PT SOLID GOLD BERJANGKA - Generasi tua dan generasi muda kerap tidak nyambung satu sama lain.
Alih-alih bekerja sama, mereka malah berjalan sendiri-sendiri. Lebih
parah lagi, saling salah paham, bertikai, dan saling menyakiti.
Film horor kadang-kadang memotret realitas getir itu dengan baik. Tontonlah, misalnya It (Andy Muschietti, 2017), yang diangkat dari novel Stephen King. Sebuah potret yang mengenaskan.
Oktober 1988. Hujan lebat sore itu. Bill, seorang remaja gagap, membuatkan perahu kertas untuk adiknya, Georgie. Georgie melepaskan perahu itu di depan rumah dan mengikutinya sepanjang jalan terbawa aliran air hujan, sampai perahu itu menghilang di lubang saluran air tepi jalan. Beberapa saat kemudian, Georgie turut menghilang.
Film horor kadang-kadang memotret realitas getir itu dengan baik. Tontonlah, misalnya It (Andy Muschietti, 2017), yang diangkat dari novel Stephen King. Sebuah potret yang mengenaskan.
Oktober 1988. Hujan lebat sore itu. Bill, seorang remaja gagap, membuatkan perahu kertas untuk adiknya, Georgie. Georgie melepaskan perahu itu di depan rumah dan mengikutinya sepanjang jalan terbawa aliran air hujan, sampai perahu itu menghilang di lubang saluran air tepi jalan. Beberapa saat kemudian, Georgie turut menghilang.
Tidak ada yang melihat Georgie dicaplok tangannya sampai putus dan
diseret ke lubang saluran air oleh monster berwujud badut. Seorang nenek
yang tinggal di sebelah ada melihat genangan seperti darah, tetapi ia
mungkin menganggapnya air kotor belaka. Ia tidak berbuat apa-apa.
Musim panas berikutnya, Bill masih trauma oleh kehilangan itu. Dan,
tentu, merasa bersalah. Ia membayangkan bisa jadi Georgie masih hidup,
terdampar di Barrens, sebuah daerah rawa-rawa yang berada di salah satu
ujung saluran air. Ia sangat ingin menemukannya.
Di sekolah ia berteman dengan sekelompok anak yang sama-sama kerap dirundung kakak kelas mereka. Mereka tak segan menyebut diri mereka Kelab Pecundang. Setelah memikir-mikirkan pengalaman mereka, menautkan berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini, dan salah seorang dari mereka menelusuri sejarah kota kecil itu, mereka tersadar bahwa hilangnya Georgie—dan Georgie bukan satu-satunya anak yang hilang—bukanlah kehilangan biasa. Ada sesosok monster misterius di balik karut-marut ini.
Mirip dengan boggart dalam serial Harry Potter, monster itu menghantui mereka berdasarkan kelemahan dan ketakutan mereka masing-masing. Dalam genre horor, monster biasanya berfungsi sebagai simbol trauma, luka batin, ancaman, atau ketakutan yang siap-siap mengerkah dan melumpuhkan daya hidup kita.
Di sekolah ia berteman dengan sekelompok anak yang sama-sama kerap dirundung kakak kelas mereka. Mereka tak segan menyebut diri mereka Kelab Pecundang. Setelah memikir-mikirkan pengalaman mereka, menautkan berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini, dan salah seorang dari mereka menelusuri sejarah kota kecil itu, mereka tersadar bahwa hilangnya Georgie—dan Georgie bukan satu-satunya anak yang hilang—bukanlah kehilangan biasa. Ada sesosok monster misterius di balik karut-marut ini.
Mirip dengan boggart dalam serial Harry Potter, monster itu menghantui mereka berdasarkan kelemahan dan ketakutan mereka masing-masing. Dalam genre horor, monster biasanya berfungsi sebagai simbol trauma, luka batin, ancaman, atau ketakutan yang siap-siap mengerkah dan melumpuhkan daya hidup kita.
Begitulah. Bagi Bill, monster itu menyatroninya dalam wujud, ya, siapa
lagi kalau bukan Georgie, adik yang dirindukannya. Bagi Stan, monster
itu mengendap-endap di balik lukisan seram di kamar kerja ayahnya. Bagi
Eddie, monster itu mewujud dalam sesosok penderita kusta. Bagi Beverly,
satu-satunya perempuan di kelab itu, si monster menyembur dari wastafel
sebagai darah (menstruasi?) yang memerahkan seluruh dinding dan lantai.
Namun, mereka mesti menghadapi monster itu sendiri. Ayah Bill—entah ikhlas entah acuh tak acuh—percaya Georgie sudah mati. Ia memarahi Bill, menganggapnya berkhayal, dan menyuruhnya beranjak dari kenangan buruk itu. Orangtua lainnya—ayah Beverly dan petugas perpustakaan—tidak dapat melihat penampakan si monster.
Bukan hanya tidak membantu, para orangtua itu malah mengganggu. Kakak kelas merundung mereka sampai pada taraf yang mengancam keselamatan jiwa. Eddie dilindungi secara berlebihan oleh ibunya—sebenarnya disekap karena dia dipandang ringkih, sakit-sakitan, dan keluyuran di luar bakal membahayakan kesehatannya. Adapun Beverly, duh Gusti, nyaris digagahi ayahnya sendiri.
Namun, mereka mesti menghadapi monster itu sendiri. Ayah Bill—entah ikhlas entah acuh tak acuh—percaya Georgie sudah mati. Ia memarahi Bill, menganggapnya berkhayal, dan menyuruhnya beranjak dari kenangan buruk itu. Orangtua lainnya—ayah Beverly dan petugas perpustakaan—tidak dapat melihat penampakan si monster.
Bukan hanya tidak membantu, para orangtua itu malah mengganggu. Kakak kelas merundung mereka sampai pada taraf yang mengancam keselamatan jiwa. Eddie dilindungi secara berlebihan oleh ibunya—sebenarnya disekap karena dia dipandang ringkih, sakit-sakitan, dan keluyuran di luar bakal membahayakan kesehatannya. Adapun Beverly, duh Gusti, nyaris digagahi ayahnya sendiri.
Maka, dengan bergandeng tangan, mereka pun melawan. Melawan kakak kelas.
Melawan orangtua. Dan, akhirnya, melawan monster seram itu di dasar
sumur yang kelam. Meskipun berakhir melegakan, It adalah film pedih yang menyayat perasaan. Pola kesenjangan serupa juga muncul dalam Goosebumps. Serial yang digarap berdasarkan novel R.L. Stine ini sekian tahun lalu pernah ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta.
Sebagaimana lazimnya film serial, Goosebumps mengolah kerangka cerita yang itu-itu juga. Tinggal tokoh-tokoh, latar, dan peristiwanya diubah-ubah. Anak-anak terpapar pada dunia supernatural yang mencekam dan nyaris mencelakakannya. Mereka tidak berdaya, tetapi suka atau tidak suka mesti mengerahkan akal untuk mengatasinya—tanpa bantuan orang dewasa.
Orang-orang dewasa tidak pernah digambarkan sebagai bagian dari pemecahan masalah. Mereka cenderung menepis begitu saja cerita si anak tentang dunia supernatural itu sebagai khayalan belaka, suatu dalih untuk menutupi kenakalan. Lebih jauh lagi, orang dewasa tidak jarang justru menjadi penghambat dan memperparah masalah.
Sebagaimana lazimnya film serial, Goosebumps mengolah kerangka cerita yang itu-itu juga. Tinggal tokoh-tokoh, latar, dan peristiwanya diubah-ubah. Anak-anak terpapar pada dunia supernatural yang mencekam dan nyaris mencelakakannya. Mereka tidak berdaya, tetapi suka atau tidak suka mesti mengerahkan akal untuk mengatasinya—tanpa bantuan orang dewasa.
Orang-orang dewasa tidak pernah digambarkan sebagai bagian dari pemecahan masalah. Mereka cenderung menepis begitu saja cerita si anak tentang dunia supernatural itu sebagai khayalan belaka, suatu dalih untuk menutupi kenakalan. Lebih jauh lagi, orang dewasa tidak jarang justru menjadi penghambat dan memperparah masalah.
ng dewasa sebagai dua dunia yang tak terjembatani. Tak ayal Goosebumps berpihak pada dunia anak. Ia tampaknya hendak mengatakan, "Kids, you are on your own now.
Kalian bisa mengambil keputusan sendiri, dan bisa menyelesaikan masalah
sendiri. Tak perlu nasihat orangtua. Paling-paling mereka juga tidak
mengerti. Bisa-bisa mereka malah akan merusak kebahagiaan kalian."
Lagi-lagi, potret kesenjangan lintas generasi yang menyedihkan.
Belakangan ini, di negeri ini, kesenjangan itu tampil secara arogan, tetapi kemudian berkelok jadi menggelikan. Panglima TNI Gatot Nurmatyo memerintahkan jajarannya nonton bareng (nobar) film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Perintah ini lalu melebar dengan pengadaan nobar di desa-desa dan sekolah-sekolah.
Lagi-lagi, potret kesenjangan lintas generasi yang menyedihkan.
Belakangan ini, di negeri ini, kesenjangan itu tampil secara arogan, tetapi kemudian berkelok jadi menggelikan. Panglima TNI Gatot Nurmatyo memerintahkan jajarannya nonton bareng (nobar) film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Perintah ini lalu melebar dengan pengadaan nobar di desa-desa dan sekolah-sekolah.
Nobar mestinya asyik-asyik saja. Namun, menjadikan satu film propaganda
sebagai satu-satunya versi kebenaran tentang peristiwa 1965 dan berharap
generasi masa kini menelannya begitu saja, jelas arogan dan tidak peka
zaman. Padahal, tidak sedikit data-data baru yang telah terungkap.
Padahal, ada pula film-film lain yang menawarkan sudut pandang berbeda.
Dan, orang diharapkan terus berpegang hanya pada satu versi kebenaran?
Mari kita bikin pengandaian begini. Tragedi 1965 adalah "monster", luka dan trauma sejarah yang mendalam bagi bangsa ini. Namun, bagaimanapun itu adalah monster bagi generasi tua. Mereka mestinya sudah menyelesaikannya, entah melalui jalur yudisial entah melalui jalur rekonsiliasi. Mestinya generasi milenial sudah tinggal menghirup udara segar yang terbebas dari dendam masa silam.
Nyatanya tidak. Luka itu malah dilanggengkan, terus dikorek-korek, dan setiap kali siap dijadikan "hantu" yang dibangkitkan kembali untuk mengintimidasi, tampaknya guna memuaskan syahwat kekuasaan pihak tertentu. Dan kini, monster itu masih juga mau dilepaskan bagi generasi milenial. Setengah abad sudah lewat, dan kita seakan belum beranjak ke mana-mana.
Mari kita bikin pengandaian begini. Tragedi 1965 adalah "monster", luka dan trauma sejarah yang mendalam bagi bangsa ini. Namun, bagaimanapun itu adalah monster bagi generasi tua. Mereka mestinya sudah menyelesaikannya, entah melalui jalur yudisial entah melalui jalur rekonsiliasi. Mestinya generasi milenial sudah tinggal menghirup udara segar yang terbebas dari dendam masa silam.
Nyatanya tidak. Luka itu malah dilanggengkan, terus dikorek-korek, dan setiap kali siap dijadikan "hantu" yang dibangkitkan kembali untuk mengintimidasi, tampaknya guna memuaskan syahwat kekuasaan pihak tertentu. Dan kini, monster itu masih juga mau dilepaskan bagi generasi milenial. Setengah abad sudah lewat, dan kita seakan belum beranjak ke mana-mana.
Padahal, generasi milenial tentunya memiliki monster mereka sendiri.
Mereka punya luka, trauma, ancaman, dan ketakutan yang berbeda dari
generasi sebelumnya. Alih-alih dibantu, didampingi, diringankan
bebannya, ini malah dijatuhi beban tambahan yang tak kepalang tanggung
beratnya: "monster" warisan dendam kesumat masa lalu. Ah, generasi tua
itu bersikap seperti para orang tua di It dan Goosebumps.
Hasilnya? Segera saja muncul video parodi film bersangkutan versi generasi milenial. Meme dan celetukan lucu bertebaran di media sosial. Dan, dalam suatu nobar, baru 30 menit film berputar, sebagian siswa sudah terlelap. Arogansi itu pun berkelok jadi komedi. Mudah-mudahan sang jenderal lantas menyadari kekonyolan sikap ngototnya itu.
Hasilnya? Segera saja muncul video parodi film bersangkutan versi generasi milenial. Meme dan celetukan lucu bertebaran di media sosial. Dan, dalam suatu nobar, baru 30 menit film berputar, sebagian siswa sudah terlelap. Arogansi itu pun berkelok jadi komedi. Mudah-mudahan sang jenderal lantas menyadari kekonyolan sikap ngototnya itu.
wixsite.com wordpress.com weebly.com blogdetik.com
strikingly.com jigsy.com spruz.com bravesite.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar