Senin, 04 Februari 2019

solid gold | Negara di Mata Umat Islam

Negara di Mata Umat Islam
solid gold makassar - Sebuah video beredar di media sosial berisi "omelan" seorang ustaz saat menjawab pertanyaan dari jamaah tentang keislaman presiden. Presiden yang dimaksud adalah yang sekarang menjabat, yaitu Presiden Joko Widodo. Joko Widodo jelas seorang muslim, kata ustaz tadi. Jadi tidak ada satu pun alasan yang bisa dibenarkan untuk mengatakan beliau bukan muslim alias kafir.

Selanjutnya, ustaz juga mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara Islam, pemerintahannya adalah pemerintahan Islam. Argumen dia adalah bahwa umat Islam dilindungi di negeri ini, kebutuhan mereka dalam menjalankan syariat dilayani oleh pemerintah. Mulai dari administrasi kependudukan yang menegaskan pencatatan status agama seorang muslim, masjid-masjid untuk keperluan salat, pengelolaan zakat oleh pemerintah, hingga yang paling besar, yaitu pelayanan haji. Bagi dia, ini adalah bukti bahwa pemerintahan ini adalah pemerintahan Islam.


Sebenarnya yang tersedia bagi umat Islam di negeri ini jauh lebih besar dari itu. Dalam konteks tata negara, Indonesia bisa dikatakan negara semi-Islam. Maksudnya adalah, meski tidak resmi menyatakan diri sebagai negara Islam dalam arti sepenuhnya berdasar pada Quran, ada banyak aspek di negara ini yang bisa diklaim sebagai bukti bahwa negara ini adalah negara Islam. Sistem hukum kita mengadopsi hukum-hukum Islam, sejauh hukum itu tidak menyangkut tata negara dan pidana.

Hukum perdata kita terbagi dua, yaitu hukum umum dan hukum Islam. Persoalan yang terkait dengan pernikahan, warisan, makanan, perbankan, pendidikan, diatur berdasar syariat Islam, dan menjadi UU. Artinya, syariah sebenarnya sudah sejak lama menjadi bagian dari hukum Indonesia. Kita juga punya sistem pengadilan agama Islam sebagai sub-bagian dari pengadilan negara. 

Kalau kita bandingkan dengan Malaysia yang secara resmi menyatakan diri sebagai negara Islam misalnya, tidak banyak perbedaan. Bahkan dalam beberapa hal kita mungkin lebih maju. 


Prinsip ini, bahwa negara ini sudah cukup untuk disebut negara Islam, menjadi dasar bagi NU dan Muhammadiyah serta sejumlah organisasi Islam untuk menganggap bahwa Republik Indonesia ini adalah bentuk final negara yang mereka dukung. Artinya, tidak diperlukan formalisasi pernyataan status sebagai negara Islam, atau memakai Quran sebagai dasar negara.

Tapi, itu pendapat sebagian saja dari umat Islam Indonesia, meski boleh dikata sebagian besar. Ada sebagian lain yang menganggap Indonesia ini tidak memenuhi syarat sebagai negara Islam. Ustaz yang tadi saya sebut pun sebenarnya masih mengatakan bahwa Indonesia ini tak sempurna sebagai sebuah negara Islam. Kenapa? Karena masih memakai sumber hukum lain selain hukum Islam.

Bagi orang-orang dari kelompok kedua, ini adalah soal serius. Mereka mengacu pada ayat Quran yang mengatakan bahwa orang-orang yang berhukum pada hukum Allah adalah orang kafir. Atau, kalaupun sedikit diturunkan tingkat keseriusannya, derajatnya adalah fasiq. Baik kafir maupun fasiq adalah derajat buruk yang sangat serius dalam ajaran Islam.


Pandangan seperti inilah yang dianut oleh orang-orang seperti Abu Bakar Baasyir, serta orang-orang yang bergiat untuk mendirikan khilafah seperti kelompok Hizbut Tahrir. Kelompok ini pun sebenarnya tidak tunggal pandangannya. Ada yang merasa cukup bila negara secara resmi menyatakan bahwa Quran adalah dasar negara dan hukum Islam adalah hukum tertinggi, seperti yang terjadi di Arab Saudi dan Malaysia. Tidak sedikit pula yang menolak formalitas seperti itu, dan menuntut adanya negara Islam secara utuh.

Persoalannya, bagaimana konsep utuh negara Islam itu? Ini adalah soal yang sangat rumit. Tidak ada konsep tunggal tentang negara Islam. Orang pada umumnya sepakat bahwa periode kekhalifahan hingga zaman Ali bin Abi Thalib adalah kekhalifahan Islam. Lalu soal periode setelah itu ada yang hanya kerajaan saja, ada pula yang menganggapnya sebagai hal yang sama dengan periode khulafaurrasyidin.


Intinya, pandangan umat Islam soal negara sangat beragam. Keberagaman itu menjadi lebih rumit klasifikasinya ketika kita membahas soal-soal spesifik, misalnya, bolehkah seorang yang bukan muslim menjadi pemimpin. Orang-orang yang menyatakan bahwa negara dalam format sekarang dapat diterima sebagai negara Islam tidak sedikit yang menganggap bahwa pemimpin harus seorang muslim. Hanya sebagian yang bisa menerima non muslim sebagai pemimpin.

Ini adalah kenyataan politik yang tidak bisa dibantah. Konsekuensinya, politik negara ini tidak akan pernah bisa lepas dari isu agama. Ini bukan sekadar karena politikus memanfaatkan isu agama itu, tapi karena bagi publik isu ini memang sangat penting. Halal haram adalah puncak prioritas bagi banyak muslim di Indonesia dalam membuat keputusan. Ringkasnya, untuk makan saja orang memeriksa status halal haram, apalagi untuk urusan negara.


Makin tambah rumit lagi, tidak semua orang paham wacana. Persoalan hubungan agama dan negara tidak selalu dibahas dalam wujud terstruktur dan intelek. Sebenarnya mayoritas orang tidak paham tata negara pada hal-hal yang mendasar. Mereka juga tidak paham soal agama secara mendasar. Hubungan agama dan negara sering kali dipikirkan dan diekspresikan berdasar pada persepsi, kepercayaan, dan emosi.

Artinya, negara ini harus dikelola dengan mempertimbangkan begitu banyak hal rumit, yang sebagiannya tidak bisa dijawab dengan pertimbangan-pertimbangan rasional semata. Orang-orang yang mencoba memotret Indonesia dengan lensa logis rasional akan sering bingung melihat potret yang ia dapatkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar