tidak sedikit yang menganggap bahwa
pemimpin harus seorang muslim. Hanya sebagian yang bisa menerima non
muslim sebagai pemimpin.
Ini adalah kenyataan politik yang tidak
bisa dibantah. Konsekuensinya, politik negara ini tidak akan pernah bisa
lepas dari isu agama. Ini bukan sekadar karena politikus memanfaatkan
isu agama itu, tapi karena bagi publik isu ini memang sangat penting.
Halal haram adalah puncak prioritas bagi banyak muslim di Indonesia
dalam membuat keputusan. Ringkasnya, untuk makan saja orang memeriksa
status halal haram, apalagi untuk urusan negara.
Makin tambah
rumit lagi, tidak semua orang paham wacana. Persoalan hubungan agama dan
negara tidak selalu dibahas dalam wujud terstruktur dan intelek.
Sebenarnya mayoritas orang tidak paham tata negara pada hal-hal yang
mendasar. Mereka juga tidak paham soal agama secara mendasar. Hubungan
agama dan negara sering kali dipikirkan dan diekspresikan berdasar pada
persepsi, kepercayaan, dan emosi.
Artinya, negara ini harus
dikelola dengan mempertimbangkan begitu banyak hal rumit, yang
sebagiannya tidak bisa dijawab dengan pertimbangan-pertimbangan rasional
semata. Orang-orang yang mencoba memotret Indonesia dengan lensa logis rasional akan sering bingung melihat potret yang ia dapatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar