Senin, 30 April 2018

SOLID GOLD | Mengais Rejeki Dengan Tas Rumput Gambut

Ibu-ibu di Kelurahan Palam, Banjarbaru, membuat tas dari Purun rumput khas lahan gambut. Foto: Aryo Bhawono/detikcom
SOLID GOLD MAKASSAR - Ibu-ibu di Kampung Purun, Kelurahan Palam, Kecamatan Cempaka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan memiliki kebiasaan baru untuk mengisi waktu senggangnya di sela bertani. Mereka mengolah purun menjadi tas anyaman.

Purun merupakan tanaman khas lahan rawa gambut, biasa menjadi berbagai macam kerajinan berjenis purun tikus (Eleocharis dulcis). Tanaman ini berwarna abu-abu hingga hijau mengkilat, daun mengecil sampai ke bagian basal, pelepah tipis seperti membran. Ujung asimetris, berwarna cokelat kemerahan.

 
 Kebiasaan baru ini sudah berjalan dua tahun belakangan. Mereka memanfaatkan purun yang tumbuh di liar di daerah rawa dan tanah gambut setinggi semeter di belakang desa mereka. Ibu-ibu kampung purun memotong rumput ini dan mengolahnya.

Seorang warga, Salasiah (56 tahun) biasa menjemur purun di halamannya sembari ditabur abu. Saat matahari terik, dua hingga tiga hari, purun sudah kering. Namun saat hujan, butuh waktu sepekan hingga 10 hari tanaman ini untuk kering.
 
"Itulah kenapa kami mengharapkan jangan hujan. Karena kalau hujan lahan gambut tergenang dan purun susah untuk kering," jelasnya ketika ditemui detik.com dan sejumlah media bersama peserta Jambore Gambut di kampung Purun, Minggu (29/4/2018).

Setelah kering sempurna, Salasiah, mengikat purun tersebut dan menumbuknya dengan mesin hingga tiap batang dalam ikatan menjadi rata. Purun itu-pun siap untuk dianyam menjadi tas.


Pemanfaatan purun ini menjadi rejeki tambahan bagi warga kampung. Dulu, ketika belum mengenal mesin penumbuk, mereka menjual purun ke kampung lain. Satu ikat purun dihargai Rp 5.000 ribu, jika sudah kering dan ditumbuk harganya meningkat lima kali lipat menjadi Rp 25.000 perikat.

Kala itu masyarakat kampung masih menggunakan penumbuk tenaga manusia. Keahlian mereka menganyam purun-pun hanya sekedar untuk membuat tikar. Namun kini mereka sudah bisa membuat tas.

"Kalau tas dihargai Rp 15.000. Satu ikat bisa jadi sekitar enam tas, itu dibuat sehari saja," jelas warga lain, Nurisiah.

 
Ia menyebutkan ada dua kelompok penggarap purun di kampung ini, yakni Al Firdaus dan Galuh Cempaka yang masing-masing memiliki 24 anggota. Teknik penganyaman tas ini masih terus mereka pelajari agar bisa dijual di Kota Banjarmasin dan Kabupaten Banjarbaru. Kreasi produk mereka masih terbatas karena hanya mengenal tiga pewarnaan dasar, yakni biru, hijau mint, dan ungu. Mereka mengandalkan pesanan dari pemerintah untuk menjual purunnya.

Pewarnaan purun dilakukan dengan merendam ke air mendidih yang sudah ditambahi pewarna. Agar pewarna tak mudah pudar dan kualitas anyaman lebih tahan lama, setelah direndam purun-purun kembali dijemur atau diangin-anginkan beberapa jam.

 
Nurisiah cukup bersyukur dengan pendapatan ini. Selama ini keluarganya hanya mengandalkan rejeki sebagai buruh tani di sawah gambut yang ditanami padi tahunan. Sedangkan Aciel (tante) Salah, nama sapaan Salasiah, terus mengembangkan teknik dan mengajar menganyam ibu-ibu di kampung Pulun.

Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead, mengungkap pemanfaatan pulun semacam ini merupakan pengelolaan lahan gambut masyarakat secara kreatif. Ia merasa bangga dengan kreasi dan kearifan lokal warga karena mengolah lahan gambut tanpa pembakaran.

"Ini bukti bahwa ada jalan untuk mengolah gambut untuk kepentingan masyarakat. Mereka sendiri-lah yang berkreasi, ini menarik," jelasnya secara terpisah.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar