SOLID GOLD MAKASSAR - Seorang seniman asal Yogyakarta, Vincensius Christiawan (40) menjadi satu-satunya orang Indonesia yang mengikuti Simulasi Mars Desert Research Station (MDRS) di Utah, Amerika Serikat pada tahun 2018. Dari pengalamannya itu, pria yang kerap disapa Venzha Christ ini menilai manusia tidak bisa berkoloni di Planet Mars.
Venzha menjelaskan keikutsertaannya dalam kegiatan yang diinisiasi oleh Mars Society berawal saat NASA ingin membuat proyek besar berupa pameran bertema antariksa di Asia Tenggara pada tahun 2016. Karena memerlukan peserta dari Asia Tenggara, di tahun yang sama, perwakilan NASA dan Mars Society Jepang mendatangi acara ARTjog guna mencari sesuatu yang compatible dengan tema pameran mereka.
"Tahun 2016 mereka (Mars Society dan oran NASA) datang ke ARTjog (2016), mereka lihat karya saya dan merasa cocok. Tapi karena dipakai di ARTjog akhirnya kita bikin lagi satu karya lagi yang lebih besar, itu untuk awalnya," ujar Venzha saat ditemui di v.u.f.o.c, sebuah lab yang fokus ke art dan space science di Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, Senin (14/10/2019) sore.
"Karyaku yang menarik perhatian mereka saat itu adalah menara Indonesia Space Science Society (ISSS)," imbuhnya.
Menurut pria lulusan Intitut Seni Indonesia (ISI) Yoyakarta ini, setelah dari ARTjog ia mengajak mereka ke seminar Search for Extra Terrestrial Intelligence (SETI) di Kota Yogyakarta. Saat itu ia bertemu dengan Direktur Mars Society Jepang, Yusuke Murakami yang kebetulan ikut datang ke Yogyakarta, dari situlah Venzha mulai mengobrol dengan Yusuke mengenai art dan space science, khususnya mengenai MDRS."Habis ngobrol-ngobrol tentang pengalaman seni dan space science saya ditawari (MDRS), dan saya mau banget. Saat itu saya tanya syaratnya apa? dan dia bilang 'harus sehat, tidak merokok, bisa gak kamu?' saya bilang bisa, gampang itu," katanya,
Guna membuktikan janjinya kepada Yusuke, Venzha berinisiatif untuk menjual mobil dan motornya lalu membeli sepeda kayuh. Bukan tanpa alasan, hal itu agar ia bisa rutin olahraga dan menjaga kebuaran tubuhnya.
"Akhirnya mobil dan motor saya jual dan beli sepeda agar saya mau
olahraga, jadi kalau kemana-mana itu saya naik sepeda. Terus 6 bulan
sebelum berangkat itu saya berhenti merokok dan minum (minuman keras).
Selain itu beberapa kali saya sempat bolak-balik ke Jepang untuk
wawancara dan akhirnya saya diterima lalu mendapat slot keberangkatan
tahun 2018," ucapnya.
"Jadi butuh waktu 2 tahun untuk mempersiapkan tubuhnya, karena saat itu saya masih nakal," sambung Venzha disusul gelak tawa.
Akhirnya, awal bulan Maret 2018 Venzha berangkat dan tiba di lokasi MDRS, Utah, Amerika Serikat. Sesampainya di lokasi MDRS, Venzha terlebih dahulu mengikuti pengenalan kru yang total berjumlah 7 orang termasuk dirinya. Selain itu terdapat 2 robot anjing dalam kru tersebut, Venzha juga menjelaskan bahwa 6 orang tersebut berasal dari Jepang dan hanya ia yang berasal dari Indonesia.
Selanjutnya, Venzha bersama 6 orang lainnya mulai menjalani simulasi MDRS. Di mana setiap hari ia harus bangun jam 6 pagi dilanjutkan sarapan dan briefing jam 7 pagi. Sedangkan untuk aktivitas dimulai jam 8 pagi hingga jam makan siang dan dilanjutkan hingga jam makan malam lalu briefing lagi lalu istirahat jam 10 malam.
Semua kegiatan itu ia lakukan dari awal bulan Maret hingga akhir bulan April tahun 2018.
"Simulasi 2 bulan di Utahnya, sebulan di area dome yang ada di tengah gurun Utah dan 1 bulan di desa untuk berkomunikasi. Dan selama simulasi itu ada 6 aturan yang tidak boleh dilangar, yaitu no alkohol, no fighting, no connection, no sex, no gosip dan no smoking," ucap Venzha.
"Jadi butuh waktu 2 tahun untuk mempersiapkan tubuhnya, karena saat itu saya masih nakal," sambung Venzha disusul gelak tawa.
Akhirnya, awal bulan Maret 2018 Venzha berangkat dan tiba di lokasi MDRS, Utah, Amerika Serikat. Sesampainya di lokasi MDRS, Venzha terlebih dahulu mengikuti pengenalan kru yang total berjumlah 7 orang termasuk dirinya. Selain itu terdapat 2 robot anjing dalam kru tersebut, Venzha juga menjelaskan bahwa 6 orang tersebut berasal dari Jepang dan hanya ia yang berasal dari Indonesia.
Selanjutnya, Venzha bersama 6 orang lainnya mulai menjalani simulasi MDRS. Di mana setiap hari ia harus bangun jam 6 pagi dilanjutkan sarapan dan briefing jam 7 pagi. Sedangkan untuk aktivitas dimulai jam 8 pagi hingga jam makan siang dan dilanjutkan hingga jam makan malam lalu briefing lagi lalu istirahat jam 10 malam.
Semua kegiatan itu ia lakukan dari awal bulan Maret hingga akhir bulan April tahun 2018.
"Simulasi 2 bulan di Utahnya, sebulan di area dome yang ada di tengah gurun Utah dan 1 bulan di desa untuk berkomunikasi. Dan selama simulasi itu ada 6 aturan yang tidak boleh dilangar, yaitu no alkohol, no fighting, no connection, no sex, no gosip dan no smoking," ucap Venzha.
Manusia Tidak Disarankan Berkoloni ke Planet Mars
Meski mengikuti simulasi MDRS, Venzha mengaku bahwa ia tidak akan berangkat ke Planet Mars. Menggingat tujuan dari simulasi tersebut adalah mengambil data yang digunakan untuk generasi selanjutnya untuk menuju ke Planet Mars.
"Tujuan simulasi itu untuk diambil datanya. Jadi sebenarnya yang akan ke Mars itu generasi setelah kita, kita mati semua baru nanti orang biasa bisa ke sana, untuk mempersiapkan itu semua data dari genetik manusia saat ini diambil samplenya dan dipelajari, dari tekanan arah, detak jantung dan stressnya terutama, data-data ini kemudian harus dikompres secara ilmiah untuk mendapatkan data yang digunakan dalam penelitian seelanjutnya," ujar Venzha.
Selain itu, Venzha menyebut Planet Mars belum layak digunakan untuk berkoloni. Hal itu belum ada data yang lengkap terkait kondisi di Planet Mars dan belum ada roket, pesawat menuju ke planet tersebut.
"Jadi ke Mars itu masih impian lho sekarang. Saya ini adalah mungkin salah satu orang yang menolak untuk mengirim manusia biasa ke Mars atau menjadikan Mars untuk koloni manusia, saya menolak. Karena memang mars itu sangat tidak cocok untuk organisme yang bernama manusia," katanya.
"Kalau buat labratorium di sana saya sangat mendukung, tapi kalau membuat koloni manusia di sana, waduh bunuh diri, ya bisa sih, tapi banyak life support yang harus disiapkan," ujarnya.
"Dan saya lebih setuju kirimkan orang yang terlatih ke sana tapi kembali lagi, tidak usah beranak pinak di sana, karena teknologi di sana harus kembalikan lagi ke bumi untuk mengetahui semua informasi planet antariksa dan kekayaan alam di sana," imbuhnya.
Meski mengikuti simulasi MDRS, Venzha mengaku bahwa ia tidak akan berangkat ke Planet Mars. Menggingat tujuan dari simulasi tersebut adalah mengambil data yang digunakan untuk generasi selanjutnya untuk menuju ke Planet Mars.
"Tujuan simulasi itu untuk diambil datanya. Jadi sebenarnya yang akan ke Mars itu generasi setelah kita, kita mati semua baru nanti orang biasa bisa ke sana, untuk mempersiapkan itu semua data dari genetik manusia saat ini diambil samplenya dan dipelajari, dari tekanan arah, detak jantung dan stressnya terutama, data-data ini kemudian harus dikompres secara ilmiah untuk mendapatkan data yang digunakan dalam penelitian seelanjutnya," ujar Venzha.
Selain itu, Venzha menyebut Planet Mars belum layak digunakan untuk berkoloni. Hal itu belum ada data yang lengkap terkait kondisi di Planet Mars dan belum ada roket, pesawat menuju ke planet tersebut.
"Jadi ke Mars itu masih impian lho sekarang. Saya ini adalah mungkin salah satu orang yang menolak untuk mengirim manusia biasa ke Mars atau menjadikan Mars untuk koloni manusia, saya menolak. Karena memang mars itu sangat tidak cocok untuk organisme yang bernama manusia," katanya.
"Kalau buat labratorium di sana saya sangat mendukung, tapi kalau membuat koloni manusia di sana, waduh bunuh diri, ya bisa sih, tapi banyak life support yang harus disiapkan," ujarnya.
"Dan saya lebih setuju kirimkan orang yang terlatih ke sana tapi kembali lagi, tidak usah beranak pinak di sana, karena teknologi di sana harus kembalikan lagi ke bumi untuk mengetahui semua informasi planet antariksa dan kekayaan alam di sana," imbuhnya.
Menurut Venzha, tempat yang compatible untuk hidup manusia aalah di
salah satu satelit planet Jupiter yakni bulan. Hal itu karena di Jupiter
sudah ditemukan 70 lebih bulan, dan lebih dari 50 bulan sudah memiliki
nama. Terlebih, dari beberapa bulan itu kondisinya ada yang kebih bagus
dari Mars.
"Tapi karena jaraknya terlampau jauh dan mungkin mereka cari yang dekat dulu seperti Mars. Meski beberapa tahun kedepan sangat tidak mungkin, tapi sekarang banyak negara-negara seperti Cina, India, Jepang, Rusia, Amerika dan Eropa namanya ESA membuat kok (teknologi dan transprtasi ke Mars)," ucapnya.
"Tapi karena jaraknya terlampau jauh dan mungkin mereka cari yang dekat dulu seperti Mars. Meski beberapa tahun kedepan sangat tidak mungkin, tapi sekarang banyak negara-negara seperti Cina, India, Jepang, Rusia, Amerika dan Eropa namanya ESA membuat kok (teknologi dan transprtasi ke Mars)," ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar