PT SOLID GOLD BERJANGKA - Di Indonesia, bulan Oktober dirayakan sebagai Bulan Bahasa. Saya tidak
tahu apakah Anda ikut merayakannya atau tidak. Tapi saya ingin memulai
Bulan Bahasa ini dengan secuil renungan kebahasaan, terkait tema yang
sejak berminggu-minggu lalu titik didihnya mengalahkan lava Gunung
Agung.
Ini tentang PKI, 1965, dan segala konstruksi wacana yang mengiringinya. Ya, memangnya ada yang lebih panas dibanding itu?
Jadi ceritanya, saya mengutak-utik ungkapan-ungkapan berbau stigma yang selalu digunakan di narasi-narasi resmi sejarah versi Orde Baru. Dari utak-utik yang sama sekali tidak berkualifikasi ilmiah ini, saya melihat ada efek turunan yang sepertinya belum banyak dibicarakan.
Ini tentang PKI, 1965, dan segala konstruksi wacana yang mengiringinya. Ya, memangnya ada yang lebih panas dibanding itu?
Jadi ceritanya, saya mengutak-utik ungkapan-ungkapan berbau stigma yang selalu digunakan di narasi-narasi resmi sejarah versi Orde Baru. Dari utak-utik yang sama sekali tidak berkualifikasi ilmiah ini, saya melihat ada efek turunan yang sepertinya belum banyak dibicarakan.
Ungkapan yang menarik hati saya itu bukan "bahaya laten komunis", "tidak
bersih lingkungan", ataupun "menggunakan cara-cara komunis". Ketiganya
sudah dibahas banyak orang. Yang saya pikirkan sesederhana personifikasi
atas kata "PKI".
Begini maksud saya. Ketika membicarakan aksi-aksi persekusi yang
dilakukan oleh orang-orang PKI antara 1960 hingga 1965, kalimat yang
ditulis atau diucapkan selalu menyebut PKI dalam fungsi personifikasi.
Hasilnya, muncullah aneka kalimat seperti: "Banyak kyai dan santri di
Jawa Timur dibunuh PKI."; "Paman saya diculik PKI, dimasukkan karung dan
dipukuli."
Kalimat-kalimat senada terus direproduksi, baik yang memang terkait fakta sejarah (ya, saya percaya orang-orang komunis menanam banyak kesalahan pra-1965) maupun yang semata demi kepentingan propaganda antikomunis (saya juga percaya kesalahan itu dikapitalisasi berlipat-lipat sebagai amunisi pembantaian 1965-1966). Lalu apa hasilnya?
Hasilnya, ada satu hal yang akhirnya tidak kita sadari saat mendengar kalimat-kalimat seperti di atas. Dengan membaca kata "dibunuh PKI", kita seolah lupa bahwa PKI bukanlah manusia. Apakah PKI bisa membunuh? Tidak. Apakah PKI bisa menculik orang? Tidak. Yang membunuh adalah "orang-orang PKI". Bukan PKI.
Kalimat-kalimat senada terus direproduksi, baik yang memang terkait fakta sejarah (ya, saya percaya orang-orang komunis menanam banyak kesalahan pra-1965) maupun yang semata demi kepentingan propaganda antikomunis (saya juga percaya kesalahan itu dikapitalisasi berlipat-lipat sebagai amunisi pembantaian 1965-1966). Lalu apa hasilnya?
Hasilnya, ada satu hal yang akhirnya tidak kita sadari saat mendengar kalimat-kalimat seperti di atas. Dengan membaca kata "dibunuh PKI", kita seolah lupa bahwa PKI bukanlah manusia. Apakah PKI bisa membunuh? Tidak. Apakah PKI bisa menculik orang? Tidak. Yang membunuh adalah "orang-orang PKI". Bukan PKI.
PKI adalah sebuah partai politik. Sebagai parpol, ia merupakan wadah
berisi orang-orang. Sementara, tidak semua orang di dalam parpol itu
memiliki porsi tindakan yang sama dalam segenap kericuhan yang terjadi
di Indonesia, bahkan tidak pula semua orang di situ memiliki pengetahuan
yang sama tentangnya. Tidak semua orang PKI membunuh. Bahkan saya yakin
sebagian besar orang PKI tidak membunuh.
Semasa hidupnya, mendiang bapak saya pernah bercerita. Pada suatu hari menjelang 1965 dia nyaris membubuhkan tanda tangan untuk keanggotaan organisasi pemuda yang dekat dengan PKI (saya lupa, kalau bukan IPPI ya CGMI). Untunglah seorang kawan segera mencegahnya, lalu mengajaknya bergabung ke Pemuda Muhammadiyah. Allahu akbar.
Semasa hidupnya, mendiang bapak saya pernah bercerita. Pada suatu hari menjelang 1965 dia nyaris membubuhkan tanda tangan untuk keanggotaan organisasi pemuda yang dekat dengan PKI (saya lupa, kalau bukan IPPI ya CGMI). Untunglah seorang kawan segera mencegahnya, lalu mengajaknya bergabung ke Pemuda Muhammadiyah. Allahu akbar.
Bapak selalu bersyukur atas ajakan temannya itu. Sebab belakangan semua
nama yang telanjur menandatangani keanggotaan organisasi kiri tersebut
kena ciduk, dan wallahualam nasibnya bagaimana. Dasar
pencidukan itu ya gampang saja: tanda tangan keanggotaan organisasi.
Jadi, andai bapak saya tanda tangan juga, jelas dia akan termasuk yang
terciduk, sehingga saya terpaksa lahir ke dunia dari ayah yang lain
(entah ayah saya Donald Trump, Kim Jong Il, atau Amien Rais, saya juga
tidak tahu).
Nah, apakah para pemuda yang mencoretkan tanda tangan itu paham akan G30S? Kemungkinan besar tidak. Bahkan sangat mungkin mereka juga kaget waktu dibilang PKI. "Lha wong aku CGMI, kok!" barangkali begitu yang mereka ucapkan dengan rasa takut campur heran.
Nah, apakah para pemuda yang mencoretkan tanda tangan itu paham akan G30S? Kemungkinan besar tidak. Bahkan sangat mungkin mereka juga kaget waktu dibilang PKI. "Lha wong aku CGMI, kok!" barangkali begitu yang mereka ucapkan dengan rasa takut campur heran.
Sialnya, kata "PKI" sudah tidak lagi berdiri sebagai penanda sebuah
partai politik. Ia jadi semacam penanda "spesies" yang berbeda dengan
manusia normal. Akibatnya, muncul dua efek psikolinguistik.
Pertama, sifat kemanusiaan pada "orang PKI" atau "anggota PKI" dihilangkan, dan mereka pun muncul dalam imajinasi publik sebagai demon. PKI adalah monster atau zombi gentayangan.
Pertama, sifat kemanusiaan pada "orang PKI" atau "anggota PKI" dihilangkan, dan mereka pun muncul dalam imajinasi publik sebagai demon. PKI adalah monster atau zombi gentayangan.
Kedua, karena istilah PKI telah diposisikan sebagai suatu kategori jenis
makhluk tertentu, maka massa tak lagi peduli apakah "si PKI" itu paham
persoalan atau tidak, terlibat persekusi sejak 1960 atau tidak, terlibat
Gerakan 30 September di Jakarta atau tidak. Di sinilah muncul efek
pukul rata, generalisasi. Ketika wacana yang tersebar selalu menampilkan
rangkaian kata "dibunuh PKI" atau "memburu PKI", maka segenap anggota
kelompok yang diidentifikasi sebagai "spesies PKI" pun tersambar.
Walhasil, mereka yang tidak tahu apa-apa tentang G30S, tidak terpikir untuk melakukan kudeta, tidak pernah satu kali pun ikut mempersekusi apalagi mengeksekusi ulama atau santri, ikut terkena getah terpahitnya.
Walhasil, mereka yang tidak tahu apa-apa tentang G30S, tidak terpikir untuk melakukan kudeta, tidak pernah satu kali pun ikut mempersekusi apalagi mengeksekusi ulama atau santri, ikut terkena getah terpahitnya.
Maka, seorang mbak-mbak anggota Gerwani yang sepanjang umurnya
dihabiskan untuk mendidik anak-anak di desa-desa pun ikut diseret,
diperkosa, dan dibantai. Seorang petani yang cuma menerima bantuan benih
padi dari BTI pun turut dihabisi. Bahkan seorang pemuda (ini pamannya
teman saya) yang cuma kadang-kadang main bola dengan anak-anak Pemuda
Rakyat pun turut disikat.
Dibunuh PKI. Diculik PKI. Menangkap PKI. Memburu sisa-sisa PKI. Coba rasakan, ada efek generalisasi dari semua rangkaian kata-kata itu. Kalau toh G30S memang didalangi para petinggi PKI, kalau toh para elite PKI memang menjalankan peran sebagai pemain aktif dalam gonjang-ganjing waktu itu, lantas bagaimana logikanya sehingga dosa para petinggi PKI dianggap sebagai dosa PKI?
Dibunuh PKI. Diculik PKI. Menangkap PKI. Memburu sisa-sisa PKI. Coba rasakan, ada efek generalisasi dari semua rangkaian kata-kata itu. Kalau toh G30S memang didalangi para petinggi PKI, kalau toh para elite PKI memang menjalankan peran sebagai pemain aktif dalam gonjang-ganjing waktu itu, lantas bagaimana logikanya sehingga dosa para petinggi PKI dianggap sebagai dosa PKI?
Coba kita cari pembanding. Kalau Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, M.
Nazaruddin, Andi Nurpati, dan Angelina Sondakh melakukan korupsi
berjamaah dalam posisi sebagai petinggi Partai Demokrat, dan menggunakan
mesin-mesin Partai Demokrat dalam korupsi mereka, bisakah kejahatan
mereka disebut sebagai kejahatan Partai Demokrat?
Dengan logika yang sama sebagaimana berlaku di tengah massa pada 1965-1966, bisakah seorang seksi konsumsi dalam sebuah rapat pimpinan ranting Partai Demokrat di Desa Tirtonirmolo, Bantul tiba-tiba dicokok dengan tuduhan "terlibat kasus Hambalang"? Enggak, kan?
Saya paham, perbandingannya tidak 100% adil. Anggota Partai Demokrat di akar rumput tidak bergesekan dengan kelompok lain, tidak sebagaimana gesekan antara orang-orang PKI dengan orang NU, Masyumi, dan PNI. Namun faktanya pada 1965-1966 ada ribuan orang yang tidak tahu apa-apa tersambar badai pembunuhan hanya karena dia dianggap "spesies PKI". Mereka di-"iblis"-kan cuma gara-gara status sial keanggotaan organisasi, bahkan dianggap "terlibat G30S". Padahal, apa iya seorang buruh pabrik gula di Jombang yang terdaftar sebagai anggota SOBSI, misalnya, tahu-menahu tentang gerakan di Lubang Buaya Jakarta?
Sekarang, mari andaikan pengucapannya sedikit dinetralkan. Sederhana
saja, "dibunuh PKI" diganti dengan "dibunuh orang PKI". Posisi PKI di
ungkapan kedua terasa lebih enak, karena PKI masih diposisikan sebagai
partai politik, sedangkan pelaku pembunuhannya semata sebagai
anggotanya.Dengan logika yang sama sebagaimana berlaku di tengah massa pada 1965-1966, bisakah seorang seksi konsumsi dalam sebuah rapat pimpinan ranting Partai Demokrat di Desa Tirtonirmolo, Bantul tiba-tiba dicokok dengan tuduhan "terlibat kasus Hambalang"? Enggak, kan?
Saya paham, perbandingannya tidak 100% adil. Anggota Partai Demokrat di akar rumput tidak bergesekan dengan kelompok lain, tidak sebagaimana gesekan antara orang-orang PKI dengan orang NU, Masyumi, dan PNI. Namun faktanya pada 1965-1966 ada ribuan orang yang tidak tahu apa-apa tersambar badai pembunuhan hanya karena dia dianggap "spesies PKI". Mereka di-"iblis"-kan cuma gara-gara status sial keanggotaan organisasi, bahkan dianggap "terlibat G30S". Padahal, apa iya seorang buruh pabrik gula di Jombang yang terdaftar sebagai anggota SOBSI, misalnya, tahu-menahu tentang gerakan di Lubang Buaya Jakarta?
Eksperimen kebahasaan ini bukan cuma berlaku pada kasus PKI. Ambillah contoh kategori etnis. Biar tidak SARA, pakai contoh saya sendiri saja yang orang Jawa. Katakanlah saya melakukan hal buruk, semisal menyerobot antrean. Lalu Anda mengomel, "Orang Jawa satu itu norak bener." Bandingkan dengan: "Jawa satu itu norak bener." Terasa bedanya, bukan?
Dulu waktu masih menjadi editor buku pelajaran untuk madrasah, pernah saya mengkritik seorang penulis karena membuat kalimat semacam, "Dia pun memukul Yahudi itu." Rasanya rasis banget. Barulah terasa mendingan saat kata "orang" ditempelkan di depan kata "Yahudi".
Saya tidak hendak berandai-andai, dengan berkhayal bahwa banyak orang tak berdosa akan terselamatkan pada 1965-1966 hanya dengan mengganti pengucapan "dibunuh PKI" dengan "dibunuh orang PKI". Tapi setidaknya kita menemukan bahwa ada gejala-gejala kebahasaan yang berkelindan bersama gelombang pasang politik.
Dari kesadaran itu, semestinya kita juga lebih berhati-hati jika di tahun-tahun ini menemukan ungkapan-ungkapan mencurigakan yang bermunculan bersama naik turunnya suhu politik menjelang 2019. Siapa tahu kita cuma sedang dijadikan mainan oleh kekuatan-kekuatan besar, dengan peranti halus berupa bahasa, istilah-istilah, atau idiom-idiom yang bermasalah secara logika.
Akhir kata, selamat merayakan Bulan Bahasa. Cintailah Bahasa Indonesia, meski kadangkala Bahasa Indonesia tidak terlalu mencintai Anda.
Baca Juga Artikel Keren & Terupdate Kami Lainnya Di :
wixsite.com wordpress.com weebly.com blogdetik.com
strikingly.com jigsy.com spruz.com bravesite.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar