PT SOLID GOLD BERJANGKA MAKASSAR – Vastly Zaitsev,
seorang penembak jitu Uni Soviet pada Perang Dunia II mengisi kariernya
dengan cara yang luar biasa. Bidikan senapan jarak jauhnya merontokkan
mental pasukan-pasukan Jerman sehingga pada akhirnya perang Stalingrad
ini dimenangkan oleh Soviet. Selidik punya selidik, ternyata kehebatan
Zaitsev ini dipropagandakan sedemikian rupa oleh pimpinan-pimpinan
Soviet melalui publikasi tulisan yang menggelora, digandakan beribu-ribu
eksemplar, kemudian disebarkan lewat pesawat terbang agar bisa dibaca
oleh semua orang; hal ini sekaligus membuat ciut nyali pasukan musuh
sebagai strategi
psy war.
Di akhir adegan, Zaitsev, selain sebagai pasukan elit, merupakan
simbol kemenangan Soviet untuk peperangan tersebut. Kisah epik itu bisa
dilihat pada film
Enemy at the Gates (2001). Lain lagi dengan
kisah Buya Hamka. Dia merupakan profil lengkap seorang guru, ulama,
politisi, sastrawan sekaligus penulis. Dia tergolong penulis yang
produktif; tak kurang dari 118 judul buku sudah dia hasilkan, meliputi
banyak bidang kajian, seperti politik, sejarah, budaya, akhlak, dan
ilmu-ilmu keislaman.
Dari sekian banyak karyanya, paling berpengaruh tentu saja adalah Tafsir Al-Quran 30 juz yang dinamakan
Tafsir Al Azhar.
Tafsir ini memiliki pengaruh besar, tidak hanya digunakan oleh muslim
Indonesia, namun menyebar sampai dengan Malaysia, Brunei, bahkan sampai
dengan Thailand. Tafsir ini diselesaikan Hamka saat di jeruji tahanan
selama 2 tahun 4 bulan. Tulisannya dalam bentuk sastra beberapa di
antaranya
Di Bawah Lindungan Ka’bahdan
Tenggelamnya Kapal van Der Wijck.
Walaupun karya lama generasi 1930-an, namun karya itu masih relevan
untuk menjadi bacaan inspiratif antargenerasi, sehingga masih sangat
populer ketika diangkat ke layar lebar. Memang benar, karya-karya
menyejarah, seperti punya cara tersendiri agar tetap bersinar tak
terbatas ruang dan waktu.
Dua kisah di atas, walaupun hanya fragmen kecil dari sebuah film dan
karya pemikiran, namun kita tahu bahwa ketajaman pena memiliki imbas
dahsyat untuk mempengaruhi orang lain dengan skala yang luas, tak
terbatas ruang dan waktu. Tulisan yang memiliki nilai tinggi bisa
mempengaruhi pembacanya, berdampak lebih efektif dan eskalatif.
Semakin banyak karya bermutu tinggi yang beredar di masyarakat, pada
akhirnya akan berimbas pada budaya, moralitas, nilai keluhuran, pola
pikir masyarakat, dan kualitas SDM yang lebih membaik dari waktu ke
waktu. Namun, untuk sampai pada hal ini, peran serta masyarakat jualah
yang signifikan. Karena, pada dasarnya masyarakat berperan sebagai
“produsen” ide dan gagasan (melalui media tulis), juga berperan sebagai
“konsumen”, penikmat ide tersebut.
Titik sambung antara banyaknya karya berkualitas dan peningkatan mutu
SDM inilah yang dinamakan literasi (kemampuan membaca dan menulis).
Sederhananya, masyarakat berperan ganda dalam peningkatan mutu literasi
ini.
Level literasi masyarakat memiliki kontribusi besar untuk menentukan
kemajuan sebuah bangsa. Banyak riset yang menjelaskan bagaimana
kemampuan literasi manusia memiliki relasi positif terhadap kecerdasan,
penalaran, dan bahkan kemampuan matematika. Literasi ini pada akhirnya
memiliki sumbangsih yang besar terhadap kemajuan negeri. Namun,
Indonesia masih memiliki sejumlah ‘pekerjaan rumah’ untuk mengatasi hal
ini.
Penelitian Program for International Student Assessment (PISA)
rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD)
pada 2015 menunjukkan rendahnya tingkat literasi Indonesia dibanding
negara-negara di dunia. Ini adalah hasil penelitian terhadap 70 negara.
Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara yang disurvei.
Problem ini tentunya butuh penuntasan dengan menjadikan pendidikan
sebagai kata kuncinya. Sebagaimana kita pahami bahwa faktor penting
pendidikan salah satunya ada pada guru. Guru memiliki peran besar untuk
dapat menjadikan level literasi ini menjadi lebih baik. Kemudian,
bagaimana guru dapat berperan dengan profesinya? Tak lain dengan cara
menginspirasi mereka.
Cara terbaik mendekatkan para siswa dengan baca-tulis bisa dilakukan
dengan pendalaman materi, dengan mengoptimalkan sumber lain di luar buku
paket. Cara ini bisa mendorong keingintahuan siswa dengan bacaan lain,
sekaligus menjadikan referensi tambahan yang bermanfaat untuk mencintai
membaca.
Berikutnya, menulis adalah aktivitas yang manfaatnya tidak hanya
dirasakan pada saat ini dan di tempat ini. Lebih dari itu, menulis,
apalagi pada era teknologi saat ini, merupakan “alat edar ide” terbaik
dan terluas. Lebih masif dibanding era Zaitsev tentu saja –setiap orang
bisa dengan cepat dan mudah membacanya, di mana pun dan kapan pun.
Begitu juga manfaatnya bisa dirasakan pada waktu-waktu ke depan, bahkan
untuk generasi sesudah kita.
Betapa banyak tulisan-tulisan di jagat maya yang sudah ditulis dari
belasan atau puluhan tahun yang lalu, yang masih bisa kita baca di
internet hingga sekarang. Begitu juga dengan karya kita saat ini, jika
ada pencerahan di dalamnya, maka “suluh” ini bisa dinikmati bahkan
sampai masa yang panjang. Benarlah bahwa menulis adalah bekerja untuk
keabadian. Semoga kita bisa menjadi inspirator kebaikan untuk masa yang
panjang lewat menulis.
Seperti pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai
setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah.