PT SOLID BERJANGKA MAKASSAR – KPK benar-benar mewanti-wanti badan usaha milik negara atau yang biasa disingkat BUMN berkaitan dengan investasi, khususnya yang berasal dari China. Sebab, perusahaan-perusahaan China disebut KPK tak mengenal tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance.
“Good corporate governance di China itu adalah salah satu yang asing bagi mereka. Oleh karena itu, mereka menempati tempat pertama fraud improper payment,” ucap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Kamis (9/5/2019).
Hal itu disampaikan Syarif dalam seminar sehari dengan tajuk ‘Bersama Menciptakan BUMN Bersih Melalui Satuan Pengawasan Internal (SPI) yang Tangguh dan Tepercaya’. Menteri BUMN Rini Soemarno turut hadir dalam seminar yang digelar KPK tersebut. Begitupun jajaran direksi BUMN.
Seminar itu digelar bukan tanpa alasan. KPK dalam beberapa waktu terakhir mengusut pelbagai perkara rasuah yang menyeret BUMN-BUMN.
Peringatan yang disampaikan Syarif itu juga bukan sekadar isapan jempol. Dia merujuk pada data Foreign Corruption Practices Act (FCPA) yang menyebutkan China sebagai negara nomor satu dengan tingkat pembayaran tidak wajar atau improper payment.
“Ini statistik banyak benarnya menurut saya. Pasti Bapak-Ibu di BUMN banyak bekerja sama dengan China. Saya ulangi lagi, dengan China,” kata Syarif.
Wakil Ketua KPK itu kemudian mencontohkan negara-negara Eropa serta Amerika Serikat yang memiliki aturan lebih ketat. Di negara-negara itu, menurut Syarif, para pejabatnya dapat dijerat hukum apabila terbukti melakukan tindak pidana suap kepada pejabat negara lain, sehingga hal itu membuat para pejabat dari Eropa dan Amerika Serikat lebih berhati-hati dalam berinvestasi.
“Safe guard mereka nggak seketat seperti perusahaan dari Eropa Barat atau Amerika Serikat, dan mereka invest banyak di sini. Oleh karena itu, tidak salah ketika kami (menjerat) PLN itu dari mana (investasi) mereka? Dari China. Saya coba kasih contoh saja,” ucap Syarif.
“Kalau China invest di sini, you have to be very, very careful. Environment, what? Human rights, what? Nggak ada,” imbuh Syarif.
Terlepas dari itu, Syarif berkisah tentang praktik-praktik usaha yang kerap membuat BUMN merugi. Salah satu yang disinggung Syarif adalah pembelian produk di atas harga asli agar kelebihan pembayaran dapat dikantongi pribadi oleh oknum-oknum pejabat BUMN.
“Ini kasus riil di BUMN. BUMN ini ingin beli mangga, 5 biji mangga. Harga satunya Rp 100. Harusnya BUMN bilang ke penjual, ‘Ini saya nggak beli satu, beli 5, turunin sedikit dong’. Harusnya kan begitu, tapi apa yang dilakukan perusahaan ini? Walah, kalau Rp 100 jangan dong. Tolong, saya bayar Rp 120 per mangga, tapi Rp 20-nya kamu balikin ke aku lewat account saya di negara A dan B,” ujar Syarif.
Selain itu, Syarif menyebut kasus lain berkaitan dengan pengerjaan jalan. Modusnya, disebut Syarif, serupa dengan kisah pertama yang disebutnya.
“Ada proyek pembangunan, ini kasus, tapi saya nggak mau sebut kasusnya. Anggaplah jalan 100 meter, harusnya anggarannya cuma Rp 20 ribu. Tapi dia bikin anggarannya Rp 40 ribu. Dia serahkan kepada anak perusahaannya untuk dikerjakan Rp 40 ribu itu, tapi sebenarnya hanya Rp 20 ribu. Yang Rp 20 ribunya diberikan kepada yang bos-bosnya. Itu yang sedang kita kerjakan,” ujar Syarif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar