SOLID GOLD MAKASSAR – Tiga
kali pertemuan digelar oleh Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional
Eddy Soeparno dengan partai yang belum mendukung pencalonan Joko Widodo
sebagai presiden pada Pilpres 2019. Pertemuan yang digelar secara
maraton pada pengujung Februari 2018 di Mal Pacific Place, Jakarta, itu
membahas kemungkinan lahirnya poros baru selain koalisi yang sudah
terbentuk saat ini, yakni koalisi pendukung Jokowi dan Prabowo Subianto.
“Pertemuan saya dengan Bang Hinca
Panjaitan (Sekjen Partai Demokrat) dan Abdul Kadir Karding (Sekjen
Partai Kebangkitan Bangsa) untuk membahas politik terkini, terutama soal
pilpres, karena adanya indikasi calon tunggal,” tutur Eddy
Semangat pertemuan tersebut, kata Eddy,
melihat kenyataan bahwa jika PAN, Demokrat, dan PKB bersatu, ambang
batas syarat dukungan partai untuk mengusung capres, yang besarnya 20
persen dari hasil Pemilu 2014, bisa terpenuhi. Sebab, Partai Demokrat
meraih 12.728.913 suara atau 10,19 persen. PKB dengan perolehan
11.298.957 suara atau 9,04 dan PAN meraih 9.481.621 suara atau 7,57
persen.
Dengan komposisi tersebut, tentu saja
poros tersebut bisa masuk gelanggang pilpres, bersaing dengan poros
pendukung Jokowi dan poros yang dibangun Gerindra dengan PKS, yang
kemungkinan besar bakal mengusung Prabowo kembali. Untuk urusan capres
dan cawapres, menurut Eddy, harus berdasarkan kesepakatan para anggota
poros dan bisa mendapatkan simpati hati di masyarakat.
Menurutnya, wacana pembentukan poros
ketiga ini merupakan hasil rembukan tiga pihak, yakni PAN, PKB, dan
Demokrat. “Tapi ini baru sebatas gagasan di tingkat sekjen, ya. Belum
sampai dibahas antarketua umum partai,” tutur Eddy.
Sedangkan Abdul Kadir Karding, saat
ditemui terpisah, mengakui soal pertemuan di antara tiga sekjen partai:
Demokrat, PKB, dan PAN. Namun, menurut Karding, tiga pertemuan tersebut
sebatas obrolan warung kopi. “Itu kan pertemuan informal ya, cuma ngopi-ngopi. Memang ada wacana tapi saya bilang kepada mereka, ya itu masih jauhlah. Saya katakan posisi PKB sampai hari ini masih wait and see,” kata Karding
Meski masih menunggu, PKB punya
kecenderungan Merapat ke Jokowi, sekalipun pernyataan dukungan itu belum
resmi terlontar. “Kami baru secara resmi menyampaikan sekitar bulan
Juni. Soalnya, di PKB itu banyak stakeholder-nya, ada kiai, ada NU, dan
ada kelompok komunitas. Ini semua harus kita konsolidasi penuh agar
tidak berbeda persepsi. Jangan sampai nanti partai menyatakan dukungan,
tapi praktiknya tidak memilih ke situ,” tutur Karding.
Dikatakan Karding, saat ini hubungan
partainya dengan Jokowi juga masih baik-baik saja. Bahkan Muhaimin
Iskandar (Cak Imin) selaku Ketua Umum PKB sering bertemu dengan Jokowi
dalam berbagai kesempatan. “Malah kalangan kiai NU banyak yang
menginginkan Cak Imin berpasangan dengan Jokowi. Itu bukan isyarat, tapi
fakta pernyataannya,” ujar Karding.
Belakangan, Cak Imin memang begitu
gencar mempromosikan diri ingin maju sebagai cawapres. Sejumlah baliho
maupun spanduk bertebaran di Jawa Timur hingga Jakarta. Pekan lalu, di
hadapan pemimpin redaksi media massa, Cak Imin mendeklarasikan diri
menjadi cawapres.
Dengan sikap PKB yang belum bisa pindah
ke lain hati selain mendukung Jokowi, agaknya wacana poros ketiga itu
bakal layu sebelum berkembang. Sebab, secara hitung-hitungan, dengan
minus PKB, hanya akan tersisa Partai Demokrat dan Partai Amanat
Nasional. Sedangkan gabungan suara yang didapat kedua partai tersebut
tidak memenuhi syarat untuk mengusung calon dalam pilpres.
Sementara itu, beberapa politikus di DPR berbisik
wacana poros ketiga hanyalah manuver Partai Demokrat untuk menarik
perhatian Jokowi. “Buktinya, Pak Jokowi mau datang ke rapimnas Partai
Demokrat. Dan Jokowi sampai bilang ‘saya adalah demokrat’ di Rapimnas
itu, kan,” kata politikus yang enggan disebutkan namanya.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan
Arsul Sani menilai pembentukan poros ketiga itu juga sekadar manuver
untuk menaikkan bargaining position parpol-parpol yang telah bertemu,
baik ke Jokowi maupun ke Prabowo. PPP menyambut baik wacana tersebut,
dan bersedia saja bila diajak berembuk. Namun, apabila agendanya untuk
mencari capres alternatif, PPP tidak tertarik pada poros ketiga. Sebab,
PPP telah mendukung Jokowi dan sekarang fokusnya adalah mencari
pendamping Jokowi.
Namun Eddy buru-buru menyanggah pendapat
itu. Rencana pembentukan poros ketiga ini sangat sungguh-sungguh
dilakukan. “Bahwa ini hanya teatrikal belaka saya rasa ini gerakan
sungguh-sungguh. Andaikata ini terealisir saya pikir semua pihak sudah
tahu bahwa ini pertarungan antara ketiga partai bisa berujung di dua
putaran Pilpres dan tidak murah dan kekuatan nafas itu nanti,” katanya.
Sedangkan menurut mata Rico Marbun,
pengamat politik dari Media Survei Nasional, jika poros ketiga yang
sempat digadang-gadang tersebut diseriusi, bakal menjadi pilihan menarik
bagi masyarakat. Sebab, dari hasil survei yang pernah dirilisnya
beberapa waktu lalu, dua kandidat yang diprediksi bakal bertarung pada
Pilpres 2019, yakni Jokowi dan Prabowo, sama-sama mengalami penurunan
elektabilitas.
“Sebenarnya adanya poros ketiga sangat
menarik. Dari segi elektabilitas, mereka mampu mendapatkan suara.
Pertanyaannya, poros ini poros serius atau main-main?” tanya Marbun.
Pertanyaan lain, kata Marbun, apakah
poros tersebut serius menghadapi Jokowi atau hanya menaikkan posisi
tawar agar dilirik Jokowi. Meski begitu, ujar Marbun, isu poros baru ini
muncul seiring dengan adanya kejenuhan pemilih terhadap calon yang ada
(Jokowi-Prabowo) sehingga poros baru tersebut langsung menyedot
perhatian publik.
Tiga partai yang berwacana membangun
poros baru tersebut memang belum menentukan sikap. Namun ketiga partai
tersebut secara tersirat menginginkan posisi cawapres untuk Jokowi.
Menurut Marbun, serius-tidaknya poros ketiga itu muncul akan terlihat
pada Juni-Juli mendatang, seusai pilkada serentak dan pendaftaran caleg.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar