PT Solid Gold Berjangka Makassar – Pada festival
Coachella 2015, Jaden Smith, putra Will Smith, membikin heboh masyarakat
dan media dengan penampilannya yang unik. Saat festival tersebut, ia
mengenakan setelan tunik bunga dan mahkota mawar di kepalanya. Sontak,
penampilannya tersebut menuai banyak komentar. Publikasi menyembur di
media massa perihal keberanian Smith yang mengaburkan norma gender dalam
fesyen.
Demikian pula pada Maret 2015, department store London Selfridge
menciptakan tiga lantai bazar netral-gender di emporium Oxford
Street-nya. London Selfridge menampilkan manekin yang mengenakan pakaian
uniseks dari desainer Haider Ackermann, Ann Demeulemeester, dan Gareth
Pugh. Eksperimen tersebut tidak menyebabkan murmur, apalagi menjadi
dasar taktik pemasaran department store.
Gerakan untuk mendobrak inklusivitas mulai diangkat dalam urusan
fesyen beberapa dekade terakhir. Dari sebelumnya, kesetaraan gender
melulu dibicarakan dalam isu-isu mainstream, seperti politik, hukum,
sosial, dan ekonomi. Untuk memecahkan metaforikal tersebut dan
menciptakan kesetaraan masa kini, para penggiat fesyen sedang keroyokan
memproduksi pakaian uniseks. Melalui tren pakaian tersebut, tidak ada
pengkotak-kotakan fesyen yang mempertimbangkan jenis kelamin tertentu.
Apakah ini sebuah opsi pemutakhiran kesetaraan ataukah inovasi yang
kebablasan?
Four women’s soccer stars have a new goal: Building a gender-neutral
lifestyle business, demikian tajuk artikel yang dirilis
washingtonpost.com, bercerita tentang empat pemain sepakbola nasional
wanita AS meluncurkan sebuah tren bisnis lifestyle yang secara khusus
menyoroti persoalan netral-gender dan masalah-masalah seperti kesetaraan
dan inklusivitas.
Tren bisnis tersebut bernama Re-Inc, yang didirikan oleh Klingenberg,
Megan Rapinoe, Christen Press, dan Tobin Health. Selain Klingenberg,
tiga di antaranya adalah pemain sepakbola wanita Tim Nasional AS 2019.
Itu adalah keputusan yang disengaja, menurut Eddie Opara, mitra di
perusahaan grafis Pentagram, yang menciptakan identitas merek dan logo
untuk Re-inc.
Merek tersebut bukan tentang nama mereka, tetapi tentang filosofi
mereka sebagai pemain dan orang-orang yang merangkul desain inklusif dan
netral-gender. Itulah sebabnya fitur merek yang paling menonjol adalah
“e” terbalik, yang digunakan dalam jenis huruf khusus oleh desainernya.
Dengan meletakkan huruf terbalik tersebut, para desainer bertujuan untuk
menggambarkan bahwa produk Re-inc berfokus pada konvensi yang
menantang, seperti ide yang dipikirkan para pendirinya.
Konsep netral-gender dalam bisnis tersebut dimaksud agar konsumen
lebih cenderung menyadari fluiditas gender, sehingga kecil kemungkinan
untuk mengkategorikan produk sebagai hanya untuk pria atau wanita.
Mereka melakukan bisnis secara berbeda, mencari vendor perempuan dan
minoritas dalam mitra bisnis untuk mengembangkan prospek bisnis
tersebut. Klingenberg dan koleganya menyadari akan pentingnya urusan
gender dalam bisnis dan gaya hidup kekinian.
Etos itu tampak jelas dalam pakaian perusahaan, yang semuanya akan
sepenuhnya netral-gender. Sejauh ini, para atlet –Rapinoe, Christian
Press, Meghan Klingenberg, dan Tobin Health– telah meluncurkan
perusahaan yang menjual dua kaos netral-gender (masing-masing dijuluki
“re-tee”) yang dihiasi dengan kata-kata libert?, ?galit?, d?fendez.
Semua “e” terbalik. Ini adalah cara cerdas dan halus untuk
mengidentifikasi merek tanpa perlu logo mencolok.
Tren fesyen yang bertendensi mendobrak inklusivitas gender juga
terjadi pada era 1950-an pasca-Perang Dunia II. Mary Quant
memperkenalkan setelan skinny jeans dengan rok mini dan jas sebagai
pakaian modis perempuan. Saat itu, jeans dan jas didominasi oleh pria,
dan hampir seluruh dunia mode mengikuti tren pakaian pria.
Mary Quant kemudian mendesain khusus setelan wanita yang mampu
bersaing dengan tren mode pria saat itu. Ia memproduksi setelan jas, rok
mini, skinny jeans, dan beberapa pakaian perempuan lainnya yang dipakai
jutaan manusia sampai sekarang.
Bazaar adalah tokoh butik pertama Quant yang dibuka di sudut Markam
Square dan Kings Road pada 1955. Tetapi pada dekade 60-an, merek
tersebut lepas landas dengan cara yang tampaknya tak terbendung. Saat
itu merupakan masa kejayaan semua seni dan mode.
Quant kemudian memproduksi secara massal mode pakaian yang lebih
mencerminkan kualitas hidup yang baik selama pascaperang; mode pakaian
yang menentang disrupsi kelas dan lebih menonjolkan kesetaraan gender.
Oleh karena karyanya itu, para wanita era 60-an dan berikutnya mulai
merasakan sensasi modis ala perempuan. Pakaian-pakaian Mary Quant
kemudian tersebar di hampir semua negara Eropa dan melonjak ke
negara-negara di seluruh dunia.
Koreksi Stereotip Gender
Kebiasaan androgini lintas gender berasal dari kelas istimewa Inggris
dan Prancis abad ke-17 tujuh belas dan ke-18. Namun, setelah Revolusi
Industri dan kebangkitan masyarakat kapitalis, aturan berpakaian yang
cukup terstruktur yang memisahkan laki-laki dan perempuan muncul
kembali. Revolusi besar berikutnya dalam mode –Youthquake dekade
1960-an– menghancurkan cita-cita gender itu.
Dalam bukunya, Sex and Unisex: Fashion, Feminism, and the Sexual
Revolution, profesor Universitas Maryland Jo Paoletti meninjau kembali
tren uniseks, pilar feminisme gelombang kedua yang pengaruhnya masih
bergema sampai sekarang. Seperti yang dikatakan Paoletti, pakaian
uniseks merupakan koreksi baby-boomer terhadap stereotip gender yang
kaku pada era 1950-an. Hal itu merupakan reaksi terhadap peran baru yang
membingungkan yang dikenakan pada pria dan wanita sama-sama
pasca-Perang Dunia II.
Istilah “gender” mulai digunakan untuk menggambarkan aspek sosial dan
budaya dari seks biologis pada dekade 1950-an. Pakaian uniseks era
1960-an dan 70-an bercita-cita “mengaburkan atau melintasi garis
gender”. Meskipun pakaian uniseks bertujuan untuk meminimalkan perbedaan
gender, biasanya itu memiliki efek sebaliknya. Seperti yang ditulis
Paoletti, “Bagian dari daya tarik mode uniseks dewasa adalah kontras
seksi antara pemakainya dan pakaian, yang sebenarnya menarik perhatian
pria atau wanita.”
Gernreich (Space, 1999) membayangkan 1999 sebagai utopia netral
gender dari jumpsuits, turtlenecks, dan tunik. Meskipun secara teknis
uniseks, kostum ketat ini membuat seks pemakainya sangat mencolok, dan
mereka mempertahankan penanda gender tradisional seperti bra, make-up,
dan perhiasan untuk wanita.
Gerakan uniseks mungkin membuat pakaian wanita lebih maskulin, tetapi
tidak pernah membuatnya tidak feminin. Lebih jauh, “Upaya untuk
memfeminisasi penampilan pria ternyata hanya berumur pendek,” kata
Paoletti. Sementara, minat populer dan ilmiah baru dalam biseksualitas
benar-benar membebaskan pria homoseksual, menawarkan kepada mereka
alternatif yang dapat diterima secara budaya.
Memulihkan Keharmonisan
Gender dan pemahaman tentang gender makin ke sini makin berkembang.
Gender bukan saja berkutat pada urusan assignment laki-laki untuk
mencerminkan tabiatnya sebagai laki-laki atau sebaliknya assignment
sebagai perempuan. Tapi lebih jauh, gender berkembang lebih ekstrem pada
usaha feminisasi atau maskulinisasi.
Dampak paling nyata terhadap pemutakhiran kesetaraan tersebut adalah
munculnya bias gender dalam urusan gaya hidup, khususnya fesyen.
Perkembangan mode uniseks bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi,
mode ini merupakan opsi untuk membongkar inklusivitas, hierarki kelas,
yang bertaut dalam isu-isu gender selama ini terhadap urusan fesyen.
Namun di sisi lain, kehadiran uniseks justru menimbulkan bias gender.
Sekat-sekat eksistensial antara perempuan dan laki-laki menjadi
samar-samar.
Setiap orang memahami kesetaraan dalam banyak hal. Politik, hukum,
agama, sosial, bahkan lifestyle. Tidak serta-merta gender mewajibkan
semua hal disetarakan antara wanita dan pria. Tapi substansi kesetaraan
yang sebetulnya adalah nilai kemanusiaan. Bagaimana kesetaraan
memulihkan keharmonisan hubungan sebagai manusia laki-laki dan manusia
perempuan.