PT Solid Gold Berjangka Makassar – Tulisan saya
tentang dikomentari dengan lugas oleh Kalis Mardiasih, seorang aktivis
literasi muda yang banyak menginspirasi generasi milineal, baik muslimi
maupun muslimah. Tentu saya sangat senang, tulisan reflektif saya dibaca
dan dikritik dengan tajam oleh pegiat literasi media, sehingga saya
sebagai penulis pemula bisa banyak belajar.
Namun ada beberapa hal yang menurut saya salah persepsi dalam. Yang
pertama, saya tidak mengatakan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
(secara organisasi) akan kalah ataupun tidak laku oleh kelompok Islam
“hijrah”. Yang saya tekankan adalah kreativitas dakwah kalangan Islam
moderat yang perlu ditingkatkan, yang sementara ini ketinggalan dengan
kalangan “hijrah”. Saat ini dakwah kalangan moderat sudah beragam,
tetapi daya tariknya belum terlalu kuat karena kurang kreatif.
Perkembangan dakwah “smart” (ataupun dakwah model
kekinian) yang saat ini muncul sebenarnya adalah keniscayaan. Ketika
sebuah teknologi muncul dan digunakan oleh kelompok yang mengaitkannya
dengan agama, maka akan ada proses fragmentasi otoritas keagamaan yang
sudah ada. Proses yang sebenarnya terus berulang dari satu masa ke masa.
Ini terjadi semisal pada awal abad ke-20 ketika gerakan (atau dakwah)
pembaharuan Islam masuk ke Nusantara. Sebuah gerakan yang awalnya
diinisiasi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir yang kemudian
direplikasi di Nusantara.
Tokoh seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dari Padang dengan Majalah Al-Munir dan KH. Ahmad Dahlan dari Yogyakarta dengan Majalah Suara Muhammadiyah
adalah contoh fragmentasi otoritas keagamaan. Salah satu faktor
suksesnya dua ulama tersebut adalah beredarnya teknologi cetak yang
sangat membantu penyebaran dakwah puritan yang “menantang” otoritas
ulama yang sudah ada lama di Nusantara. Munculnya dakwah “pembaharuan”
dengan media cetak ini menimbulkan pro dan kontra, dan tidak jarang pada
masa itu muncul perdebatan publik secara langsung antara kelompok
pembaharuan (kaum muda) dan kelompok pengawal tradisi ulama Nusantara
(kaum tua).
Berdirinya Muhammadiyah sebagai representasi gerakan pembaharuan
dan Nahdlatul Ulama sebagai representasi ulama Nusantara adalah dua
contoh dinamika dua gerakan dakwah yang berbeda. Pada akhirnya gerakan
ulama Nusantara yang diwakili oleh NU bisa mengikuti dakwah “modern”
yang dilakukan lebih dulu oleh Muhammadiyah.
Kejadian hari ini, dengan kelompok “hijrah” ataupun gerakan
keagamaan yang semisal, adalah pengulangan kejadian pada awal abad
ke-20. Suka atau tidak suka, kelompok “hijrah” hari ini berusaha untuk
membuat alternatif otoritas keagamaan sebagai jawaban keinginan kaum
milenial. Dengan perangkat teknologi digital yang banyak digunakan kaum
muda, mereka mencoba memberikan alternatif wacana keagamaan yang dalam
kontennya bisa sama atau berbeda dengan otoritas agama yang dominan di
Indonesia, baik itu Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama.
Yang kedua, saya tidak membandingkan kualitas antara dakwah
kelompok hijrah dengan dengan dua organisasi besar Islam di Indonesia.
Secara kualitas, saya sepakat bahwa kualitas kajian keagamaan di NU dan
Muhammadiyah sangat mendalam. Yang saya kritisi adalah kemasan dan branding
dakwah NU dan Muhammadiyah. Peneliti Universiti Kebangsaan Malaysia
(UKM), Hew Wai Weng (2015), dalam tulisannya tentang dakwah digital di
Indonesia dan Malaysia mengatakan bahwa keberhasilan dakwah dai milenial
karena tiga aspek: estetika visual, menggunakan cara yang komunikatif
(seperti forum tanya-jawab), dan strategimarketing.
Dari tiga aspek di atas, tidak ada indikator kualitas agar dakwah
bisa diterima oleh milenial. Boleh jadi secara kualitas, konten dakwah
digital yang trending saat ini sangat jauh dibandingkan dai NU dan Muhammadiyah. Tetapi secara estetika visual, strategi komunikasi dan marketing, dakwah milenial seperti Hijrah Festlebih unggul sehingga jauh lebih menarik kalangan milenial.
Apakah NU dan Muhammadiyah tidak bisa berbuat sama? Tentu sangat
bisa. Dengan kualitas yang kuat ditambah tiga aspek di atas, NU dan
Muhammadiyah bisa menjawab lebih jauh kebutuhan dakwah Islam di era
milenial.
Dan jika kita lihat dari beberapa dai yang cukup dikenal di dunia
maya, banyak di antaranya secara teologis dekat dengan Nahdlatul Ulama.
Seperti yang saya sebutkan di artikel saya sebelumnya, Yusuf Mansur dan
Buya Yahya dan beberapa habib yang aktif di medis sosial, mereka secara
kultural keagamaan dekat dengan NU meski mungkin tidak mempunyai
hubungan struktural dengan NU. Beberapa pendakwah ini menunjukkan bahwa
estetika, metode yang komunikatif dan strategi marketing menjadi sesuatu yang penting di dakwah era digital ini.
Yang ketiga, di antara dua kelompok moderat, yang paling reaktif
terhadap dakwah hijrah adalah kelompok NU. Kelompok Muhammadiyah relatif
lebih menerima munculnya gerakan kelompok hijrah. Ini bisa dilihat
semisal dari pernyataan Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pengurus Pusat
Muhammadiyah yang mengatakan bahwaHijrah Fest sebagai
“tren positif dan arus baru gerakan Islam.” Meskipun, Abdul Mu’ti
mewanti-wanti agar kegiatan ini tidak dimasuki unsur politis.
Kenapa ini terjadi? Paling tidak ada dua hal yang bisa dilihat.
Pertama, kelompok hijrah adalah fenomena urban, jadi secara model
gerakan bisa bertemu dengan Muhammadiyah. Kedua, secara teologis gerakan
kelompok hijrah beririsan dengan Muhammadiyah yang mempunyai visi
gerakan pembaharuan Islam. Dua hal ini sangat berbeda dengan Nahdlatul
Ulama yang menitikberatkan pada tradisi ulama Nusantara. Sehingga untuk
Muhammadiyah, teologi kalangan “hijrah” ini tidak terlalu masalah.
Dia akan dianggap bermasalah jika sudah masuk ranah politik, baik itu
politik transnasional seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), ataupun
politik praktis seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang beberapa
kali mengalami benturan dengan Muhammadiyah. Selain dua yang di atas,
Muhammadiyah juga akan khawatir kepentingan politik yang lebih keras
masuk, seperti infiltrasi gerakan jihadis masuk di kalangan kelompok
hijrah.
Di luar ketiga poin di atas, ada satu kesamaan persepsi dan tujuan
dari apa yang ditulis oleh Kalis Mardiasih dengan tulisan saya. Bahwa
kalangan Islam moderat tidak antikritik. Dan sudah ada upaya yang sangat
serius untuk membuat konten dakwah lebih kreatif dan beragam, sehingga
jamaah milenial punya pilihan untuk belajar Islam lebih mendalam, tidak
bersifat instan dan terjebak dalam narasi ideologi politik seperti HTI
ataupun jihadis