PT SOLID BERJANGKA MAKASSAR – Ada empat hal yang menjadi instrumen utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, konsumsi masyarakat. Instrumen ini masih terus mendominasi dan berkontribusi paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Kedua, pengeluaran atau belanja pemerintah. Keefektifan instrumen ini bergantung pada pengembalian (feedback) yang didapatkan pemerintah. Ketiga, ekspor dan impor. Kegiatan perdagangan internasional ini sangat bergantung pada harga-harga komoditas di pasar dunia, yang cenderung amat fluktuatif. Keempat, investasi. Instrumen yang terakhir disebut ini merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi yang kini sangat diharapkan inklusif dan berkelanjutan.
Keempat instrumen ini tentunya sangat berkorelasi, langsung maupun tidak langsung, dengan efek sama yang diharapkan, yaitu dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi di angka yang signifikan. Namun, yang menjadi persoalan, bagaimana efek yang diharapkan itu dapat dicapai ketika setiap instrumen mengalami hambatan maupun perlambatan? Mari, kita telisik satu per satu.
Konsumsi masyarakat (consumption), sebagai pemasok kontribusi paling besar pertumbuhan ekonomi saat ini tengah mengalami kelesuan. Daya beli masyarakat menurun. Bahkan para generasi millenal yang diharapkan menambah tingkat konsumsinya, justru lebih suka menabung uangnya. Fenomena kemandekan konsumsi ini terbilang cukup aneh, dan sama sekali tidak baik bagi pertumbuhan ekonomi. Tentunya, bila tingkat konsumsi menurun secara otomatis pertumbuhan ekonomi juga melesu.
Lalu, dari sisi pengeluaran pemerintah (government spending), dapat kita mengerti sangat bergantung pada prospek penerimaan pajak. Masih sama seperti tahun yang lalu-lalu, setelah jor-joran “menghabiskan” anggaran, pemerintah kembali hendak menarik uangnya melalui penerimaan pajak, yang sayangnya selalu tak pernah terpenuhi. Tak pelak, berbagai kebijakan dibuat untuk menyedot penerimaan pajak yang kini masih jauh dari target.
Pada tahun lalu, bahkan hingga awal tahun ini, pemerintah masih mendapat pemasukan dari program tax amnesty. Per September 2017 penerimaan pajak baru tercapai sebesar Rp 770,7 triliun atau 60 persen dari target yang dipatok dalam APBN-P 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun. Lantas dalam kurun waktu tidak sampai dua-tiga bulan terakhir tahun ini, akankah pemerintah berhasil menggenjot sisa penerimaan pajak yang kurang, sebesar Rp 513 triliun? Saya kira, it’s impossible.
Kemudian, coba kita baca kinerja ekspor dan impor (export–import performance) Indonesia. Perkembangan neraca perdagangan Indonesia (NPI) terlihat kian kinclong. Per September 2017 kinerja NPI mencatat surplus sebesar 1,76 miliar dolar AS. Ini dihasilkan dari surplus non-migas, namun ini dibarengi defisit di sektor migas. Publikasi teranyar BPS merinci nilai ekspor Indonesia pada September 2017 mencapai 14,54 miliar dolar AS. Sementara nilai impor tercatat sebesar 12,78 miliar dolar AS. Sayangnya, bila dibanding bulan sebelumnya justru nilai ekspor dan impor ini turun, masing-masing 4,51 persen dan 5,39 persen.
Pada akhirnya, kita berharap lewat investasi (investation) demi kadar menjaga pertumbuhan ekonomi. Sebenarnya, instrumen ini juga mengalami jalan yang tak mulus. Padahal Indonesia adalah surga bagi para investor. Namun, sampai sekarang, hal itu masih saja menjadi angan yang belum tercapai. Bahkan sekalipun lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) telah memberi label investment grade (BBB-/stable outlook) pada Indonesia pada bulan Mei lalu, perkembangan investasi masih terbilang standar.
Ada beberapa sudut yang dapat didiagnosis perihal ini, yaitu mulai dari biaya logistik, konektivitas, pembebasan lahan, regulasi, insentif serta disentif pemerintah. Ini harus segera dimantapkan (oleh BKPM, khususnya) bila ingin meraih target investasi sebesar Rp 678,8 triliun di tahun ini, dan sebesar Rp 863 triliun pada tahun 2018.
Apalagi perlu diingat, pada 2018 dan 2019, dua tahun terakhir pemerintahan Jokowi, adalah tahun yang bakal penuh keriuhan politik. Saya khawatir, dua tahun terakhir ini menjadi masa ketidakcerahan (bukan berarti suram) perekonomian Indonesia. Maka saya kira setidaknya kita tak usah terlalu optimistis menggenjot pertumbuhan ekonomi mencapai 5,4, apalagi sampai 5,6 persen.
Marilah kita berkaca pada data realisasi dan perspektif bakal berkurangnya minat investor untuk menanamkan modal di tahun-tahun politik ini. Sehingga dapat kita simpulkan: investasi bakal menyurut atau setidaknya stagnan. Maka, untuk menghindari hal itu terjadi, keyword-nya ialah menjaga stabilitas. Inilah jalan solutif satu-satunya. Sebab investor adalah orang-orang jeli yang paham soal risiko dan sama sekali tidak ingin tercebur ke dalamnya.
Sebagaimana kita tahu, Indonesia adalah kawasan ekonomi yang cukup besar dengan berbagai potensi. Akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan pada tingkat relatif tinggi. Ini lebih penting daripada indikator-indikator ekonomi makro lainnya. Demikian yang diungkapkan Euben Paracuelles, pakar ekonomi Nomura Holdings Inc. Singapura.
Mempertahankan keberlanjutan pertumbuhan sangat penting untuk menarik minat investor. Memang, untuk saat ini, pasca 20 tahun krisis keuangan Asia yang juga turut mengguncang Indonesia, cadangan devisa kini mencapai rekor tertinggi yakni 129 miliar dolar AS. Namun, ini sangat akrobatik dengan jumlah utang Indonesia yang terus meroket. Tercatat data Kementerian Keuangan utang pemerintah hingga Agustus 2017 sebesar Rp 3.825 triliun. Kenaikan ini terus mengkhawatirkan rasio utang mengejar batas 60 persen dari PDB, meski saat ini masih terkendali (well managable).
Bahkan ke depannya, tak terelakkan pemerintah harus kembali berutang, tak lain untuk menutupi lobang defisit yang kian menganga. Ini terjadi karena apa? Ya, tentu saja menderita dari ketidaktercapaian penerimaan pajak. OECD merilis rasio penerimaan pajak Indonesia hanya sebesar 12 persen pada 2015, dengan kecenderungan tren rasio terus menurun. Lagi-lagi pemerintah teramat ambisius, yakni ingin mendongkrak pendapatan pajak hingga mencapai rasio 16 persen pada 2019.
Akhirnya, demikianlah penelisikan keempat instrumen yang disertai berbagai faktor risiko dan hambatan di atas telah memberikan kita proyeksi atas prospek pertumbuhan ekonomi ke depan. Tak perlu muluk dengan target. Tak perlu teramat ambisius. Mari kita realistis. Bahkan bila perlu, lebih baik kita mundur selangkah daripada maju untuk terjun ke jurang. Sebab, mundur bukan sama-sekali tidak bergerak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar