PT SOLID GOLD BERJANGKA Makassar - SD Negeri Karangtengah III Gunungkidul dan RSUD Tangerang
memberikan contoh buruk bagi nasib serta masa depan pluralisme di negeri
ini. Betapa tidak, keduanya menelurkan aturan-aturan yang salah kaprah
dan salah tempat.
SD Negeri Karangtengah III Gunungkidul
mengeluarkan surat edaran yang mewajibkan (belakangan direvisi menjadi
menganjurkan) setiap murid mengenakan seragam pakaian muslim. Sementara
itu, RSUD Tangerang memasang papan pengumuman soal aturan pendamping
pasien berdasarkan prinsip syariah. Dalam foto-foto yang beredar luas di
dunia maya, aturan itu meminta supaya pendamping dan pasien sebaiknya
tidak berlawanan jenis agar terhindar dari khalawat (berduaan selain dengan anggota keluarga inti) dan ikhtilath (pencampuran pria dan wanita).
Memang
kedua aturan itu sudah dicopot karena gelombang protes dari masyarakat,
tapi kita patut bertanya bagaimana bisa peraturan-peraturan seperti itu
dikeluarkan? Padahal keduanya merupakan instansi pemerintah. Artinya,
pembangunan SD Negeri Karangtengah III Gunungkidul dan RSUD Tangerang
berasal dari uang pajak. Tata kelolanya juga bersumber dari uang pajak.
Pajak sendiri merupakan kewajiban setiap warga negara tanpa memandang
latar belakang keagamaan dan unsur-unsur SARA lainnya. Dengan demikian,
kedua instansi ini adalah milik setiap individu.
Tentu
aneh apabila ada dikeluarkan aturan-aturan yang notabene merupakan
representasi satu agama sedangkan pada praktiknya kedua instansi itu
akan berhadapan dengan masyarakat yang berbeda-beda agama. Para calon
peserta didik yang beragama non-muslim akan merasakan ketidaknyamanan
dan beban serta tekanan psikis dalam mengecap pendidikan di SD Negeri
Karangtengah III Gunungkidul karena harus memakai seragam dengan atribut
agama yang bukan mereka anut. Begitu juga dengan para pasien non-muslim
di RSUD Tangerang, mereka akan rentan mengalami diskriminasi atau
setidak-tidaknya perasaan tidak nyaman saat berobat di sana.
Beruntung
karena dua polemik ini menyeruak ke permukaan dan menjadi viral di
masyarakat. Jika tidak, bisa jadi aturan-aturan itu akan tetap
diimplementasikan. Dan tidak menutup kemungkinan bagi instansi-instansi
lain untuk melakukan hal serupa. Apa pun alasannya—termasuk karena
daerah itu dihuni oleh mayoritas pemeluk agama tertentu, memberlakukan
aturan-aturan yang menjadi domain ajaran satu agama di dalam sebuah
instansi publik jelas sangat tidak masuk akal dan punya potensi
menghadirkan sekat-sekat eksklusivisme.
Anehnya,
terjadi inkonsistensi—untuk tidak menyebut tebang pilih—pada isu seperti
ini ketika di beberapa waktu yang lalu di wilayah berbeda terjadi
gelombang protes. Di Solo, ratusan orang mendesak pemerintah kota itu
untuk mengubah ornamen yang dianggap berbentuk salib pada proyek
pembangunan jalan di depan Balai Kota Solo. Juru bicara ormas dari Dewan
Syariah Kota Solo, Endro Sudarsono saat itu menegaskan agar menghindari
simbol keagamaan di ruang publik selain di tempat ibadah.
Jika
di Solo ada penolakan eksistensi simbol atau atribut agama tertentu di
ruang publik, seharusnya di tempat-tempat lain juga demikian bukan?
Fokus pada Kualitas
Ketimbang
mengurusi pakaian seragam murid, akan jauh lebih elok apabila SD Negeri
Karangtengah III Gunungkidul lebih memperhatikan hal-hal lain yang
lebih substansial. Sekolah bisa memberikan teladan yang kuat kepada
murid-muridnya. Misalnya tentang membiasakan sikap menghargai pemeluk
agama yang berbeda, sopan santun terhadap sesama, dan belajar dengan
giat dan bersungguh-sungguh. Atau pihak-pihak terkait di sekolah itu
bisa lebih memfokuskan energi, waktu, dan pikiran guna menyusun
program-program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas keilmuan dan
profesionalisme guru-gurunya.
Pun demikian dengan RSUD
Tangerang. Alih-alih mengatur soal pasien dan pendampingnya selama
menjalani pengobatan, akan jauh lebih bijak apabila rumah sakit
memperbaiki kualitas pelayanan. Seperti yang kita ketahui, cukup banyak
tren masyarakat yang memilih rumah sakit-rumah sakit di negara tetangga
seperti Malaysia dan Singapura untuk tujuan berobat.
Entah kebetulan atau tidak, standar pendidikan dan kesehatan di negara kita justru terbilang rendah. Data yang dikeluarkan Global Talent Competitiveness Index 2019
untuk kawasan ASEAN saja hanya menempatkan pendidikan Indonesia di
posisi ke-6 dengan skor 38,61. Kita kalah dari Singapura, Malaysia,
Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand, atau hanya sedikit lebih baik
dari Laos, Vietnam, dan Kamboja.
Sementara itu,
menurut data, setiap tahunnya Indonesia kehilangan devisa sekitar Rp 100
triliun karena kecenderungan masyarakat berobat ke luar negeri. Tak
hanya itu, rumah sakit terbaik di Indonesia berada di posisi nomor
3.858. Belum lagi, publikasi ilmiah rumah sakit di Indonesia yang kalah
jauh bila dibandingkan dengan rumah sakit-rumah sakit di lain di Asia.
Di Asia saja kita sangat tertinggal, apalagi di tingkat dunia.
Temuan Islamicity Foundation
Saya
jadi teringat saat membuka laman Islamicity Foundation (IF), yang
mempunyai misi untuk menstimulasi reformasi kedamaian di negara-negara
muslim dengan memberdayakan lembaga-lembaga yang efektif. Di beranda web
tersebut tertulis kalimat berikut: "I went to the West and saw Islam, but no Muslims; I got back to the East and saw Muslims, but no Islam. (Mohammad Abduh).
Ada yang menarik dari temuan IF pada 2018 lalu. Sepuluh negara teratas dari segi indeks Islamicity-nya
justru diisi oleh negara-negara Barat, yakni Selandia Baru, Belanda,
Swedia, Irlandia, Swiss, Denmark, Kanada, Australia, Luksemburg, dan
Finlandia. Negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam malah berada
cukup jauh di bawah. Yang terdekat adalah Malaysia di urutan 43 dan Uni
Emirat Arab di urutan 47. Sedangkan Indonesia, yang merupakan negara
dengan populasi umat Muslim terbesar di dunia, hanya berada di peringkat
74. Arab Saudi, yang menjadi negara tujuan haji, hanya duduk di posisi
ke-88.
Dalam menentukan indeks tersebut, IF
mengkonversi nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam Alquran ke dalam
indeks terukur pada kriteria-kriteria khusus seperti keadilan,
kemakmuran, pemerintahan yang bersih dan penghormatan pada manusia. Dan,
ketika kita mencoba melakukan komparasi dengan indeks kebahagiaan dunia
atau World Happiness Index (WHI) temuan lembaga khusus PBB yang bernama UN Sustainable Development Network
(SDSN), hasilnya tidak jauh beda. Negara-negara barat tadi tetap
konsisten berada di urutan teratas, sementara negara-negara mayoritas
Muslim berada di level menengah.
Saat ini, ada begitu
banyak persoalan-persoalan lain yang mesti kita tuntaskan. Negara-negara
maju sudah semakin berorientasi masa depan (future-oriented).
Mereka mulai menggali ilmu sedalam-dalamnya guna mencari alternatif
kehidupan yang lebih menjanjikan di planet lain. Mereka juga kian gencar
mengembangkan teknologi-teknolgi canggih seperti human bionics, brain implants, biotech foods, biomimetics,
dan lain-lain. Semua dilakukan demi peradaban kehidupan yang lebih baik
untuk kehidupan anak-anak dan cucu-cucu mereka di masa mendatang. Kita
pun harusnya seperti itu.
Intinya adalah mari kita
membangun bangsa ini sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa harus
terganggu oleh perbedaan. Bukankah dulu para pejuang kita berhasil
mengusir penjajah tanpa membeda-bedakan identitas primordial?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar