PT SOLID GOLD BERJANGKA MAKASSAR - Sebentar lagi (11/9), kita akan memasuki
Tahun Baru 1440 H. Setiap memperingati pergantian kalender Hijriyah,
kita selalu diingatkan akan momen perjuangan Nabi Muhammad yang ditemani
Abu Bakar berpindah ke Yatsrib setelah 13 tahun (610-622 M) berdakwah
di Mekkah.
Dalam periode
Mekah, dakwah Nabi selalu dihalang-halangi oleh kafir Quraisy. Mengingat
pertambahan kaum Muslimin yang kurang signifikan dan bertubinya cobaan
yang dialami, Rasulullah menyepakati Baiat Aqabah dengan delegasi
penduduk Yatsrib, yang isinya antara lain janji untuk membela dan
melindunginya.
Atas perintah
Tuhan (Q.S. 3: 195), Nabi lalu meninggalkan Mekkah menuju Yatsrib yang
diikuti oleh para sahabatnya. Sesudah bermigrasi, Nabi mengubah nama
Yatsrib menjadi Madinah, yang berarti kota, tempat lahirnya peradaban
kemanusiaan. Momen ini merupakan momen ikonik sebagai penanda
kebangkitan peradaban Islam setelah berlalunya era jahiliyah.
Momentum hijrah mengingatkan tentang
ikhtiar perjuangan hidup dalam menggapai harapan dengan sepenuhnya
berserah diri pada Tuhan. Ia menawarkan narasi yang tak hanya dipahami
sebagai jejak sejarah. Namun, lebih dipahami sebagai hal yang menawarkan
kerangka pemahaman untuk dikonstruksi. Narasi yang menawarkan jawaban
tentang bagaimana sebaiknya memulai perubahan dalam hidup.
Hijrah
berarti pula memendarkan diri serta berefleksi seberapa jauh kaki ini
melangkah. Berefleksi berarti mensenyawakan visi hidup yang positif.
Melucuti jauh-jauh emosi negatif, kemudian mengaktifkan kembali karsa
dan misi hidup, berhijrah untuk lebih mengabdi kepada Tuhan, sembari
secara konsisten berkhidmat kepada sesama.
Momentum
hijrah diperingati tiap tahun agar denyut nadi hidup tidak terhenti
sebatas gempita dunia. Lebih dari itu, menghujam pada tujuannya yang
lebih substansial, yaitu mereformasi diri. Spiritnya mengajarkan tentang
perlunya menata ulang resonansi hidup untuk membuka lembaran-lembaran
baru. Reorientasi dan renegosiasi diri ini penting untuk meredam
mentalitas yang berorientasi pada ego dan menyembuhkan bilur-bilur dosa.
Prosesi hijrah bisa
berlangsung pada siapa saja dan kapan saja karena hijrah merupakan
metafora perubahan pada diri manusia sebagai mandataris Tuhan (khalifah)
agar lebih humanis. Sebab, di mana-mana agama mengajarkan pada manusia
untuk jeli membedakan mana yang barbar, mana yang berpihak pada
kemanusiaan, mana yang sekedar artifisia,l dan mana yang esensial dalam
hidup. Untuk itu, agama memuliakan akal budi yang waras dengan segala
imperatif moralnya demi kemaslahatan umat manusia.
Hijrah tidak melulu berarti mutasi secara
horizontal, berpindah dalam sekat dimensi ruang, namun bisa juga
diartikan sebagai mengubah diri secara vertikal, bergeser menjadi
pribadi yang lebih saleh. Tanpa terlalu terbebani masa lalu, untuk
meringankan langkah menuju aras kehidupan yang baru. Meratapi yang telah
lampau sungguh bukan sikap yang bijak. Kesalahan yang lalu dijadikan
pelajaran berharga sebagai bekal sekaligus jembatan emas untuk meraih
cita.
Steven Pinker dalam karyanya Enlightement Now
(2018) menyatakan bahwa aras kehidupan selalu menyisakan narasi masa
lampau dan menawarkan agenda masa depan. Anyaman serat masa silam memang
harus bersangkut paut dengan rajutan harapan masa depan agar fajar hari
esok tak terbenam dalam lumpur sejarah yang tiap episodenya nyaris
selalu tak terduga.
Melalui
analisis proses, setiap peristiwa yang terjadi bukan karena faktor
kebetulan, namun sarat makna dan hikmah yang siap diunduh. Mengarsir
setiap momen secara tepat, berarti menghadirkan kesadaran Ilahiah bahwa
dalam tiap coretan takdir tak akan lepas dari rengkuhan kasih sayang
Ilahi.
Puzzle-puzzle hidup bukanlah
lahan tandus yang kering akan humus-humus kebaikan. Hidup harus selalu
diisi dengan tebaran benih-benih kebaikan. Tanamlah tunas kebajikan
sekarang, jadilah inspirator kebaikan, pupuk dengan penuh ketulusan hati
agar menjadi warisan nilai yang bermanfaat bagi generasi yang akan
datang.
Yang perlu diingat,
berhijrah merupakan karpet merah menuju kesuksesan. Mengubah nasib
diperlukan mengubah cara pikir dan pola hidup. Memang, tak jarang dalam
perjalanannya, hidup dipenuhi pilihan-pilihan kesempatan. Namun,
lagi-lagi yang paling menentukan corak dan warnanya adalah pemaknaan
dari setiap pilihan tersebut.
Sayangnya,
nilai-nilai hijrah jarang dikonversikan secara tepat dalam realitas
sosial. Yang sering terjadi, pemaknaan terhadap hijrah hanya berhenti
pada "hasil penerjemahan" masing-masing individu. Namun, jangan salah
kaprah, berhijrah bukanlah diukur dari fenomena yang tampak secara dzahir.
Menjadi
latah bila berhijrah sifatnya musiman, berkecambah dalam kelabilan
rongga hidup. Diktum hijrah tidaklah menjerembabkan diri pada tataran
simbolik, diukur serupa aksesoris, apalagi hanya soal ketebalan jenggot
ataupun seberapa hitam dahinya, melainkan lebih dari itu, yaitu
membenahi akhlak.
Tak ayal, hijrah menuntut seseorang
dengan kesadaran eksistensialnya untuk mentransformasi dirinya menuju
tahapan yang lebih baik. Tak bisa dikatakan hijrah bila tak berdaya
progresif, transformatif dan visioner. Tinggal bagaimana
mengimplementasikannya sehingga pesan moral berhijrah tidak hanya
berhenti pada moralitas individu, tetapi benar-benar terpendarkan dan
terealisasikan secara riil dalam kehidupan sosial.
Momentum
hijrah ini pada irisan tertentu sangat relevan dengan kondisi bangsa
akhir-akhir ini. Di tengah hilir mudiknya dengusan hoaks, fitnah, virus
kebencian, dan bahaya laten radikalisme, menunjukkan bahwa kita
sepertinya bergerak menjauh (sentrifugal) dari inti ajaran agama, yaitu
welas asih (compassion). Betapa elok bila masing-masing kita
saling bersatu padu, mengumpulkan puing-puing retakan kebencian yang
berserakan agar menjadi satu kesatuan cinta yang utuh kembali.
Tanpa kesadaran dan keinginan bersama (collective conciousness),
nasib bangsa ini tak akan berubah, hanya terjebak pada pragmatisme
hidup, terhinggapi wabah hedonisme yang bermuara pada korupsi, kolusi
dan nepotisme. Cita-cita luhur bangsa ini harus dibentangkan jauh ke
depan.
Yang utama adalah
menatap ke depan selaras dan senapas dengan arah dan haluan bangsa.
Kesatuan cara pandang terhadap tujuan bernegara merupakan suatu
keniscayaan. Sungguh memilukan bila anak-cucu kita nantinya akan
mengenang betapa rakusnya generasi sebelumnya.
Bukalah hati dan pikiran, mari temukan jati diri bangsa yang penuh
kesederhanaan, kesantunan, toleran, welas asih, dan gotong royong.
Itulah jihad akbar yang sesungguhnya untuk berhijrah menuju bangsa yang
beradab dan bermartabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar