Senin, 25 Januari 2021
Solid Gold | Perikanan Budidaya, Mesin Ekonomi Baru
Sold Gold Berjangka Makassar – Mendapat mandat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan dari Presiden Joko Widodo pada Desember 2020 adalah tantangan yang saya terima dan jalani. Saya yang berlatar belakang engineer, pengusaha, dan setahun dua bulan menekuni bidang pertahanan kini harus mengelola kelautan dan perikanan, sektor yang benar-benar baru bagi saya yang banyak menghabiskan hidup di daratan.
Berbekal pengalaman sebagai pebisnis puluhan tahun dan menjalani birokrasi, langkah pertama saat resmi menyandang status Menteri Kelautan dan Perikanan adalah belanja masalah. Bergilir saya berdiskusi dengan para direktur jenderal dan kepala badan di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hari ini Dirjen Tangkap, besok Dirjen Perikanan Budidaya, begitu seterusnya sampai masuk pekan ketiga saya berkantor di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat.
Sejalan dengan itu, saya mempelajari literatur dan isu-isu kelautan dan perikanan dari jurnal, buku, surat kabar, hingga orang-orang yang mafhum di bidang ini.
Tak afdol rasanya kalau hanya berteori dan berdiskusi, tanpa melihat langsung kondisi lapangan. Saya awali dengan mengunjungi pesisir Jakarta dan teranyar Kabupaten Buleleng, Bali untuk menemui nelayan, pembudidaya, pelaku usaha perikanan, pemerintah daerah, dan tentunya pegawai di daerah yang menurut saya adalah ujung tombak kesuksesan setiap program KKP.
Dari perjalanan tersebut saya mengetahui, dari begitu banyak sub-sektor kelautan dan perikanan, perikanan budidaya adalah yang paling menjanjikan untuk dikembangkan bersama seluruh jajaran di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Fokus pada Perikanan Budidaya Berkelanjutan” akhirnya menjaditagline KKP dengan mantap saya canangkan.
Alasan
Perikanan budidaya bukan hal baru di Indonesia. Lele, bawal, maupun nila yang kita temui di pasar maupun di warung-warung makan pinggir jalan sebagian besar hasil budidaya. Namun sayang hasilnya belum optimal sejak pertama kali dikembangkan berpuluh-puluh tahun silam.
Dari jutaan hektar potensi lahan yang kita punya, baru 10 persen tergarap. Itu pun hasilnya pun belum maksimal. Padahal bila dikelola dengan baik, peluangnya menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi nasional sangat besar.
Selain itu, lonjakan jumlah penduduk Indonesia dan dunia dari tahun ke tahun harus diimbangi dengan ketersediaan pangan yang cukup agar tidak terjadi krisis di kemudian hari. Perikanan budidaya hadir sebagai salah satu solusi sumber protein di tengah stagnannya produksi perikanan tangkap dalam beberapa tahun terakhir.
Negara-negara lain di dunia sudah memilih budidaya sebagai kiblat sektor perikanan. Sebut saja Norwegia, Australia, Jepang, China, hingga India getol sekali menggenjot produktivitas perikanan budidaya sebagai penopang pertumbuhan ekonomi, sumber pangan, hingga penciptaan lapangan kerja.
Lantas kita hanya jadi penonton? Padahal di Indonesia terbentang lautan dan daratan yang sangat cocok untuk kegiatan budidaya air laut, payau, dan tawar. Komoditas yang potensial dikembangkan di antaranya udang vaname, sidat, bawal, lele, nila, rumput laut, bahkan tuna.
Strategi
Teknologi termasuk dalam deretan kendala penyebab belum optimalnya pengembangan perikanan budidaya di Indonesia. Turunan dari problematika ini yaitu minimnya hasil panen yang tak sebanding dengan luasan lahan, ancaman penyakit, keterbatasan benih, penurunan kualitas lingkungan, hingga tingginya harga pakan sebab bahan bakunya masih impor.
Saat memimpin rapat dengan dirjen dan kepala badan lingkup KKP saya tegaskan pentingnya penguatan riset, memasifkan penerapan teknologi dalam kegiatan budidaya, serta meningkatkan pengawasan produk-produk perikanan yang masuk ke Indonesia. Tak masalah harus membeli peralatan baru yang lebih mutakhir atau mengirim sumber daya kita untuk belajar di luar negeri.
Penguatan riset dan inovasi teknologi ini tujuannya mendongkrak jumlah dan kualitas produksi perikanan serta menjaga lingkungan tetap lestari. Dengan penguatan riset dan teknologi pula, program pakan mandiri bisa lebih digenjot. Saya tegaskan kepada para periset KKP bahwa temuan-temuan mereka belum dikatakan berhasil jika tak ada turunan ekonominya. Apa gunanya benih tuna, udang, abalone, dan sebagainya yang dihasilkan bila tidak bisa dikembangkan dan diindustrialisasi?
Strategi lain yang tak kalah penting adalah mengedepankan kolaborasi internal dan eksternal. Tak boleh ada ego-sektoral di internal KKP, melainkan harus membahu menghadirkan solusi dan inovasi dalam mengembangkan perikanan budidaya dalam negeri.
KKP juga akan menggandeng perguruan tinggi, elemen masyarakat, kementerian/lembaga lain dalam dan luar negeri, hingga pemerintah daerah untuk melahirkan tempat-tempat budidaya berteknologi tinggi yang ramah lingkungan. Seperti membangun shrimp estate, lobster estate, dan kampung-kampung budidaya perikanan meliputi Kampung Lele, Kampung Patin, Kampung Udang, dan Kampung Bawal sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dan menambah pundi-pundi pendapatan negara.
Kolaborasi ini tidak sebatas untuk menggenjot jumlah dan mutu produk yang dihasilkan, tapi juga mensolusikan agar produk yang dihasilkan berdaya saing dan diserap oleh pasar domestik maupun internasional. Untuk shrimp estate, sudah ada obrolan dengan Bupati Aceh Timur yang siap merealisasikan pembangunannya tahun ini di lahan 10.000 ribu hektar. Sementara, budidaya lobster yang ditargetkan menjadi lobster estate oleh pengelolanya, sudah berjalan di Buleleng, Bali.
Upaya selanjutnya adalah mengoptimalkan peran unit pelaksana teknis (UPT) KKP sebagai pelaku kegiatan budidaya, di samping melayani dan mendampingi masyarakat. Saya percaya, sebaik-baik caranya mengajak orang lain untuk terjun adalah dengan terjun lebih dulu. Bahasa sederhananya, saya akan menyulap UPT menjadi inkubator sekaligus akselerator bisnis di daerah.
Selayaknya pembangunan usaha, tentu perlu perencanaan dan analisis bisnis yang matang agar modal APBN yang dikucurkan tepat sasaran. Saya mem-plot program ini sebagai sumber pendapatan baru bagi negara, lokomotif kesejahteraan masyarakat, bersama dengan Program Kampung Budidaya yang saya sebutkan sebelumnya. Nantinya model bisnis ini dapat diduplikasi dan menjadi acuan bagi kelompok masyarakat maupun pelaku usaha perorangan yang ingin menekuni budidaya perikanan.
Saya optimistis, ke depan banyak ruang-ruang lapangan kerja yang akan tercipta dari sub-sektor perikanan budidaya. Kesejahteraan masyarakat ikut meningkat, dan ekonomi Indonesia pun pelan-pelan bangkit setelah lesu dihantam pandemi Covid-19.
Di sisi lain, ekosistem laut kian terjaga sebab kita tidak lagi mengandalkan ikan hasil tangkapan. Inilah yang saya maksud sebagai perikanan budidaya berkelanjutan; produksinya berjalan secara kesinambungan dan kelestarian alam terjaga.
Saya memahami harapan yang tinggi dibebankan ke pundak saya oleh semua pemangku kepentingan di sektor kelautan dan perikanan untuk membawa KKP rebound. Menjadikan Perikanan Budidaya sebagai mesin baru perekonomian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah mimpi, tetapi kenyataan yang bisa dikerjakan. Mari kita bersama berlayar membawa kapal NKRI menjadi poros maritim dunia sesuai visi dan misi Presiden Joko Widodo.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar