PT SOLID GOLD BERJANGKA MAKASAR - Kodam XVII/Cenderawasih menyatakan kehadiran aparat TNI di Kabupaten
Nduga untuk melindungi rakyat dari kekejaman kelompok kriminal separatis
bersenjata (KKSB), bukan untuk membunuh rakyat. Hal ini menyikapi
seruan Gubernur Papua.
Hal ini guna menyikapi seruan Gubernur Papua Lukas Enembe dan Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Yunus Wonda serta para pimpinan
Fraksi DPRP.
Para pemimpin eksekutif dan legislatif sebelumnya di Papua meminta
kepada Presiden RI, Panglima TNI dan Kapolri agar menarik seluruh aparat
TNI dan Polri yang sedang melaksanakan tugas pengamanan di Kabupaten
Nduga pascaterjadinya tindakan pembantaian secara keji terhadap puluhan
orang pahlawan pembangunan Papua di Puncak Kabo, Distrik Yigi Kabupaten
Nduga pada awal Desember.
"Saya sudah baca seruan tersebut yang diberitakan oleh beberapa
media. Seruan tersebut menunjukkan bahwa Gubernur dan Ketua DRPP serta
para pihak tidak memahami tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sebagai
pemimpin, pejabat dan wakil rakyat," katanya. Bahwa seorang gubernur
adalah wakil dan perpanjangan tangan pemerintah pusat dan Negara
Republik Indonesia (NKRI) di daerah. Gubernur berkewajiban menjamin
segala program nasional harus sukses dan berjalan dengan lancar di
wilayahnya. Bukan sebaliknya malah gubernur bersikap menentang kebijakan
nasional," ujar Kolonel Inf M Aidi.
"Kehadiran TNI dan Polri di
Nduga termasuk di daerah lain di seluruh wilayah NKRI adalah untuk
mengemban tugas negara guna melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah
darah Indonesia. Kok, gubernur dan Ketua DPRP malah melarang kami
bertugas, sedangkan para gerombolan separatis yang nyata-nyata telah
melakukan pelanggaran hukum dengan membantai rakyat, mengangkat senjata
untuk melawan kedaulatan negara malah didukung dan dilindungi," katanya.
Hingga kini, kata dia, masih ada empat orang korban pembantaian oleh
KKSB yang belum diketahui nasibnya dan entah dimana rimbanya.
"Bapak
gubernur, ketua DPRP, para ketua fraksi DPRP, pemerhati HAM dan seluruh
pihak-pihak yang berkepentingan, apakah saudara-saudari semua dapat
memahami bagaimana perasaan duka keluarga korban yang setiap saat
menanyakan kepada TNI-Polri tentang nasib keluarganya yang masih
hilang?" katanya dengan nada bertanya.
"Apalagi kalau mereka
mendengar bahwa TNI dan Polri telah menghentikan pencarian karena
perintah gubernur dan DPRP? Di mana hati nurani saudara-saudari sebagai
manusia ciptaan Tuhan apalagi sebagai pemimpin. Bagaimana kalau hal
tersebut terjadi pada Anda," lanjutnya.
Sebagaimana yang tertuang
dalam UU RI Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Pemerintan Daerah pasal 67
berbunyi, kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi:
khususnya poin; a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila,
melaksanakan UUD 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI.
Lalu, pada poin f yakni melaksanakan program strategis nasional. Dengan
demikian, kata dia, bila Gubernur Lukas Enembe bersikap mendukung
perjuangan separatis Papua merdeka dan menolak kebijakan progam
strategis nasional maka tela melanggar UU negara dan patut dituntut
sesuai dengan hukum.
"Gubernur adalah ketua Forkopimda di daerah dengan anggotanya meliputi
Pangdam, Kapolda, Ketua Pengadilan dan Kepala Kejaksaan," katanya.
Dengaposisi sebagai gubernur, sehasnya melaksanakan rapat Forkopimda
untuk bersama-sama membahas tentang upaya menumpas gerakan separatis di
wilayahnya. Bukan membuat pertanyataan yang seakan-akan mejadi juru
bicara gerombolan separatis dan menyudutkan peranan TNI-Polri dalam
penegakan hukum.
"Kodam XVII/Cenderawasih tidak akan menarik
pasukan dari Kabupaten Nduga, karena selaku prajurit di lapangan, hari
raya bukanlah alasan untuk ditarik dari penugasan, karena kami yakin
Tuhan pun juga maha tahu akan kondisi itu. Sebagian besar prajurit kami
juga umat Kristiani," katanya.
"Pangdam dan Kapolda juga hambah
Tuhan. Kami parjurit sudah terbiasa merayakan hari raya di daerah
penugasan, di gunung, di hutan, di tengah laut atau di mana pun kami
ditugaskan. Dan tidak ada masalah dengan perayaan Natal di Mbua dan Yigi
kompleks, rakyat dan aparat keamanan khususnya umat Kristiani akan
melaksanakan ibadah secara bersama-sama," sambungnya.
Menurut dia, pada 6 Desember 2018, di Mbua dilaksanakan ibadah bersama
antara rakyat dan TNI di Gerja Mbua yang dipimpin oleh Pendeta Nataniel
Tabuni yang merupakan Koordinator Gereja se-Kabupaten Nduga, yang
dihadiri oleh Danrem 172/PWY Kolonel J Binsar P Sianipar.
"Di
sini, saya ingin mnegaskan bahwa terjadinya tidakan kekerasan yang
memakan korban dan mengakibatkan trauma terhadap rakyat di Nduga
termasuk di daerah mana pun di seluruh Indonesia bukan disebabkan karena
hadirnya aparat keamanan TNI dan Polri di daerah tersebut," katanya.
Tetapi
kekerasan itu terjadi karena adanya pelanggaran hukum, karena adanya
gerombolan separatis yang mempersenjatai diri secara illegal, melakukan
pembantaian secara keji terhadap rakyat sipil yang tidak berdosa.
"Ingat,
mempersentai diri sendiri cara illegal itu sudah merupakan pelanggaran
hukum berat yang tidak pernah dibenarkan dari sudut pandang hukum mana
pun di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Tapi kalau aparat
keamanan yang diminta untuk meletakkan senjata, itu adalah kesalahan
terbesar," katanya.
Jadi menurut saya, gubernur dan Ketua DPRP
serta pihak mana pun tidak sepantasnya meminta aparat keamanan TNI dan
Polri ditarik dari Nduga dan di daerah tersebut telah terjadi
pelanggaran hukum berat yang harus mendapatkan penindakan hukum,"
katanya.
Justru apabila, TNI dan Polri tidak hadir, padahal
nyata-nyata di tempat tersebut telah terjadi pelanggaran hukum berat
maka patut di sebut TNI dan Polri atau negara telah melakukan tindakan
pembiaran. Sehingga, sudah seharusnya bila gubernur dan Ketua DPRP
sebagai seorang pemimpin dan wakil rakyat yang bijak, tidak harus
meminta aparat keamanan TNI dan Polri yang ditarik.
"Tetapi para
pelaku pembantaian itulah yang harus didesak untuk menyerhkan diri
beserta senjatanya kepada pihak yang berwajib guna menjalani proses
hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Bukankah gerombolan
separatis pimpinan Egianus Kogoya telah menyatakan bahwa merekalah yang
bertanggung jawab, telah melakukan pembantaian terhadap puluhan karyawan
PT Isataka Karya," katanya.
Jika mereka memang bertanggung
jawab, lanjut dia, harusnya jangan menjadi pengecut dan bersembunyi
kemudian kemana-mana berkoar-koar seolah-olah mereka yang teraniaya,
sedangkan aparat keamanan dituduh sebagai penjahat kemanusiaan.
"Kami,
TNI dan Polri bukan datang untuk menakut-nakuti rakyat apalagi membunuh
rakyat. Yang kami cari adalah mereka para pelaku pembantaian. Rakyat
dan aparat TNI serta Polri bisa merayakan Natal bersama di daerah
tersebut. Rakyat tidak perlu merasa terganggu atas kehadiran di Mbua dan
Yigi Kompleks. Yang merasa terganggu adalah mereka para pelaku
kejahatan yang berlumuran dosa telah membatai warga sipil yang tidak
berdaya," katanya.
Kepada para kelompok-kelompok berkepentingan,
para pejabat birokrat, wakil rakyat, akademisi, tokoh agama, aktivis,
pemerhati HAM dan lain-lain yang selalu berkomentar miring menyudutkan
aparat TNI dan Polri, seakan-akan tidak ada sesuatu pun yang benar yang
dilakukan oleh TNI dan Polri.
"Instropeksi diri saudara-saudari,
berhentilah mengatas namakan rakyat, seolah-olah saudara adalah dewa
pelindung dan penyelamat rakyat, karena belum tentu juga seberapa besar
peranan saudara untuk memihak kepada kepentingan rakyat," katanya.
Bantuan
TNI dan Polri Ketika rakyat sipil atau anggota TNI dan Polri yang jadi
korban oleh kebiadaban para KKSB, semua pihak diam, bungkam seribu
bahasa. Tetapi manakalah yang menjadi korban adalah pihak KKSB dari
pihak saudara, langsung bereaksi bagaikan cacing kepanasan. Ini semua
indikatornya apa? Saat Asmat dilanda musibah KLB campak dan gizi buruk,
TNI adalah institusi pertama yang terjun langsung dengan mengerahkan
segala sumber dayanya dipimpin langsung oleh Pangdam XVII/Cenderawasih
dan Panglima TNI.
"Tapi kami tidak pernah tahu bantuan apa yang
telah diberikan oleh pemerintah provinsi dan wakil rakyat terhadap warga
Asmat, bahkan mungkin satu kalipun pemerintah provinsi dalam hal ini
Gubernur Lukas Enembe tidak pernah menengok warganya yang menderita di
Asmat," katanya mencontohkan tindakan TNI untuk membantu rakyat Papua.
Lalu, ketika bencana embun beku melanda di Distrik Kuyawage di Kabupaten
Lanny Jaya pada Jli 2015, yang mengakibatkanratusan masyarakat eksodus
mengungsi ke Tiom.
Dandim Jayawijaya dan Kapolres Lanny Jaya beserta jajaranya yang paling
pertama mendirikan tenda-tenda pengungsian, membangun dapur umum,
menjemput para pengungsi sampai ke pucuk-pucuk gunung.
"Kondisi
seperti itupun kami masih diganggu dengan tembakan oleh KKSB pimpinan
Enden Wanimbo. Tapi kami tidak pernah mendengar bantuan apa yang
diberikan pemerintah provinsi dan wakil rakyat terhadap warga Kuyawage,"
katanya.
Hampir bersamaan itu, di Mbua dilanda penyakit dan
puluhan bayi dilaporkan meninggal pada periode Oktober hingga November
2015, Kodim 1702/Jayawijaya adalah institusi pertama yang mengirim bahan
makanan, lauk pauk, pakaian, selimut dan lain-lain ke Mbua dan saat itu
disambut oleh Pendeta Natalies Tabuni koordinator gereja se-Kabupaten
Nduga.
"Tapi kami pun tidak pernah mendengar bantuan apa yang
telah diberikan oleh pemerintah provinsi dan wakil rakyat maupun
pemerintah Kabupaten Nduga terhadap rakyatnya di Mbua," katanya.
Termasuk
persoalan kemanusiaan lainnya yang melanda Papua selama ini, apakah itu
wabah penyakit, bencana longsor, gempa bumi, banjir, kebakaran hutan,
konflik sosial dan lain-lain, TNI selalu hadir sebagai garda terdepan
untuk meringankan beban warga yang menderita.
"Kami, TNI dan
Polri tidak butuh dipuji dan disanjung terhadap apa yang telah kami
lakukan untuk rakyat, karena memang itulah tugas dan kewajiban kami
untuk melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah kami," katanya.
Bahwa memang benar, prajurit TNI dilatih, dididik dan disiapkan
untuk membunuh dan terbunuh, tapi para prajurit adalah orang-orang yang
paling menghargai kehidupan, karena selalu siap mempertaruhkan
kehidupannya sendiri untuk menjamin kehidupan rakyat dan kehidupan yang
lebih besar.
"Selaku prajurit TNI dan pribadi saya sangat hormat
dan bangga kepada Wali Kota Jayapura DR Benhur Tommy Mano atas peryataan
sikapnya yang tetap setia kepada NKRI dan menentang sistem yang tidak
demokratis berlangsung di tanah Papua ini, yaitu sistem Noken," katanya.
Wali
Kota Jayapura, kata dia, telah mempresentasikan dirinya sebagai
negarawan sejati yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan golongan, kelompok apalagi kepentingan pribadi.
"Bapak
Wali Kota Jayapura patut menjadi contoh dan panutan bagi setiap kepala
daerah, setiap pemimpin termasuk setiap tokoh bangsa di seluruh wilayah
NKRI," katanya mencontohkan sikap kenegarawanan seorang pemimpin daerah.