Selasa, 01 Mei 2018

SOLID BERJANGKA | Hari Pendidikan dan Bibit Rasisme di Masa Depan

Hari Pendidikan dan Bibit Rasisme di Masa Depan
SOLID BERJANGKA MAKASSAR - Cuma beberapa jengkal sebelum peringatan Hari Pendidikan Nasional, muncul dua peristiwa yang melukai dunia pendidikan kita --pendidikan dalam makna luasnya.

Peristiwa pertama. Sebuah video viral menunjukkan aksi heroik seorang lelaki yang menendang punggung seorang anak. Ceritanya, si anak itu sedang bermain ayunan di sebuah mal. Di saat ia tengah asyik swing-swing, tak dilihatnya seorang anak lain yang jauh lebih kecil nyelonong ke belakangnya.

Nah, namanya juga ayunan, tentu saja mengayun. Karena si anak kecil masuk ke jarak jangkauan ayunan, terhantam jatuhlah ia oleh punggung anak yang tengah bermain ayunan. Lalu seorang lelaki, ayah si anak kecil yang jatuh, berlari datang menolong anaknya. Sebelum ia gendong itu anak, ia sempatkan melancarkan tendangan Kungfu Panda ke anak yang tengah main ayunan. Waciaat!

Peristiwa kedua. Dalam ajang Car Free Day di kawasan Thamrin, Jakarta terjadi intimidasi nan gagah berani oleh sekelompok lelaki dewasa kepada seorang ibu dan anak lelakinya. Meski si ibu tampak tegar, si anak menangis ketakutan. Motif intimidasinya cuma karena para pelaku dan korban berbeda pilihan politik. Itu saja.

Entah, apa yang ada di kepala para pelaku. Si Pendekar Tendangan Maut maupun Laskar Perundung Ibu dan Anak, semuanya memamerkan sensitivitas yang sangat rendah kepada hati anak-anak. Tapi itu common sense saja. Setiap kepala yang waras saya kira akan menolak tindakan-tindakan gila semacam itu.

Karena logikanya cuma common sense, saya tidak akan membahasnya. Buat saya, lebih menarik sekaligus memilukan jika kita mencermati respons publik warganet atas kedua kasus tersebut.

Pada kasus pertama, di sela hujan umpatan tak berkesudahan, muncul juga komentar-komentar OOT yang mengerikan. Yang disasar para komentator itu bukan lagi kelakuan primitif si jago tendangan, melainkan etnisitasnya! Ia akhirnya dicela bukan karena perbuatan bodoh yang dilakukannya, melainkan karena sesuatu yang tidak bisa ia pilih: takdir yang sekadar ia terima saja waktu lahir ceprot ke dunia. "Dasar orang etnis Anu! Tak tahu malu! Cuma menumpang hidup di negeri orang saja belagu!"

Hasilnya, apa yang semula merupakan kritik mapan atas sebuah ketidakwarasan, ikut jatuh menjadi ketidakwarasan yang sama-sama memuakkan. Satu ketidakwarasan dilawan dengan ketidakwarasan yang lain. Ya kalau rumus Matematika, minus dikali minus hasilnya plus. Namun ini bukan soal dalam ujian Matematika. Ini persoalan riil dalam kehidupan sebagai bangsa manusia, di mana gila disambar gila hasilnya ya sama-sama tambah gila.

Pilihan politik memang bukan takdir, beda dengan etnis. Karena itulah saya tidak hendak menyandingkan perkara takdir etnisitas itu dengan kasus di Car Free Day. Meski demikian, kebodohan dari jenis yang mirip bermunculan juga ketika publik mengomentari kasus perundungan kepada ibu dan anaknya di CFD itu.

BACA JUGA : PT Solidberjangka Transaksi Sistem Online

Ringkasnya, peristiwa yang sampai membuat seorang anak kecil menangis ketakutan itu diseret semata sebagai agenda-agenda politik. Para pengusung agenda itu ya siapa lagi selain dua kubu yang terus bertengkar sampai level membosankan?

Agenda politik sih sebenarnya sah-sah saja, sebagaimana afiliasi politik yang dimiliki warga negara pun wajar-wajar saja. Namun untuk kasus ini, jika kita tidak berhati-hati, akibatnya bisa fatal. Fokus pembelaan kepada hak anak malah dilupakan, karena kita keasyikan dengan pertarungan kubu-kubuan. Massa jadi sulit pula berpikir jernih dalam iklim perkelahian sepanas demikian.

Orang-orang yang sekubu dengan korban, sebut saja kubu Tim Kaos Kerja, dengan gegabah menyematkan perilaku Laskar Perundung ke segenap orang yang sama warna kaosnya. Kita tahu, Laskar Perundung itu bagian dari Tim Kaos Ganti. Tanpa berpikir panjang, para pendukung Tim Kaos Kerja bersikap seolah-olah semua anggota Tim Kaos Ganti memiliki mental yang sama pengecutnya dengan Laskar Perundung. Padahal, Laskar Perundung hanyalah sebagian kecil saja dari keseluruhan Tim Kaos Ganti.

Ini tak bedanya dengan kasus ayunan di mal, bukan? Pendekar Tendangan Maut hanyalah seorang saja di antara jutaan warga etnis Anu di Indonesia. Ia tidak bisa dijadikan representasi kelakuan semua anggota etnis Anu, dan tidak semua anggota etnis Anu hobi menendang anak-anak. Simpel sekali logikanya.

Malang, massa buih mengalami problem mendasar dengan kualitas nalar. Akibatnya, penginderaan atas perilaku serta-merta dicantolkan kepada identifikasi yang tidak relevan dengan perilaku tersebut.

BACA JUGA : Solidberjangka Transaksi Online Snapshot

Ini lucu. Sebab dalam kasus video Pendekar Tendangan Maut, salah seorang warganet yang memviralkan video itu dengan penuh kemurkaan adalah juga seorang warga etnis Anu. Ia sama-sama menghujat orang yang seetnis dengannya. Artinya, ia sudah membuktikan dengan segera bahwa dirinya beda dengan Si Pendekar Tendangan Maut. Ia memunculkan kata kunci bahwa problem yang harus disimak adalah sebuah perbuatan, bukan sebuah etnisitas. Klir, kan? Klir belum?

Dalam kasus CFD pun demikian. Salah seorang yang "menyelamatkan" korban adalah lelaki muda dengan identitas politik yang sama dengan Laskar Perundung, yakni sama-sama anggota Tim Kaos Ganti. Ia membimbing sang ibu dan anaknya agar menjauh dari gerombolan biadab itu. Artinya, semestinya para pemirsa yang budiman bisa mencerna, bahwa ada anggota Tim Kaos Ganti yang tidak setuju dengan kelakuan Laskar Perundung.

Dengan nalar yang terang benderang seperti ini, seharusnya memang kita bisa menempatkan duduk perkaranya, lalu berusaha mengambil sikap sewaras-warasnya. Sayangnya, lagi-lagi karena setiap orang hanyut dalam ambisi untuk menjalankan agenda politik masing-masing, banyak sekali anggota Tim Kaos Ganti yang malah sibuk mencari pembenaran atas kejadian itu. Bahwa ibu dan anak itu sengaja memancing kerusuhan dengan masuk ke kandang lawan, lah. Bahwa itu semua konspirasi dan hasil setting-an untuk mendiskreditkan Tim Kaos Ganti, lah. Dan sebagainya. Kentara sekali sikap yang diambil adalah "right or wrong is my kubu."

Hasilnya kita sama-sama tahu: nalar yang keruh bertemu dengan nalar yang tidak kalah keruh. Ambyarrr.

***

Saya sama sekali tidak tahu, apa visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk sepuluh tahun ke depan. Yang jelas situasi sosiologis masyarakat Indonesia hari ini tak lagi sama dengan lima tahun silam. Kubu-kubuan yang bikin mual ini terus menciptakan peristiwa-peristiwa baru, terus disikapi dengan perspektif kacau balau sesuai kacamata masing-masing kubu, dan terus menyalakan naluri purba untuk menyematkan stigma-stigma tak menentu.

Seberapa jauh kesigapan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menyikapi situasi baru dan riil seperti ini? Adakah antisipasi serius agar anak-anak kita nantinya lebih waras ketimbang bapak-ibu mereka? Adakah persiapan sungguh-sungguh agar benih-benih masa depan itu lebih terdidik dan lebih berbudaya (ingat, ini kementerian yang mengatur 'pendidikan' dan 'kebudayaan' lho) ketimbang orangtua mereka?

Yang saya takutkan, iklim kegilaan ini akan terus berlanjut, terus berjalan, bahkan hingga jauh hari selepas 2024. Polarisasi akan diwariskan, dimantapkan, karena para orangtua memilih menjauhkan anak-anak mereka dari anak-anak di kubu seberang. Sekolah mereka disendirikan, lingkungan mereka dipisahkan, cara-cara berpikir yang penuh stigma juga diturunkan.

Walhasil, bakalan tumbuh subur tradisi stereotip baru, bibit-bibit rasisme baru, dengan objek-objek kelompok SARA yang juga baru.

Yang mengerikan, semua itu luput diantisipasi oleh para pemangku dunia pendidikan. Para guru yang juga manusia biasa itu malah terlibat langsung dalam aksi kubu-kubuan (wahai, sungguh yang seperti ini sudah terjadi!), sementara para pemegang kebijakan pendidikan di atas sana terlalu asyik dan berbangga-bangga dengan soal-soal ujian yang memusingkan.

Ah, entahlah. Mau bagaimana pun, saya tetap ingin mengucapkan Selamat Hari Pendidikan. Sembari itu saya ingin bertanya: masih mampukah kita mendidik anak-anak kita, jika untuk mendidik diri sendiri pun seringkali kita tak kuasa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar