SOLID GOLD MAKASSAR - Desa Ciburuy yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat,
mungkin menjadi salah satu desa dengan tingkat albinisme tertinggi di
Indonesia. Tidak ada yang tahu mengapa hal itu terjadi.
Salah satu
warga Nana Suryana sadar bahwa leluhurnya ada yang mengalami kondisi
albino. Salah satu kakek buyutnya adalah "orang kulit putih". Mereka
telah tinggal di desa itu selama ratusan tahun.
"Kami sudah berada di sini selama 149 generasi. Keluarga saya terkenal memiliki gen putih," katanya kepada ABC.
Hal yang tidak disadarinya yaitu ketika dia menikahi Siti Rohma, sang istri ternyata juga seorang pembawa gen albinisme.
Ketika
anak mereka Dewi Rasmana dilahirkan - dengan rambut dan kulit putih
serta mata biru pucat - mereka awalnya menduga hal ini berasal dari gen
ayahnya.
Namun kenyataannya, seorang anak mengalami kondisi albino, hanya jika
kedua orangtuanya membawa gen tersebut. Peluang anak yang lahir dari
pasangan orangtua pembawa gen albinisme untuk mengalami kondisi albino
yaitu satu berbanding empat.
Anak kedua dalam keluarga Nana
Suryana dan Siti Rohma, yaitu Jajang Gunawan, juga albino. Namun anak
ketiga mereka yang meninggal saat lahir, tidak.
Yang unik di Desa Ciburuy yaitu bukan hanya satu atau dua keluarga yang membawa gen albino.
Di desa itu bisa dipastikan ada lebih banyak pembawa gen albino di kalangan penduduknya.
Adik
Nana Suryana, Amas Masadi yang memiliki pigmentasi normal, juga
memiliki dua anak albino, Rosanah dan Usman Lukman Nulhakim. Artinya,
baik istri Nana mapupun istri Amas sama-sama membawa gen tersebut.
Mitos tentang orang kulit putih
Karena desanya relatif terisolasi, kemungkinan penduduk di Ciburuy
lebih "utuh secara genetis" daripada desa lainnya yang banyak mengalami
migrasi dan asimilasi dengan populasi yang lebih luas.Dalam populasi yang sangat kecil berarti tingkat perkawinan sedarah lebih tinggi.
Nana
Suryana mengatakan ketika dia masih kecil, ayahnya menceritakan bahwa
ratusan tahun lalu seorang pria kulit putih datang ke Ciburuy dan
menyentuh perut seorang wanita hamil.
Ketika wanita itu
melahirkan, anaknya berambut pirang dan berkulit putih. Sejak itu,
setiap beberapa generasi, lahirlah anak-anak berkulit putih.
Kini orang albino di Ciburuy dikenal sebagai Walanda Sunda atau orang Sunda kulit putih.
Seperti orang albino di mana pun, Walanda Sunda di Ciburuy sangatlah
peka terhadap sinar matahari karena kurangnya melanin di kulit mereka.
Mereka mengalami risiko kanker kulit yang sangat tinggi.Mereka juga memiliki penglihatan yang buruk, mendekati kebutaan dalam beberapa kasus.
Stigma
sosial karena terlihat berbeda, terutama dalam masyarakat yang warna
kulitnya lebih gelap, juga menyebabkan banyaknya ejekan atau bullying.Keponakan
Nana Suryana, Rosanah (20 tahun) mengatakan dia harus berhenti sekolah
karena tak tahan diganggu teman-teman sekelasnya.
Dia juga tidak
bisa mendapatkan pekerjaan karena tidak tamat sekolah. Dia kebanyakan
bekerja di rumah. Dia tak tahu pasti apakah ingin menikah dan memiliki
anak, karena takut nanti mereka memiliki kondisi yang sama.
"Kadang-kadang sulit menjadi orang kulit putih. Saya sering diejek di sekolah. Saya suka kesal," katanya.
Bangga karena unik
Putri Nana Suryana yang berusia 14 tahun, Dewi
Rasmana, mengalami situasi yang lebih mudah. Dia kini masih bersekolah.
Dia mengaku jarang mengalami ejekan. Namun dia harus terus berlindung
dari terik matahari, dan penglihatannya memburuk seiring dengan
pertambahan usianya.
Tak jauh dari situ, Suryana (40 tahun)
bekerja sebagai buruh bangunan. Dia mengenakan baju lengan panjang,
kacamata hitam dan topi untuk menutupi kulitnya dari sinat matahari.
Suryana lahir dan dibesarkan di Ciburuy. Dia mengaku masih kerabat
jauh Nana Suryana. Baik istrinya maupun kedua putrinya tidak ada yang
albino.
Istri Suryana kini hamil lima bulan. Menurut dokter, bayi di kandungannya memiliki pigmentasi normal.
Suryana mengatakan dia unik dalam keluarganya dan sudah diterima oleh orang-orang di sekitarnya.
"Saya bangga dengan ayahku karena dia unik," kata Ai Rosmiati, putri Suryana yang berusia 14 tahun.
Sekitar
200 meter dari sana, tinggal seorang perempuan bernama Entar Mariyati.
Dia juga memiliki albinisme, namun tidak mengetahui ada orang lain di
keluarganya dengan kondisi ini. Anak-anaknya pun memiliki pigmentasi
normal.
Di rumah lainnya, Nur Hayati memiliki seorang anak berusia tiga tahun, Winda, yang albino serta dua anak lainnya yang tidak.
Nur Hayati mengatakan suaminya yang membawa gen albino. Dia tak menyadari bahwa dia juga pembawa gen tersebut.
Kondisi di negara lain
Menurut
Dr Shari Parker dari Albinism Fellowship of Australia, banyak orangtua
tidak tahu mereka membawa gen sama sekali sampai anak mereka lahir
albino.
Dr Parker dan saudara perempuannya sama-sama mengalami kondisi albino.
"Sebagian
besar keluarga kami di Australia tidak memiliki riwayat albinisme
sebelumnya, karena tersembunyi sampai dua orang yang kebetulan pembawa
gen bertemu dan kawin," katanya.
Di Australia, kira-kira satu dari 17.000 orang lahir albino. Artinya,
ada sekitar 1.400 warga Australia saat ini mengalami kondisi albino.
Tetapi jumlah pembawa gen ini 240 kali lebih tinggi. Yaitu satu dari 70 orang merupakan pembawa gen.
Insiden albinisme jauh lebih tinggi di beberapa bagian Afrika, di mana satu dari 3.000-5.000 orang memiliki kondisi tersebut.
Di
wilayah Pasifik Selatan, kasusnya lebih tinggi lagi. Yaitu satu di
antara 500 orang. Dan di Ciburuy, angka itu tampaknya lebih tinggi,
meskipun penduduk desa mengatakan tidak tahu adanya penelitian tentang
hal ini.
Saat ini ada 10 orang di desa itu mengalami kondisi
albino - yang lainnya telah pindah - di antara populasi beberapa ratus
orang.
Penelitian
Jumlah orang yang membawa gen albinisme di Ciburuy jelas jauh lebih tinggi daripada di Australia.
Dr
Parker mengatakan kehidupan orang albino di Asia dan Afrika jauh lebih
sulit daripada Australia, karena matahari dan risiko tinggi kanker
kulit, serta stigma sosial yang ada.
Pendidikan dan kemiskinan yang buruk di desa seperti Ciburuy juga membatasi pendidikan bagi anak albino.
"Memiliki
penglihatan yang kurang baik akan menyulitkan Anda melihat papan tulis.
Anda tidak memiliki alat bantu penglihatan yang dimiliki anak-anak di
Australia. Jadi mereka tampaknya tidak mendapatkan pendidikan dasar,"
katanya.
"Sebagai orang yang tidak berpendidikan, di mana Anda
akan bekerja? Anda akan bekerja di lapangan sehingga akan berisiko
mengalami kanker kulit dan kulit terbakar dan kemungkinan meninggal di
usia muda," paparnya.
Biaya salap pelindung sinar matahari di desa seperti Ciburuy sangat mahal.
Namun
Dr Parker mengatakan penganiayaan terhadap orang albino paling parah di
Afrika. Mereka dianggap bukan manusia, bahkan dianggap hantu.
Takhayul di Tanzania misalnya menyebabkan banyak orang albino dibunuh agar bagian tubuh mereka bisa digunakan untuk sihir.
Harapan
hidup rata-rata untuk orang albino di Tanzania yaitu sekitar 30 tahun,
karena risiko kanker kulit dan serangan dari orang lain.
Dr Parker
mengatakan banyak yang harus dipelajari tentang albinisme, dan mengapa
insidennya sangat berbeda antara Australia dan negara-negara di Afrika
atau Pasifik Selatan.
Albinism Fellowship of Australia kini
berencana melakukan penelitian menggunakan media sosial untuk
mengidentifikasi jumlah pasti orang albino di Australia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar