SOLID GOLD MAKASSAR - Akhir September dan 1 Oktober kembali tiba. Ribut-ribut soal PKI dan komunisme kembali marak. Ada yang ingin film G30S/PKI
kembali diputar di mana-mana, ada yang asal menuduh seseorang atau
kelompok tertentu sebagai komunis dan PKI. Belum lagi jika kita menyebut
sederet catatan pembubaran acara yang dituduh bagian dari upaya
menyebarkan komunisme dan menghidupkan PKI kembali.
Dua puluh
tahun setelah Orde Baru tumbang, masih sulit bagi bangsa ini untuk
membuka diri pada kesalahan masa lalu dan bersama-sama mencari kebenaran
atas apa yang sesungguhnya terjadi. Dalam kenyataan seperti ini,
bagaimana peristiwa penting dalam sejarah bangsa tersebut diajarkan di
bangku sekolah? Apa yang disampaikan oleh guru dan buku pelajaran pada
siswa-siswa di ruang kelas?
Kurikulum sekolah yang berlaku sekarang ini adalah Kurikulum 2013.
Peristiwa 30 September 1965 sudah diajarkan sejak bangku SD hingga SMU
dengan porsi dan penekanan yang berbeda-beda. Pada tingkat SD, peristiwa
ini diajarkan melalui pengenalan pahlawan-pahlawan revolusi. Materi
pengajaran yang cukup komprehensif atas peristiwa ini ada pada pelajaran
Sejarah Kelas XII (Kelas 3 SMU).
Dalam buku Sejarah untuk siswa Kelas XII yang diterbitkan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015, peristiwa yang terjadi
pada 30 September 1965 itu kembali disebut dengan menggunakan istilah
"G30S/PKI". Penggunaan istilah ini tak bisa diabaikan begitu saja.
Salah
satu buah dari Reformasi 1998 adalah adanya upaya dari segenap elemen
masyarakat untuk mempertanyakan segala narasi tunggal atas sejarah
bangsa ini, termasuk apa yang terjadi pada akhir September 1965. Salah
satu wujud dari upaya itu adalah sikap untuk menganggalkan kata "PKI"
dari istilah "G30S". Maka, pada tahun-tahun awal Reformasi, penyebutan
peristiwa itu cukup dengan "G30S", bukan "G30S/PKI". Pelajaran sejarah
di sekolah pada tahun-tahun pertama Reformasi pun menggunakan G30S,
bukan G30S/PKI. Kini, dengan Kurikulum Nasional 2013, melalui buku-buku
yang resmi diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pengajaran
sekolah kembali menggunakan konsep yang diciptakan dan disebarluaskan
oleh Orde Baru: G30S/PKI.
Satu hal yang sedikit menggembirakan dari pelajaran sejarah saat ini
adalah adanya pengakuan bahwa masih ada kontroversi dan perdebatan atas
apa yang terjadi pada 30 September 1965. Dalam buku terbitan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tersebut disebutkan ada enam teori yang
mencoba menjelaskan siapa dalang peristiwa tersebut.
Teori
pertama, Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan
Darat yang dipicu oleh kecemburuan terhadap elite TNI AD. Teori kedua,
bahwa dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat
(CIA). Teori ketiga menyebut bahwa Gerakan 30 September bisa terjadi
karena ada pertemuan kepentingan Inggris dan Amerika Serikat untuk
menggulingkan Sukarno. Teori keempat, Sukarno adalah dalang Gerakan 30
September. Teori kelima menjelaskan bahwa tak ada skenario besar dan
pemain tunggal dalam peristiwa tersebut; semuanya pecah dalam
improvisasi di lapangan. Teori terakhir, yang menjadi narasi dominan
hingga hari ini, dalang Gerakan 30 September adalah PKI.
Buku
tersebut menyebut teori yang antara lain dikemukakan oleh Nugroho
Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum
didengar mengenai kudeta 30 September 1965. Meski diakui adanya beragam
versi, toh tetap saja versi keenam yang mendapat porsi besar dalam
uraian buku yang menjadi pegangan siswa berdasarkan Kurikulum Nasional
2013.
Cerita pun bergulir mulai dari segala tindak-tanduk PKI yang membuat
resah masyarakat di berbagai daerah, segala pertentangan, dan bahkan
kekerasan dalam masyarakat yang kemudian mencapai puncaknya dengan
pemberontakan yang terjadi pada malam 30 September. Setelah itu, dalam
situasi yang penuh ketidakpastian, Soeharto mengambil alih kepemimpinan
untuk menumpas G30S/PKI dan menangkap pentolan PKI di daerah-daerah.
Soeharto pun menjadi pahlawan. Persis seperti penggambaran dalam film G30S/PKI
yang selama Orde Baru berkuasa selalu diputar pada malam 30 September.
Dan, cerita pun berakhir. Pelajaran tentang G30S untuk siswa Kelas XII
diakhiri dengan narasi keberhasilan penumpasan PKI.
Tak ada
kisah tentang pembantaian ratusan ribu manusia di berbagai daerah. Tak
ada cerita tentang orang-orang yang dipenjara, disiksa, diperkosa,
diasingkan tanpa proses peradilan. Belum lagi fakta bahwa tak semua dari
orang-orang tersebut adalah mereka yang tak tahu apa-apa tentang
hiruk-pikuk politik masa itu. Tentu saja juga tak ada cerita tentang
keturunan anggota PKI yang seumur hidup juga harus menanggung hukuman.
Dua
puluh tahun setelah Reformasi, kurikulum nasional kita masih
menyembunyikan fakta kelam tersebut, mengabaikan segala bentuk temuan,
kesaksian, pemberitaan di dalam maupun di luar negeri. Apa yang kita
harapkan dari pelajaran sejarah macam ini? Bagaimana bisa kita
mengharapkan lahirnya generasi-generasi kritis yang membawa perubahan
jika yang mereka pelajari di sekolah adalah bagian dari propaganda
usang?
Mengakui bahwa pembantaian dan segala bentuk kekejian itu
ada merupakan langkah pertama dalam upaya mencari kebenaran dan
keadilan. Dan, memasukkan pengakuan tersebut dalam pelajaran sekolah
adalah sebuah keharusan yang tak bisa lagi ditunda.