solid gold makassar - Lahir dari keluarga yang penuh kasih sayang dan berkecukupan tak
menjamin Kate Speer (31) jauh dari gangguan mental. Selama
bertahun-tahun, wanita asal Vermont, Amerika Serikat ini mengaku
melakukan percobaan bunuh diri hampir setiap hari.
Bermula
saat usianya tujuh tahun, Kate harus menempuh pendidikan khusus karena
ketidakmampuan belajarnya. Meskipun ia memiliki IQ tinggi, tetapi Kate
sangat sulit fokus pada suatu hal.
Yang membuatnya bisa fokus
hanya olahraga. Di sekolah menengah, Kate menjadi anggota tim hoki dan
tim lacrosse. Namun semakin hari kondisinya semakin buruk, Kate menangis
sepanjang waktu sehingga orang tuanya pun harus mencari bantuan.
"Saya mulai terapi dan didiagnosis menderita ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan depresi," kata Kate kepada Health.
Untuk memudahkannya di sekolah, Kate benar-benar jujur pada dirinya
sendiri dan guru serta teman-temannya. Kate selalu menangis, ia pun
meminta gurunya untuk membiarkannya duduk di belakang kelas.
Pada
saat kuliah, gejala-gejala yang dirasakan Kate berubah. Bukan hanya
menangis, ia juga mengalami kemarahan yang meledak-ledak. Pada saat itu
ia didiagnosis gangguan mood.
"Saya bekerja sangat keras, tetapi
tidak ada kesibukan atau pelajaran yang menghilangkan gejala. Perubahan
suasana hati saya bertambah buruk. Ledakan saya menjadi lebih parah.
Saya berhenti tidur selama berminggu-minggu, dan pada akhir tahun,
setelah seminggu tanpa tidur, saya lari 30 mil (48 km) di tengah malam,
saya didiagnosis menderita gangguan bipolar," ungkapnya.
Diagnosis
baru itu menandai awal masa kelam pada hidupnya. Di pertengahan tahun
kedua, Kate harus mengonsumsi delapan macam obat dalam satu waktu.
Muntah, migrain, inkontinensia, tidak bisa berlari bahkan tidak bisa
berjalan dalam garis lurus dirasakannya. Itu membuatnya merasa putus
asa.
"Ketika saya berusia 20 tahun, saya menulis catatan bunuh
diri pertama saya. Saya berencana untuk melompat dari jembatan. Tetapi
begitu saya menyadari tidak ada yang bisa menggunakan organ tubuh saya
jika saya mati seperti itu, saya mengantarkan diri ke kantor terapis
saya," tutur Kate.
Karena itu, ia ditempatkan di bangsal
psikiatris. Kate memilih terapi kejut listrik, terapi yang efektif pada
neneknya yang juga didiagnosis dengan bilopar.
Komplikasi
langka yang diidapnya membuat Kate kehilangan ingatannya selama dua
tahun. Ia harus berjuang lebih ekstra untuk mempertahankan ingatannya.
Ia pun memanfaatkan fotografi untuk membantunya menangkap seluruh
gambaran hidupnya. Namun akhirnya justru mengembangkan gangguan obsesif
kompulsif.
Orang tuanya pun membawa Kate ke Obsessive Compulsive
Disorder Institute di McLean Psychiatric, dan untuk pertama kalinya ia
merasa dikelilingi oleh orang-orang yang gelisah. Pada saat itu ia
meragukan diagnosis bipolarnya selama enam tahun ke depan.
Setelah lulus dari perguruan tinggi, gejala halusinasi mulai muncul
setiap hari. Kondisi Kate semakin parah. Ia tidur setidaknya 14 jam
sehari dan mencoba bunuh diri setiap pagi setelah bangun dan berlangsung
selama tiga tahun.
Sayangnya, terapis yang selama ini
mendampingi dan menjadi sahabat Kate didiagnosis kanker usus besar, dan
Kate harus menemukan terapis baru.
Akhirnya orang tua Kate
menemukan satu-satunya terapis yang mau menolong Kate. Yang mengejutkan,
terapi itu mengatakan bahwa Kate tidak memiliki gangguan bipolar, hanya
memiliki gangguan kecemasan yang ekstrem.
"Ketika saya bertemu dengannya, rasanya seperti dia membuka jendela ke dalam pikiran saya dan bisa melihatnya dengan sempurna.
"Untuk
pertama kalinya dalam hidup saya, saya tahu saya memiliki kekuatan
untuk tumbuh, jadi saya tidak akan mati karena bunuh diri. Belajar
menghadapi rasa takut, ini akan selalu menjadi salah satu pelajaran
terbesar saya. Mengajari saya bahwa saya layak di dunia ini," tutupnya.
Hari
ini hidup Kate tidak seperti hidupnya selama enam tahun lalu. Ia sudah
menikah, memiliki rumah, dan menjadi seorang CEO. Ia memiliki banyak
teman dan menghabiskan banyak waktu di luar ruangan untuk menggerakkan
tubuhnya secara bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar