PT SOLID BERJANGKA MAKASSAR - Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Sudarto menyebut kenaikan tarif Cukai rokok berkontribusi terhadap banyaknya pekerja Sigar Kretek Tangan (SKT) yang dirumahkan.
Berdasarkan
data yang dihimpun organisasinya, dalam kurun delapan tahun terakhir,
setidaknya ada 56.616 pekerja pembuat kretek tangan yang tergabung dalam
organisasinya harus kehilangan pekerjaan. Angka itu belum ditambah
pekerja rokok SKT yang berada di luar organisasinya.
"Dalam waktu
8-9 tahun produksi turun, ya penghasilannya turun. Jumlah yang
kehilangan pekerjaan cukup besar, mencapai 56 ribu tenaga kerja," kata
Sudarto.
Ia mengatakan pekerja pembuat rokok SKT kebanyakan adalah
pekerja yang diupah berdasarkan jumlah rokok yang dapat diproduksinya.
Dengan demikian, jika produksi turun, pendapatan mereka pun ikut
terseret.
Ditambah lagi, kata Sudarto, pekerja pembuat
SKT adalah orang dengan taraf pendidikan yang cukup rendah. Alhasil
ketika pekerjaannya terenggut, otomatis mereka akan kesulitan untuk
mencari lapangan pekerjaan yang baru.
Sementara, pekerja SKT di
industri kecil, yang masih bertahan pun mengalami masalah penurunan jam
kerja yang tadinya delapan jam kini hanya empat jam. Alhasil mereka
mencari sampingan lain seperti menjadi buruh cuci dan pekerjaan lainnya.
"Mereka
mengalami penurunan penghasilan luar biasa. Pilihannya sulit darpada
enggak kerja. Sebagian banyak yang mencari tambahan dengan dagang sampai
buruh cuci," ujarnya.
Ia berharap kedepannya pemerintah tidak
menaikan cukai karena melihat risiko yang diterima oleh pekerja di
sektor ini terutama di industri-industri kecil.
Sudarto pun
meminta pemerintah untuk membedakan kenaikan tarif cukai berdasarkan
jenis rokoknya sesuai serapan tenaga kerja. Pasalnya, SKT menyerap
tenaga kerja sangat banyak dibandingkan dua jenis rokok lainnya, yang
diproduksi menggunakan mesin.
Butuh Kepastian
Direktur
Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
Enny Sri Hartati mengatakan industri rokok di Indonesia perlu kepastian
terkait tarif cukai.
"Industri ini butuh satu regulasi yang
tidak berubah-ubah pasti lah karena industri ini adalah industri yang
high regulated," terang dia.
Enny menerangkan penetapan besaran
cukai yang berubah-ubah ini dapat membuat pelaku industri baik skala
besar dan kecil kesulitan dalam menentukan langkah bisnisnya kedepan.
Misalnya
saja, dalam PMK Nomor 146 tahun 2017 pemerintah menaikkan tarif cukai
rokok sebesar 10,04 persen yang berlaku mulai 1 Januari 2018. Adapun
pada 2016, tarif cukai rokok naik sebesar 10,54 persen.
"Pemerintah
banyak maunya terhadap industri ini. Kalau kenaikan itu pasti naik,
cuma industrinya tidak pasti berapa persentasenya. Jadi, ini menyulitkan
mereka untuk membuat rencana bisnis," ujar dia.
Selain menaikan cukai rokok, pemerintah melalui PMK 146 tahun 2017 juga berencana menyederhanakan golongan tarif cukai.
Beleid
itu mengatur mengenai pengurangan golongan tarif cukai, penerapan
kenaikan tarif bagi industri yang memproduksi rokok putih dan rokok
kretek dengan cara menghitung total kumulasi produksi keduanya mulai
tahun 2019, penyamaan tarif cukai antara jenis rokok Sigaret Kretek
Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) pada 2020, dan menghilangkan
golongan I-B Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Menurut Enny,
pemerintah tidak bisa secara serta merta menyederhanakan golongan rokok.
Pasalnya, Indonesia memiliki banyak jenis rokok tidak seperti di negara
lain yang hanya mengenal golongan SPM.
"Kalau mau penyederhanaan ya sesuaikan dengan industri yang ada, kita tidak bisa simplikasi itu," jelas dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar