Senin, 19 Maret 2018

SOLID GOLD | Sandiwara Poros Ketiga


SOLID GOLD

SOLID GOLD MAKASSAR – Tiga kali pertemuan digelar oleh Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno dengan partai yang belum mendukung pencalonan Joko Widodo sebagai presiden pada Pilpres 2019. Pertemuan yang digelar secara maraton pada pengujung Februari 2018 di Mal Pacific Place, Jakarta, itu membahas kemungkinan lahirnya poros baru selain koalisi yang sudah terbentuk saat ini, yakni koalisi pendukung Jokowi dan Prabowo Subianto.

“Pertemuan saya dengan Bang Hinca Panjaitan (Sekjen Partai Demokrat) dan Abdul Kadir Karding (Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa) untuk membahas politik terkini, terutama soal pilpres, karena adanya indikasi calon tunggal,” tutur Eddy

 
Semangat pertemuan tersebut, kata Eddy, melihat kenyataan bahwa jika PAN, Demokrat, dan PKB bersatu, ambang batas syarat dukungan partai untuk mengusung capres, yang besarnya 20 persen dari hasil Pemilu 2014, bisa terpenuhi. Sebab, Partai Demokrat meraih 12.728.913 suara atau 10,19 persen. PKB dengan perolehan 11.298.957 suara atau 9,04 dan PAN meraih 9.481.621 suara atau 7,57 persen.

Dengan komposisi tersebut, tentu saja poros tersebut bisa masuk gelanggang pilpres, bersaing dengan poros pendukung Jokowi dan poros yang dibangun Gerindra dengan PKS, yang kemungkinan besar bakal mengusung Prabowo kembali. Untuk urusan capres dan cawapres, menurut Eddy, harus berdasarkan kesepakatan para anggota poros dan bisa mendapatkan simpati hati di masyarakat.

Menurutnya, wacana pembentukan poros ketiga ini merupakan hasil rembukan tiga pihak, yakni PAN, PKB, dan Demokrat. “Tapi ini baru sebatas gagasan di tingkat sekjen, ya. Belum sampai dibahas antarketua umum partai,” tutur Eddy.


Sedangkan Abdul Kadir Karding, saat ditemui terpisah, mengakui soal pertemuan di antara tiga sekjen partai: Demokrat, PKB, dan PAN. Namun, menurut Karding, tiga pertemuan tersebut sebatas obrolan warung kopi. “Itu kan pertemuan informal ya, cuma ngopi-ngopi. Memang ada wacana tapi saya bilang kepada mereka, ya itu masih jauhlah. Saya katakan posisi PKB sampai hari ini masih wait and see,” kata Karding

Meski masih menunggu, PKB punya kecenderungan Merapat ke Jokowi, sekalipun pernyataan dukungan itu belum resmi terlontar. “Kami baru secara resmi menyampaikan sekitar bulan Juni. Soalnya, di PKB itu banyak stakeholder-nya, ada kiai, ada NU, dan ada kelompok komunitas. Ini semua harus kita konsolidasi penuh agar tidak berbeda persepsi. Jangan sampai nanti partai menyatakan dukungan, tapi praktiknya tidak memilih ke situ,” tutur Karding.

Dikatakan Karding, saat ini hubungan partainya dengan Jokowi juga masih baik-baik saja. Bahkan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) selaku Ketua Umum PKB sering bertemu dengan Jokowi dalam berbagai kesempatan. “Malah kalangan kiai NU banyak yang menginginkan Cak Imin berpasangan dengan Jokowi. Itu bukan isyarat, tapi fakta pernyataannya,” ujar Karding.


Belakangan, Cak Imin memang begitu gencar mempromosikan diri ingin maju sebagai cawapres. Sejumlah baliho maupun spanduk bertebaran di Jawa Timur hingga Jakarta. Pekan lalu, di hadapan pemimpin redaksi media massa, Cak Imin mendeklarasikan diri menjadi cawapres.
 
Dengan sikap PKB yang belum bisa pindah ke lain hati selain mendukung Jokowi, agaknya wacana poros ketiga itu bakal layu sebelum berkembang. Sebab, secara hitung-hitungan, dengan minus PKB, hanya akan tersisa Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional. Sedangkan gabungan suara yang didapat kedua partai tersebut tidak memenuhi syarat untuk mengusung calon dalam pilpres.

Sementara itu, beberapa politikus di DPR berbisik wacana poros ketiga hanyalah manuver Partai Demokrat untuk menarik perhatian Jokowi. “Buktinya, Pak Jokowi mau datang ke rapimnas Partai Demokrat. Dan Jokowi sampai bilang ‘saya adalah demokrat’ di Rapimnas itu, kan,” kata politikus yang enggan disebutkan namanya.

Politikus Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani menilai pembentukan poros ketiga itu juga sekadar manuver untuk menaikkan bargaining position parpol-parpol yang telah bertemu, baik ke Jokowi maupun ke Prabowo. PPP menyambut baik wacana tersebut, dan bersedia saja bila diajak berembuk. Namun, apabila agendanya untuk mencari capres alternatif, PPP tidak tertarik pada poros ketiga. Sebab, PPP telah mendukung Jokowi dan sekarang fokusnya adalah mencari pendamping Jokowi.

 
Namun Eddy buru-buru menyanggah pendapat itu. Rencana pembentukan poros ketiga ini sangat sungguh-sungguh dilakukan. “Bahwa ini hanya teatrikal belaka saya rasa ini gerakan sungguh-sungguh. Andaikata ini terealisir saya pikir semua pihak sudah tahu bahwa ini pertarungan antara ketiga partai bisa berujung di dua putaran Pilpres dan tidak murah dan kekuatan nafas itu nanti,” katanya.

Sedangkan menurut mata Rico Marbun, pengamat politik dari Media Survei Nasional, jika poros ketiga yang sempat digadang-gadang tersebut diseriusi, bakal menjadi pilihan menarik bagi masyarakat. Sebab, dari hasil survei yang pernah dirilisnya beberapa waktu lalu, dua kandidat yang diprediksi bakal bertarung pada Pilpres 2019, yakni Jokowi dan Prabowo, sama-sama mengalami penurunan elektabilitas.
 
 
“Sebenarnya adanya poros ketiga sangat menarik. Dari segi elektabilitas, mereka mampu mendapatkan suara. Pertanyaannya, poros ini poros serius atau main-main?” tanya Marbun.


Pertanyaan lain, kata Marbun, apakah poros tersebut serius menghadapi Jokowi atau hanya menaikkan posisi tawar agar dilirik Jokowi. Meski begitu, ujar Marbun, isu poros baru ini muncul seiring dengan adanya kejenuhan pemilih terhadap calon yang ada (Jokowi-Prabowo) sehingga poros baru tersebut langsung menyedot perhatian publik.

Tiga partai yang berwacana membangun poros baru tersebut memang belum menentukan sikap. Namun ketiga partai tersebut secara tersirat menginginkan posisi cawapres untuk Jokowi. Menurut Marbun, serius-tidaknya poros ketiga itu muncul akan terlihat pada Juni-Juli mendatang, seusai pilkada serentak dan pendaftaran caleg.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar