PT SOLID BERJANGKA MAKASSAR - Industri makanan dan minuman turut merasakan pengaruh pelemahan
rupiah yang masih saja terjadi. Gejolak kurs rupiah menjadi momok
tersendiri bagi industri makanan minuman karena bahan bakunya didominasi
impor.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S
Lukman mengakui, pelemahan rupiah saat ini yang sudah menembus angka di
atas Rp14.400-an di asakan berat bagi industri.
“Hitungan saya (rupiah) sudah terdepresiasi 8%-10% bila dibandingkan
dengan tahun lalu. Bujet kita acuannya Rp13.600 sesuai dengan APBN. Ini
tentunya bagi industri yang bahan baku impornya cukup banyak, ini cukup
berat,” ujar Adhi.
Dia menambahkan, pelaku usaha makanan minuman juga merasakan dampak
lain akibat kenaikan biaya energi yang berpengaruh pada angkutan
logistik yang ikut naik. Untuk itu, menurut Adhi, industri makanan dan
minuman harus melakukan penyesuaian harga.
“Perkiraan saya akan ada beban biaya tambahan sekitar 3%-6%,
tergantung dari industrinya. Beban tambahan 3%-6% ini kalau margin tidak
mendukung, otomatis keputusan ter akhir harus menaikkan harga,” ungkap
Adhi.
Dia melanjutkan, pengusaha tidak bisa serta merta menaikkan harga
produk karena butuh waktu sekitar dua bulan sebagai toleransi. Hal ini
pun setelah mempertimbangkan kon disi jika penjualan akan turun di
tengah situasi seperti ini.
Menurut dia, ada beberapa strategi untuk menyiasati kenaikan kurs
dan biaya energi. Di antaranya mengubah ukuran produk dan mengubah
bahan bungkus produk. Namun itu pun tidak bisa dilakukan dalam waktu
singkat. “Butuh waktu, harus izin BPOM, packaging, tapi beberapa sudah
melakukannya. Itu upaya efisiensi yang dilakukan industri karena kalau
menaikkan harga juga berat,” tuturnya.
Meski begitu Adhi yakin pertumbuhan industri makanan dan minuman
dapat tumbuh lebih dari 10% pada 2018 karena permintaan yang cukup
tinggi. Namun dari sisi margin industri semakin lama semakin berat.
“Omzet kami di periode pertama tahun ini hanya 30%. Sementara
pengeluaran kami mencapai 200%. Ini karena banyaknya libur di Juni, kami
harus bayar THR untuk karyawan, sementara produktivitas tak
mengimbangi,” jelasnya.
Menurut Adhi, beberapa industri intermediate seperti industri
tepung terigu dan gula sudah menaikkan harga. “Impor gandum sudah naik.
Tapi untuk industri yang produk jadi memang marginnya masih lebih
longgar. Mereka bilang kalau sudah tidak kuat harus menaikkan harga,”
tandasnya.
Upaya Stabilisasi Rupiah Tetap Berjalan
Bank Indonesia (BI) memastikan akan terus melakukan lang kah
stabilisasi rupiah, tidak hanya melalui kebijakan suku bunga yang
terukur. BI juga akan melakukan intervensi untuk memastikan tersedianya
likuiditas dalam jumlah yang memadai baik valuta asing (valas) maupun
rupiah.
“Pelemahan rupiah yang sekarang ini masih terkendali, secara
tahun juga terkendali sehingga tidak perlu kepanikan,” ujar Gubernur BI
Perry Warjiyo di Jakarta.
BI memperkirakan nilai tukar rupiah masih terus berfluktuasi
karena dipengaruhi sejumlah faktor, antara lain kebijakan moneter yang
dikeluarkan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) yang
akan menaikkan suku bunga acuan hingga lima kali hingga tahun depan.
Faktor lainnya adalah kebijakan Bank Sentral China (People Bank
of China/PBoC) untuk menurunkan giro wajib minimum (GWM). Kemudian
kebijakan Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) untuk
menurunkan stimulus berupa pembelian aset-aset portofolio serta perang
dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang membuat ketidakpastian
global masih akan tinggi.
“Tahun ini suku bunga acuan The Fed diproyeksi naik empat kali.
Sebelumnya sudah dua kali, nanti hingga akhir tahun dua kali lagi. Untuk
tahun depan diproyeksi tiga kali lagi. Jadi total akan ada lima kali
lagi kenaikan Fed rate,” tambah Deputi Gubernur Senior BI Mirza
Adityaswara.
Dia menambahkan, akibat sejumlah kebijakan moneter di berbagai negara
itu, ke depan tren perekonomian global akan mengarah pada pengetatan
likuiditas. Hal ini membuat nilai tukar di sejumlah negara, termasuk
rupiah, terus memburuk akibat penguatan dolar.
Berdasarkan catatan BI, hingga akhir Juni 2018 pelemahan kurs rupiah
telah mencapai 5,6% secara year to date (ytd). Adapun terkait de ngan
pergerak an nilai tukar rupiah, Perry me nyebut hal tersebut harus
diukur secara relatif bila dibandingkan dengan negara-negara lain.
Menurutnya saat ini pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS juga
dialami negara-negara di kawasan regional. Secara relatif, sambung dia,
pergerakan nilai tukar rupiah masih terkendali. Ke depan BI akan terus
menjaga stabilitas ekonomi di tengah ke tidakpastian perkembangan
ekonomi global, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah.
Peneliti The Institute for Development of Economics and Finance
(Indef) Eko Listiyanto menilai, kenaikan suku bunga acuan hanya
merupakan obat sementara atas volatilitas rupiah yang sudah di luar
batas, yang dampaknya juga belum tentu efektif menghentikan pelemahan.
Oleh karena itu BI dan pemerintah tidak boleh lengah. Selain itu,
menurut dia, faktor utama depresiasi rupiah saat ini sebenarnya adalah
faktor fun damental ekonomi yang rentan dari gejolak eksternal.
“Salah satu sumber ‘penyakit’ loyonya rupiah adalah defisit transaksi berjalan,” ungkap Eko.
Oleh karena itu harus ada upaya sangat serius dari pemerintah
untuk dapat mengakhiri defisit ini. Jika upaya menggenjot ekspor masih
sulit dilakukan, konsekuensinya adalah sekuat tenaga mengurangi impor
dan menyubstitusinya dengan produk domestik. Di bagian lain, langkah BI
menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate menjadi 5,25%
pada pekan lalu di nilai belum bisa menahan laju pe lemahan rupiah
secara signifikan.
Kemarin rupiah berada pada posisi Rp14.343 ber da sarkan kurs
referensi Jakarta Inter bank Spot Dollar Rate (Jisdor), menguat dari
sehari sebelumnya yang sebesar Rp14.418 per dolar AS.