SOLID GOLD BERJANGKA – Status Ahok yang menyandang status
gubernur menuai polemik. Di satu sisi ia didakwa dengan pasal alternatif
yang diancam maksimal 4,5 tahun penjara atau maksimal 5 tahun penjara.
Di sisi lain, UU Pemda mensyaratkan kepala daerah yang didakwa minimal 5
tahun penjara diberhentikan.
“Memang ada perdebatan soal makna kata paling singkat dan paling
lama. Jelas bahwa penggunaan bahasa legislasi kita ngaco. Tidak ada
kejelasan yang nyata dari kata “paling lama”, “paling singkat”, “ke
atas” dan lain-lain,” kata ahli hukum Dr Zainal Arifin Mochtar.
Hal itu disampaikan di sela-sela acara ‘Study for the Amandement to
the Law’ di Osaka, Jepang, Senin (13/2/2017). Acara itu diikuti
perwakilan Kemenkum HAM dan para ahli hukum serta peneliti dari
Indonesia.
“UU telah membuatnya rancu karena digunakan secara tidak pas,” ujar dosen UGM Yogyakarta itu.
Menurut Zainal, penggunaan kata ‘paling lama’ dan ‘paling sedikit’
tersebut yang menjadi pangkal masalah. Dengan peluang tafsir itu, maka
membuka interpretasi hukum.
“Hukum bermakna jamak. Dia bisa apa yang tertulis, juga apa yang tersirat. Bisa
letterleijk dan bisa konteks serta suasana kebatinan. Tergantung pemahaman dan keyakinan yg ada,” ucap Zainal.
Atas hal itu, maka Zainal bisa memahami tafsir Refly Harun di kasus
terkait. Di mana Refly menyatakan lebih tegas yaitu tidak ada alasan
untuk memberhentikan Ahok dari jabatan Gubernur DKI. Sebab Ahok didakwa
dengan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara
dan Pasal 156 a yang ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara. Di
mana syarat pemberhentian sementara adalah ancaman minimal 5 tahun
penjara.
“Titik itulah saya memahami yang disampaikan Mas Refly. Walau secara
maksud pembentuk UU dan praktik berkata berbeda dan saya setuju itu,
tapi Mas Refly benar tatkala kita menggunakan penafsiran tematis
misalnya. Hal ini hadir karena penyusunan UU kita yang ngaco,” papar
Zainal.
Zainal meminta publik menilai permasalahan itu secara jernih. Mengkaji secara profesional, bukan berdasarkan penilaian personal.
“Yang keliru kalau kita menggunakan logikal fallacy untuk menyerang
dan menyalahkan orang tertentu misal karena jabatan, pro Ahok dan
lain-lain,” ujar Zainal.
Ke depan, proses legislasi dan sistem perundangan harus lebih sistematis.
“Yang tertinggal memang ada pertanyaan besar soal kepastian hukum di Republik ini,” cetus Zainal.
Terlepas dari masalah sistem perundangan yang rancu, dalam kasus
Ahok, Zainal memiliki penafsiran yaitu Ahok harusnya diberhentikan.
“Ahok harus diberhentikan karena klausula Pasal 83a terpenuhi dengan
dua kemungkinan, pidana yang diancam paling singkat 5 tahun atau
tindakan yang membelah masyarakat,” kata Zainal menegaskan.
Sementara itu, karena adanya multitafsir, Mendagri memilih tuntutan
jaksa terhadap Ahok. Hal itu bisa dinilai oleh guru besar Universitas
Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho sebagai
langkah tepat.
“Dalam ilmu hukum dikenal banyak interpretasi. Ada interpretasi
gramatikal, interpretasi restriktif, interpretasi restruktif yang
membatasi atau mempersempit maksud suatu pasal. Dalam hal ini,
Kemendagri memastikannya dengan tuntutan JPU,” ujar Hibnu.
Prof Hibnu mengingatkan dakwaan yang dijerat kepada Ahok adalah
dakwaan alternatif, yaitu Pasal 156 KUHP dan Pasal 156 a KUHP, bukan
dakwaan tunggal. Di mana maksud Pasal 83 ayat 1 mengarah kepada dakwaan
tunggal, atau dakwaan alternatif yang semua pasal yang dijeratkan kepada
terdakwa di atas ancaman lima tahun penjara.
“Harus diingat, dakwaan terhadap Ahok adalah alternatif. Kecuali
dakwaannya dakwaan tunggal, maka sudah dapat dipastikan,” cetus Hibnu.
Adapun Direktur Puskapsi Univeritas Jember, Bayu Dwi Anggono menilai
ruang penafsiran di atas menjadikan ruang diskresi Presiden untuk
memafsirkannya dan hal itu dilegitimasi UU Administrasi Pemerintahan.
“Perihal kepastian hukum apakah salah satu dakwaan alternatif dapat
digunakan sebagai dasar pemberhentian sementara Ahok, maka sesuai UU
Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Presiden sebagai
pejabat administrasi pemerintahan mempunyai wewenang diskresi yaitu
memilih salah satu dari dua pilihan kebijakan yaitu memberhentikan
sementara atau tidak memberhentikan sementara Ahok,” kata Dr Bayu.
Kunjungi :
Solid Gold