SOLID GOLD BERJANGKA MAKASSAR – Raden
Ajeng Kartini mengaku sebagai anak Budha setelah minum abu hio dari
Kelenteng Hian Thian Siang Tee, Welahan, Jepara, Jawa Tengah. Air abu
hio itu menyembuhkan Kartini dari sakit demam.
Pengakuan sebagai anak Budha ini dimuat
dalam kumpulan Surat Kartini tertanggal 27 Oktober 1902 kepada Rosa
Abendanon-Mandri. Kartini menuliskan kalimat dalam surat itu dengan
tulus. Ia adalah seorang Budha dan pantang makan daging.
“Saja ada satoe botjah Budha, maka itoe
ada mendjadi satoe alesan mengapa saja kini tiada memakan barang
berdjiwa,” tulis Kartini.
Ia-pun bercerita mengenai awal
kepercayaannya ini. Semasa kecil Kartini menderita demam, seorang
Tionghoa hukuman menawarkan bantuan pengobatan. Pengobatan dokter yang
didatangkan ayahnya, Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat,
tak manjur.
Orang Tionghoa itu-pun menawarkan obat
berupa air yang diberi abu hio dari Kelenteng Hian Thian Siang Tee, atau
dikenal dengan Kelenteng Welahan. Hasilnya mujarab, obat tabib itu
justru menyembuhkan Kartini yang masih belia. “Lantaran minoem obat itoe
saja djadi anaknja orang soetjie itoe, Santikkong Welahan,” terang
Kartini.
Kartini-pun mengunjungi Kelenteng itu
setahun kemudian untuk bertemu dengan orang suci penyembuhnya yang
sering diziarahi orang-orang di kelenteng itu. Orang Soetji itu
digambarkan dalam patung emas kecil yang selalu dipenuhi oleh asap hio.
Setiap kali ada yang sakit, ia selalu dibawa berkeliling untuk mengusir
roh jahat.
Benny G. Setiono menuliskan dalam buku
Tionghoa Dalam Pusaran Politik, orang Soetji yang dimaksud adalah Hian
Thiang Siang Tee atau Siang Teekong dan lebih sering disebut sebagai
Kongco Welahan. Sosok ini disebut Budha tetapi bukan Budha Gautama, dan
menjadi tokoh di daerah Welahan.
“Tetapi pada umumnya segala toapekong
itu berasal dari Tionghoa yang pada masa hidupnya menganut agama Budha
atau juga agama Tao,” jelasnya.
Sejarawan JJ Rizal menyebutkan surat
Kartini ini menunjukkan keterbukaan pemikirannya mengenai agama-agama
yang ada di sekitarnya. Kartini tidak membatasi dirinya sebagai seorang
keluarga Islam ningrat tetapi menerima kepercayaan yang ada di
sekitarnya.
“Ia seorang muslim, terkesan dengan
Budha, dan bergaul dengan orang Kristen, makanya pemikirannya terbiasa
dengan perbedaan dan terbuka,” ujarnya.
Lebih lanjut dalam surat tertanggal 27
Oktober 1902 itu Kartini menjelaskan sikap vegetarian ini dimulai
bermula saat ia berumur 14-15 tahun. Namun Kartini tak memiliki
keberanian mengumumkan sikap ini hingga beberapa lama sebelum menulis
surat ia memberitahu ibunya dan ditanggapi dengan gembira.
Seorang anggota komunitas vegetarian
menyebutkan sikap vegetarian semacam itulah yang juga membentuk
kepribadian Kartini dengan kasih. Tak ada jejak siksaan kepada hewan di
piring makannya. Kartini-pun kian peka terhadap lingkungan sekitarnya.
“Vegetarian itu doa tanpa kata kepada Yang Maha Tinggi,” ucapnya
membacakan isi penggalan surat Kartini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar