Rabu, 31 Maret 2021

Solid Gold Berjangka | Dolar AS Dekati Rp 15.000

Solid Gold Berjangka Makassar - Kurs dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah menguat ke level Rp 14.500. pagi ini saja kurs Dolar AS berada di level Rp 14.499. Dari data RTI, hingga pukul 09.21 WIB pagi ini, kurs dolar AS tercatat bergerak di rentang Rp 14.465-14.508. Lalu apa penyebab kurs dollar mengalami penguatan hingga ke level Rp 14.500? Menurut Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mata uang negeri paman Sam menguat karena adanya rencana stimulus lanjutan yang mau disebar Presiden AS Joe Biden. Jumlahnya dua kali lipat dari stimulus untuk para pekerja yang sebelumnya disebar pemerintah AS. Hal itu dinilai akan kembali meningkatkan yield obligasi di AS. Ujungnya menguatkan nilai tukar mata uang Dolar AS ke seluruh mata uang, termasuk rupiah. "Penyebabnya adalah percepatan rencana stimulus utama yang memicu inflasi di AS dan meningkatkan yield obligasi di AS. Saat ini Presiden Joe Biden mau membayar rencana infrastruktur sebesar US$ 3-4 triliun," kata Ibrahim. "Nah stimulus kemarin saja US$ 1,9 triliun. Itu juga semua menguat kemarin, apalagi ini angka dua kali lipat," lanjutnya. Di sisi lain, dia menilai prospek ekonomi Eropa sedang lesu karena adanya negara yang melakukan lockdown karena virus Corona. Maka dari itu, investor hanya memiliki peluang investasi bagus di AS saja dan berujung pada penguatan nilai tukar dolar. Sementara itu, pengamat pasar modal Ariston Tjendra mengatakan meningkatnya yield obligasi di AS mampu mengundang investor untuk menyuntik dananya. Dengan yield yang naik, maka harga bond atau obligasi jadi rendah, dan diminati investor. Dengan begitu, banyak investor yang menyuntik dana investasinya ke mata obligasi Dolar AS , hingga berujung penguatan mata uang dolar. "Ini karena meningkatnya obligasi di Amerika. Kalau yield meninggi, ini kan mengundang investor masuk ke obligasi, kan harga bond terdiskon, dan AS masih dianggap aman untuk investasi. Makanya pelaku pasar masuk ke obligasi dolar dan dia akhirnya menguat," kata Ariston. Dia juga mengatakan saat ini ekonomi Indonesia belum bisa tumbuh dengan baik dibandingkan AS. Data ekonomi yang lesu membuat investasi ke mata uang rupiah masih belum diminati. "Di sisi lain dibandingkan dengan ekonomi Indonesia, di AS kan data ekonomi melihatkan pemulihan sementara di sini masih stagnan data ekonominya. Ini menunjukkan belum adanya pemulihan ekonomi," kata Ariston. Imbal Hasil Obligasi AS Meroket, Wall Street Tergelincir Indeks utama di Wall Street merosot pada perdagangan hari Selasa waktu setempat. Penyebabnya karena investor menarik dananya dari saham-saham terkait teknologi kelas berat dan berbondong-bondong masuk ke bank-bank yang undervalued dan saham industri. Melansir Reuters, Rabu (31/3/2021), indeks Dow Jones Industrial Average tercatat turun 86,61 poin, atau 0,26% menjadi 33.084,76, S&P 500 turun 12,35 poin, atau 0,31%, menjadi 3.958,74 dan Nasdaq Composite merosot 28,43 poin, atau 0,22%, menjadi 13.031,22. Aksi para investor itu dorong oleh kenaikan imbal hasil obligasi AS, untuk Treasury AS 10 tahun mencapai tertinggi dalam 14 bulan. Ssaham Apple Inc, Microsoft Corp, Amazon.com dan Broadcom Inc turun dalam kisaran 0,9%-2,7%. Indeks Nasdaq mengalami kerugian bulanan pertama sejak November. Hal itu disebabkan kenaikan imbal hasil obligasi baru-baru ini yang terutama merugikan saham-saham teknologi. Prediksi pemulihan ekonomi yang cepat yang didukung oleh peluncuran vaksin dan stimulus yang besar sebelumnya telah mendorong Indeks S&P 500 dan Dow Jones mencapai rekor baru pada minggu lalu. Sementara Indeks Nasdaq turun sekitar 7% dari posisi tertinggi sepanjang masa di Februari lalu. Meskipun pasar melemah, saham industri terkait ekonomi naik menuju rekor baru. Saham-saham perusahaan berkapitalisasi kecil yang ada dalam indeks Russell 2000 naik 1,4%. Sementara 8 dari 11 sektor S&P utama berada di zona merah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar