Solid Gold Makassar – Dalam sebuah laporan, Amnesty
International menyebutkan bahwa perusahaan teknologi raksasa seperti
Facebook dan Google harus dipaksa meninggalkan apa yang mereka sebut
sebagai “model bisnis berbasis pengawasan” yang “dinilai melanggar hak
asasi manusia (HAM).”
“Terlepas adanya nilai positif dari layanan yang mereka sediakan,
Google dan Facebook hadir dengan biaya sistemik,” kata organisasi HAM
itu melalui laporan setebal 60 halaman yang diterbitkan pada Kamis
(21/11).
Amnesty mengatakan bahwa dengan mengumpulkan data pribadi untuk
menggenjot bisnis periklanan, kedua perusahaan tersebut melakukan
serangan terhadap hak privasi dengan skala yang belum pernah terjadi
sebelumnya.
Baca juga: Batasi Akses Internet, Benarkah Untuk Menangkal Hoaks?
“Gadaikan prinsip moral”
Amnesty juga mengatakan perusahaan itu memaksa penggunanya untuk
melakukan apa yang disebut dengan tawar-menawar Faustian. Para pengguna
diharuskan membagikan data dan informasi pribadi untuk mendapatkan akses
layanan ke Google dan Facebook. Tawar-menawar Faustian ini dikenal
sebagai sebuah upaya mendapatkan keuntungan dengan menggadaikan prinsip
moral.
Hal ini dinilai bermasalah karena kedua perusahaan telah membangun
“dominasi yang hampir total” terhadap saluran utama di mana orang bisa
terhubung dan berinteraksi dalam dunia online. Hal ini menjadikan
Facebook dan Google memiliki kekuatan atas kehidupan masyarakat seperti
yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Kontrol yang mereka punya atas kehidupan digital kita telah merusak
esensi privasi dari hidup kita dan itu merupakan salah satu tantangan
HAM yang paling menentukan di masa sekarang,” ujar Kumi Naidoo,
Sekretaris Jenderal Amnesty International.
Menurut Amnesty, Google dan Facebook juga menghadirkan ancaman
terhadap hak asasi manusia lainnya, termasuk kebebasan berekspresi dan
hak atas kesetaraan & nondiskriminasi.
Laporan itu juga meminta pemerintah agar menerapkan kebijakan yang
memungkinkan privasi masyarakat terlindungi, dan di saat yang sama juga
memastikan akses layanan online untuk masyarakat dapat terpenuhi.
“Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi masyarakat dari
pelanggaran HAM oleh perusahaan-perusahaan,” kata organisasi itu.
“Tetapi selama dua dekade terakhir, sebagian besar perusahaan teknologi dibiarkan membuat peraturan sendiri,” tambahnya.
Baca juga: Pakar: Twitter Menjual Data Pengguna untuk Meraup Keuntungan
Facebook menyerang balik
Sementara itu, pihak Facebook menyatakan penolakannya terhadap
kesimpulan laporan itu. Direktur Kebijakan Publik perusahaan, Steve
Satterfield, menolak dikatakan bahwa Facebook menggunakan model bisnis
“berbasis pengawasan.” Ia menekankan bahwa pengguna mendaftar secara
sukarela untuk layanan mereka.
Merespon Amnesty International, Facebook melalui 5 halaman surat
pernyataannya mengatakan bahwa “pilihan seseorang untuk menggunakan
layanan Facebook, dan cara mengumpulkan, menerima, atau menggunakan
data, semuanya secara jelas diungkapkan dan diakui oleh pengguna. Hal
itu tidak dapat disamakan dengan pengawasan pemerintah yang dilakukan
tanpa persetujuan (yang kerap melanggar hukum),” seperti dijelaskan
dalam hukum HAM Internasional.
Google juga turut membantah temuan Amnesty, tetapi tidak memberikan tanggapan resmi atas laporan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar