Kamis, 23 Agustus 2018

PT SOLID BERJANGKA | Cadar, Senapan, dan Kata "Pantas" yang Terlupakan

Cadar, Senapan, dan Kata Pantas yang Terlupakan

Di suatu zaman yang labil, dengan pijakan kebenaran yang rapuh, sementara setiap detik kita terus dihajar oleh air bah informasi gado-gado tanpa jeda, pada titik manakah kita sekarang memaknai kata "pantas"?

"Mas, mbok jangan ngomong gitu. Rasanya tidak pantas." 

"Lho! Faktanya kan memang seperti yang kusampaikan ini, to? Coba deh sampeyan melihat masalah ini secara objektif!"



"Bukan begitu, Mas. Ini soal kepantasan. Ada situasi-situasi yang membuat kita tidak melulu harus berkutat pada benar dan salah, Mas. Meskipun yang kita lakukan benar, atau minimal tidak salah, tapi kadangkala tidak pas. Kurang pantas, gitulah."

"Sebentar, to. Ayo kita sama-sama lihat data dulu. Mana datamu? Kita adu saja data dan argumen, catatan dan kesaksian riil, jangan pakai hal-hal normatif yang abstrak! Publik berhak mengakses informasi yang benar!"


***

Auw auw auw. Begitulah, hehehe. Sekarang ini rasanya kita sangat tergila-gila dengan data. Kita dimabuk oleh fakta-fakta keras, catatan-catatan sejarah, deretan angka statistik, bukti-bukti tak terbantahkan, kebenaran positivistik, dan apa pun yang bau-baunya lebih dekat ke soal ilmiah ketimbang dimensi rasa-pangrasa, kalau istilah kejawennya.


Makanya, kesaksian dalam sebuah intrik politik, sebagai contoh, harus disebarkan sedetail-detailnya ke haribaan publik. Bahwa kesaksian itu akan membuat kita menjauh dari kemaslahatan bersama, rentan memicu fitnah lapis pertama hingga lapis ketujuh, tidak jadi masalah besar. Toh yang penting kita mengabdi kepada kebenaran objektif. Begitu, bukan?

Semua itu kian mengeras karena kita semakin terbiasa berinteraksi di internet, lalu tanpa sadar membentuk-ulang pola-pola interaksi kita menjadi mirip pola interaksi di internet, dunia yang konon maya padahal sangat nyata itu.



Dengan ilusi seolah-olah dunia cyber semu belaka, kita pun kehilangan kekang psikologis. Kita tertipu bayangan yang tak henti meyakinkan imajinasi kita bahwa kita sedang berbicara di dimensi sebelah sana. Padahal, sesungguhnya kita ini ya di sini-sini saja, yang kita ajak berbincang juga manusia-manusia biasa, dan dalam relasi antarmanusia ukuran pantas-tak-pantas itu sesungguhnya senantiasa ada.

Nah, ini ada cerita. Kemarin muncul satu peristiwa, yang sepertinya membuat kita lagi-lagi bergulat bersama isu kepantasan melawan isu kebenaran objektif. Kejadiannya di Probolinggo, Kota Bestari itu.


Alkisah, ada sebuah video yang viral di media sosial, menampilkan sepasukan anak yang tengah mengikuti pawai HUT ke-73 RI. Yang memicu kekagetan publik adalah kostum mereka. Mereka, anak-anak (yang semestinya) perempuan itu, tampak mengenakan baju panjang hitam, bercadar, dan masing-masing menenteng senapan mainan.


Sontak, kehebohan meletup. Dugaan-dugaan keras tentang ideologi ekstrem bermunculan. Saya pribadi pun larut pada awalnya, hingga kemudian datang informasi bahwa anak-anak itu berada di bawah asuhan sebuah taman kanak-kanak yang berlokasi di kompleks Kodim setempat.

Ya ya ya, bukan berarti saya pemuja tentara, tapi toh yang namanya Angkatan Darat saya kira masih tetap bonafid dalam perkara penjagaan ideologi bangsa (sungguh, saya sangat ingin membubuhkan tanda kurung lapis enam untuk kata "ideologi bangsa", namun rasanya kok kurang pantas juga hehehe.)

Pertanyaannya kemudian, lalu apa arti ini semua? Kenapa anak-anak itu didandani begitu rupa? Seberapa relevan kostum semacam itu dengan gelaran acara HUT Republik Indonesia?


Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus bergulir, jawabannya berbenturan satu sama lain, dan akhirnya mencapai titik panasnya. Ada yang berdiri di sudut ekstrem dengan prasangka persebaran ide-ide islamis radikal. Ada yang mempertanyakan keadilan sikap dan pikiran dengan mengatakan bahwa bentuk senjata apa pun tidak layak dijadikan mainan anak-anak. Tak ketinggalan, banyak juga yang membalas dengan tudingan stigma negatif atas perempuan bercadar, islamofobia, dan seterusnya.


Saya tetap merasa ada yang tidak pas di sini. Tidak pantas, begitu.

Tentu saja, ketidakpantasan itu bukan pada perkara cadar. Stigma negatif atas perempuan bercadar memang mewabah. Islamofobia itu ada, dan harus diakui itu ada. Namun, jelas itu bukan sikap saya. Saya punya beberapa kawan bercadar, dan mereka baik-baik saja. Salah seorang bibi saya sendiri bercadar, dan dia bukan tukang meledakkan bom. Saya punya sahabat-sahabat yang istri mereka bercadar, dan mereka sama sekali bukan propagandis kekerasan. Dan, jelas ada ribuan perempuan bercadar lainnya yang bukan teroris.

Pendek kata, membenci cadar dan mengatakan cadar simbol teroris adalah sikap tidak adil bagi para perempuan bercadar yang cinta perdamaian.

Nah, lalu apa?

"Apaaa?" Sayup-sayup terdengar suara Jokowi yang sambil membuka helmnya mengucapkan kata tersebut, seperti pada video pembukaan Asian Games yang bikin ribut.

***

Kemudian muncullah seorang profesor sains yang cerdas dan hebat. Dia menulis seperti ini:

"Karnaval Agustusan bawa replika senjata, itu heroisme. Tapi bila anaknya pakai cadar, jadi radikalisme. Situ sehat?"


Saya merenung dalam-dalam. Logis sekali unggahan Facebook dari Pak Profesor itu. Sangat masuk akal. Dari situ terbongkar bahwa ada sikap timpang dan tidak fair dalam cara berpikir banyak orang, termasuk saya.

Sialnya, yang tampak logis pada awalnya itu pelan-pelan luntur, karena tiba-tiba tebersit satu gambaran usil di otak saya.

"Begini, Mas Prof. Ada gambar palu dipasang-silang dengan gambar tang, itu logo toko besi Baja Cemerlang. Tapi, bila tangnya diganti gambar arit, jadi komunisme. Situ sehat?"




Lha lha lha. Benar, kan? Apakah artinya orang Indonesia yang kaget dan baper saat melihat simbol palu-arit itu tidak sehat?


Saya rasa, problem pada logika Pak Profesor itu ada pada pemaknaan atas simbol. Yang namanya simbol toh tidak bisa dicuil-cuil. Palu dan arit pada simbol komunisme itu sebuah rangkaian. Kita tidak perlu mempersoalkan gambar palu-saja, atau arit-saja, kecuali Anda mau menggelar sweeping di toko-toko besi dan di sawah-sawah.

Berbeda halnya jika palu dipadu dengan arit dalam satu tampilan, lalu muncul di kaos anak-anak muda caper di negeri ini, maka visualisasi itu akan memunculkan satu kesan: tidak pantas. Tidak elok. Mungkin maksudnya merombak stigma dan melancarkan kritik historis, tapi yang terjadi malah memperkeruh situasi di tengah masyarakat yang memang masih minim literasi.

Demikian juga pada cadar dan senapan. Cadar-saja tentu tidak masalah. Saya tidak akan ikut rewel jika ada pawai anak-anak memakai cadar. Meski demikian, kombinasi antara cadar dan senapan itu mau tak mau, suka tidak suka, menyeret kita kepada bayangan-bayangan tak bagus di negeri-negeri jauh sana.

"Ya beda dong. Kalau soal komunis, negeri kita memang menjalani pengalaman sejarah yang traumatis. Kalau cadar dan senapan kan tidak?"

Itulah. Kadang kita lengah, mempersempit makna "pengalaman" sebatas pengalaman-pengalaman fisik semata. Padahal, di masa kejayaan digital seperti sekarang ini, yang disebut pengalaman itu sudah bercampur baur antara fisik dan nonfisik. Kita melihat, kita mendengar, kita mengakses, kita terpapar dengan berita-berita, itu pun bentuk-bentuk nyata pengalaman.

Para perempuan bercadar-saja memang banyak yang baik-baik saja, dan saya yakin sebagian besar mereka baik-baik saja. Artinya, stigma teroris kepada perempuan bercadar-saja itu label jahat, rasis, dan tidak manusiawi. Tapi, perasaan takut kepada perempuan bercadar-dan-bersenapan, apakah itu bentuk ketidakwajaran di saat "pengalaman-pengalaman" kita atas visualisasi seperti itu nyaris semuanya terkait hal buruk?


Beberapa kali saya bilang kepada teman-teman bercadar, agar stigma negatif atas cadar itu terkikis, semestinya mereka menampakkan sikap-sikap baik di tengah masyarakat sambil membawa identitas mereka itu. Sama dengan ketika dulu kami masih tinggal di Australia dan menjadi minoritas muslim yang kadang menjadi korban prasangka, saya selalu meminta istri saya yang berjilbab untuk berbuat baik di area publik. Menolong ibu-ibu manula yang kerepotan dengan barang belanjaannya, misalnya.

Malangnya, saya tak menemukan ide bagaimana agar stigma atas perempuan bercadar-dan-bersenapan terkikis. "Ikutlah gotong royong di kampung sambil tetap memakai cadar dan memanggul senapan AK-47, Mbak." Kan tidak mungkin saya bilang begitu, karena perempuan bercadar-dan-bersenapan yang oke-oke saja memang tidak pernah hadir dalam pengalaman-pengalaman kita.

Walhasil, saya tetap merasa bahwa mendandani anak-anak dengan cadar dan senapan (bukan cadar saja atau senapan saja, melainkan cadar dan senapan) bukanlah tindakan yang pantas secara "kesepakatan awam". Kurang elok, kurang sadar situasi, kurang peka sosial, dan, ya, intinya kurang pantas.

Benar, belakangan terungkap situasi riil di Probolinggo waktu itu yang tidak membuktikan sama sekali bahwa ada ideologi-ideologi ekstrem dalam karnaval tersebut. Rilisnya sudah tersebar di mana-mana. Saya pun tidak menyalahkan guru-guru TK itu secara hukum, apalagi menyalahkan anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Namun, untuk menyatakan bahwa dandanan itu tidak pantas, masihkah sulit diterima?

Mungkin di zaman ini ungkapan "tidak pantas" kurang gampang diterima. Itu ukuran yang terlampau abstrak, tidak akuntabel, dan kurang bergengsi. Nasibnya jadi agak sama dengan kata "kejujuran" yang kurang keren, karena lebih keren jika kita melengkapinya menjadi "kejujuran ilmiah". Tak bedanya dengan kata "dosa" yang juga tak lagi mentereng, sebab yang mentereng adalah jika kita mengucapkannya sebagai "dosa politik".

Situ sehat? Saya akui, saya mungkin memang kurang sehat. Tapi, rasanya saya masih ingin bersikap yang pantas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar