SOLID BERJANGKA MAKASSAR –
Maret telah tiba. Ini “bulan suci Soeharto”. Pada Maret ini ada dua di
antara sekian pasak legitimasi historis kekuasaan panjang Soeharto,
yakni tanggal 1 dan tanggal 11. Maka, demi merayakan Maret yang indah,
Senin kemarin saya meluncur ke kampung Kemusuk.
Saya tiba setelah 30 menit perjalanan.
Memorial Jenderal Besar HM Soeharto, begitu bunyi tulisan di papan
penanda. Patung besar sosok Soeharto berseragam dinas tentara menyambut
saya dengan anggunnya. Ia menjadi pengganti gupala yang menjaga satu
kompleks megah berasitektur Jawa dengan dominasi warna putih-biru. Di
sebelah kiri berdiri musala mewah berkubah sewarna emas, berdekatan
dengan dinding besar yang menampilkan relief sosok Sang Hero berkopiah
dan berkain sarung, lengkap dengan slogan-slogan Jawa tentang
kesederhanaan, kesalehan, dan kebijaksanaan.
Di pendopo, saya menjumpai sepasukan
bapak-ibu lanjut usia dari Srumbung, Magelang yang duduk lesehan dengan
khusyuknya. Usai menyimak video di layar televisi, mereka
manggut-manggut takzim ketika seorang pemandu menyampaikan puja-puji
kepada Soeharto.
Segala ketakziman itu kian paripurna
ketika kami masuk bersama ke gedung diorama. Ini museum yang kelengkapan
fasilitasnya jauh lebih baik daripada museum-museum di Indonesia pada
umumnya. Bikinan Probosutedjo, gitu loh! Meski artefak-artefak sejarah
tidak tampak terpajang, segala tampilan audio visual yang dilengkapi
narasi-narasi panjang membuat pengunjung benar-benar mendapatkan
sesuatu.
Tentu, “sesuatu” tersebut sesuai dengan
misi museum itu: glorifikasi atas sosok Soeharto. Maka bab-bab sejarah
yang tampil di sana adalah ruas-ruas perjalanan yang dulu kala selalu
dikibarkan oleh rezim Orde Baru. Mulai Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949,
peran Soeharto dalam Operasi Trikora 1962, Peristiwa G30S 1965 yang
dilengkapi gambaran tentang betapa kejamnya PKI (tentu bagian ini sangat
menonjol), Supersemar 1966, pelantikan sebagai Presiden ke-2 RI, lalu
dipungkasi dengan capaian-capaian pemerintahan Soeharto seperti
penghargaan dari FAO atas swasembada pangan, keberhasilan program KB,
dan sebagainya.
Dahsyat sekali. Setiap jengkal gambaran
atas sosok Sang Jenderal Besar di area seluas hampir 4000 meter persegi
itu adalah gambaran kesempurnaan. Seorang patriot, pembela kebenaran,
penegak ideologi bangsa, lelaki yang sederhana, seorang ayah sejati bagi
segenap rakyat Indonesia.
“Kepadamu, bapak kami Soeharto… terima kasih dari rakyat semua…” Saat saya berada di dalam gedung diorama, sayup-sayup Titiek Puspa berdendang dari pelantang suara di pendopo.
***
Usai merayakan kejayaan seorang pahlawan
tanpa cela, saya meluncur ke arah selatan, lagi-lagi 30 menit
perjalanan. Kampung Bibis, Kelurahan Bangunjiwo, Bantul. Tak banyak
orang yang tahu tempat ini. Saya sih tahu, karena waktu SD kadangkala
suka bersepeda ke sana, dan yang pasti karena semua anak di zaman saya
menonton film Janur Kuning karya Alam Surawidjaja.
Bibis adalah sebuah dusun yang menjadi
markas gerilyawan Republik. Tempat ini terpencil, tersembunyi, namun
strategis dan konon selalu gagal diendus oleh hidung tentara Belanda.
Lebih dari seabad sebelumnya, di balik bukit belakang Bibis juga
bermarkas salah satu musuh besar Belanda yang paling ditakuti di
sepanjang sejarah kolonial: Pangeran Diponegoro.
Pada awal tahun 1949, segala persiapan
Serangan Umum terpusat di Bibis. Tempat itu merupakan markas Brigade X
Daerah Wehrkreis III di bawah pimpinan Letkol Soeharto. Boleh dibilang,
Bibis adalah jantung yang memompa darah ke segenap sistem pembuluh darah
perlawanan rakyat ketika tentara dan segenap gerilyawan di semua sektor
perlawanan tumplek bleg untuk menghantam kekuatan Belanda di Yogyakarta.
Dengan posisi Bibis sepenting itu, saya
terpukau menyaksikan kondisinya saat ini. Monumen Bibis, saya ingat di
masa kecil saya, cukup asri. Bangunan pendopo utama terawat baik, dengan
diorama yang menggambarkan aktivitas para gerilyawan pada Serangan
Umum. Di sebelahnya ada beberapa relief pertempuran, juga ruang untuk
memajang benda-benda peninggalan.
Sekarang, yang ada tinggal bangunan sunyi yang kotor berdebu, dan sangat cocok untuk lokasi reality show
uji nyali ataupun berburu hantu. Kotak kaca berisi diorama di pendopo
sudah diselubungi kain karena tak lagi layak tonton, bangunan samping
retak-retak, beberapa barang peninggalan Letkol Soeharto semisal helm
baja teronggok di meja begitu saja, seolah tak tersentuh tangan manusia
selama dua dasawarsa.
“Sejak Pak Harto turun, dana perawatan
berhenti total, Mas. Paling dari Pemda kami dapat dana kalau ada saluran
listrik yang rusak. Itu pun prosesnya ribet sekali. Padahal kalau dulu
ya dana perawatan selalu tersedia,” kata Pak Santo, yang muncul saat
saya sedang celingukan di gedung samping pendopo.
Santo adalah anak Harjo Wiyadi, kepala
dusun atau Dukuh Bibis pada masa Letkol Soeharto dan sekitar 500 anak
buahnya bermarkas di situ. Tanah dan bangunan markas pejuang tersebut
mulanya memang milik keluarga Harjo Wiyadi, namun kemudian diwakafkan
sebagai monumen.
Selain tentang terlantarnya Monumen
Bibis, dari Pak Santo juga saya mendengar bahwa tempat itu sempat akan
diserang dan dibakar oleh sekawanan orang, entah siapa, pada Mei 1998.
Untunglah warga setempat segera membuat barikade di jalan, untuk
menghadang kawanan itu.
Tak cuma tentang rencana penyerangan.
“Sejak itu, banyak barang peninggalan Pak Harto lenyap, Mas. Konon
dibakar dan dimusnahkan entah oleh siapa. Termasuk beberapa koleksi di
Monumen Yogya Kembali,” sambungnya dengan wajah perih.
***
Bagaimana semestinya kita memandang
sejarah? Apakah sejarah harus menjalankan fungsi pragmatis, sebagaimana
dijalankan Muhammad Yamin di masa lalu? Yamin meracik sejarah demi
nasionalisme. Maka proyek sejarah Indonesia versi Yamin adalah alat
untuk satu tujuan tertentu.
Ketika air bah kritik sejarah mulai
membanjir, kita berani menggoyang Muhammad Yamin. Kita berani meragukan
Nugroho Notosusanto. Kita berani menyampaikan versi lain dari Perang
Padri, dengan menunjukkan bahwa perang tersebut semata serangan brutal
kelompok Islam modernis kepada lokalitas. Kita berani memunculkan sudut
pandang baru bahwa kejayaan Sultan Hasanuddin adalah kabar mengerikan
bagi rakyat Bone. Dan lebih kencang lagi, kita berani mengangkat
tinggi-tinggi fakta bahwa PKI bukan pelaku tunggal dalam Tragedi 1965.
Kita tiba pada sebuah masa tatkala
sejarah tak dapat sepenuhnya lagi ditempatkan sebagai instrumen untuk
mencapai tendensi-tendensi. Fakta-fakta keras yang terbentang di
halaman-halaman sejarah kini kita sajikan sebagai murni fakta, yang
lambat laun melepaskan historiografi dari mitos dan sakralisasi. Kita
pelan-pelan bergerak meninggalkan Yamin, menjauh dari Nugroho, dan
melepaskan diri dari sikap-sikap ekstrem dalam memandang sejarah.
Malangnya, kepada Soeharto kita tak
kunjung bisa menjalankan laku yang sama. Kenapa? Kedua monumen yang saya
kunjungi itu nongol di depan mata saya sebagai kutub-kutub ekstrem dari
cara memandang sejarah yang penuh tendensi. Kemusuk adalah pemujaan
berlebihan, Bibis dalam nasibnya sekarang adalah pencampakan
habis-habisan.
Soal Kemusuk, tiada guna kita berdebat.
Toh yang membangun memang adik Soeharto. Itu proyek keluarga. Tak
mungkin mereka mengungkit kegagalan pemerataan kesejahteraan atas nama
pertumbuhan pembangunan, apalagi tentang darah yang tertumpah dan
berceceran selama kekuasaan Orba.
Namun soal Bibis, ini mengganggu pikiran
saya. Begini. Soeharto memang mencapai puncak kariernya sebagai seorang
diktator. Tapi Soeharto yang diktator adalah Soeharto pada masa ketika
ia memang menjalankan peran sebagai diktator, bukan? Apakah dengan
realitas despotisme Soeharto sejak dia memegang kuasa, otomatis segala
hal pada jejak sepatunya adalah kelaliman?
Kisah Bibis dan SU 1 Maret terjadi jauh
sebelum Soeharto tumbuh menjadi despot, bahkan jauh sebelum dia mulai
memegang tongkat kuasa. Lantas landasan nalar apa yang dipakai ketika
kebencian kepada despotisme Soeharto dilampiaskan juga ke SU 1 Maret,
fase sejarah ketika ia sungguh punya peran tak terbantahkan?
Kita selalu khawatir dengan ekstremisme
dalam perilaku beragama. Namun entah kenapa, ekstremisme dalam memandang
sejarah tidak cukup melahirkan kegelisahan di benak kita. Apakah Anda
yakin bahwa sikap hitam-putih dalam menyikapi sejarah tidak akan meluas
kepada jenis-jenis sikap ekstrem yang lain?
“Ah, mentang-mentang setahun lagi
Pemilu. Partai-partai Cendana sudah bermunculan, pula. Pantesan orang
ini mulai caper bela-bela Soeharto. Cari proyek baru ya, Bal?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar